Menuju konten utama

Koalisi Sipil: RUU Kesehatan Belum Akomodir Kelompok Rentan

Koalisi mendorong adanya ruang dialog dan partisipasi publik mengenai isu prioritas gender dan masyarakat rentan dalam RUU Kesehatan.

Koalisi Sipil: RUU Kesehatan Belum Akomodir Kelompok Rentan
Sejumlah tenaga kesehatan berunjuk rasa menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di Kantor DPRD Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (28/10/2022). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/wsj.

tirto.id - Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih menyatakan bahwa daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan belum sepenuhnya mengakomodasi masukan masyarakat sipil.

Diah menyoroti bahwa RUU Kesehatan belum mengakomodasi secara tegas hak pelayanan kesehatan kelompok rentan.

“Dalam catatan kami RUU ini belum mengakomodir perihal pemberdayaan kader kesehatan, perlindungan gender dan kelompok rentan, serta penguatan layanan kesehatan primer," kata Diah melalui pesan singkat kepada reporter Tirto, Kamis (25/5/2023).

CISDI bersama 12 organisasi lainnya, saat ini tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan.

Mereka mendorong adanya ruang dialog dan partisipasi publik mengenai isu prioritas gender dan masyarakat rentan dalam RUU Kesehatan.

”Karenanya, kami berharap pengesahan tidak terburu-buru, mempertimbangkan dan mengimplementasikan segala masukan, dan menerapkan prinsip partisipasi publik yang baik,” ujar Diah.

Sementara itu menurut Igna, Perwakilan dari Yayasan IPAS Indonesia yang juga tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menyatakan, Pasal soal pengecualian aborsi di RUU Kesehatan perlu dikawal dan dikaji dengan baik pelaksanaannya.

Ia berharap RUU Kesehatan bisa melindungi hak pelayanan kesehatan kelompok rentan termasuk korban kekerasan seksual dan korban perkosaan.

“Perlu dipastikan siapa petugas kesehatan yang punya kewenangan dan kompetensi untuk memberikan layanan, perlindungan bagi pemberi layanan perlu jelas di dalam RUU Kesehatan pastikan semua dalam konteks layanan bagi korban kekerasan dan perkosaan,” kata Igna.

Namun ia mengapresiasi upaya revisi RUU Kesehatan terhadap pasal pengecualian aborsi yang melakukan peningkatan usia kehamilan menjadi 14 minggu bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual. Igna menilai regulasi ini sudah sesuai dengan aturan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Sebagai informasi, Pasal 42 RUU Kesehatan akan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan pengecualian aborsi bisa dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kemenkes Sundoyo mengklaim RUU Kesehatan akan mengawal hak pelayanan kesehatan korban kekerasan seksual dan korban perkosaan.

Ia menambahkan, terkait pasal pengecualian aborsi di RUU Kesehatan, dimungkinkan juga untuk mencakup pada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang juga bisa dilindungi hak kesehatannya.

“Ini kami coba masukan dalam RUU Kesehatan karena lebih maju untuk menangkap hal demikian,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri