Menuju konten utama

KNTI: BPN Seharusnya Bisa Penuhi Permintaan Anies Soal HGB Pulau D

Kementerian ATR/BPN dinilai memiliki kewenangan untuk mengevaluasi sertifikat HGB dan melakukan pencabutan bila menemukan ada kecacatan hukum administratif di penerbitannya.

KNTI: BPN Seharusnya Bisa Penuhi Permintaan Anies Soal HGB Pulau D
Dinding batu dipinggir Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta tampak mengeluarkan air yang mengalir menuju laut, Jakarta, Selasa (31/10/2017). tirto.id/Arimacs Wilander.

tirto.id - Kuasa hukum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Tigor Hutapea menyatakan seharusnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil bisa memenuhi permintaan Pemprov DKI Jakarta soal pembatalan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah berkirim surat ke Kementerian ATR/BPN untuk meminta pembatalan serta penundaan pemberian Sertifikat (HGB) pulau-pulau reklamasi di pantai Utara Jakarta. Permintaan pembatalan itu termasuk untuk HGB Pulau D. Tapi, hari ini Kementerian ATR/BPN membalas surat itu dan menolak permohonan yang diajukan Anies.

Menurut Tigor, Kementerian ATR/BPN memiliki kewenangan untuk mengevaluasi sertifikat HGB dan melakukan pencabutan bila menemukan ada kecacatan hukum administratif di penerbitannya.

Hal ini sebagaimana diatur pasal 106 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

"Jadi sudah benar apa yang dilakukan Anies untuk menghentikan reklamasi (Jakarta)," kata aktivis Koalisi Nelayan Teluk Jakarta tersebut saat dihubungi Tirto pada Kamis (11/1/2018).

Adapun kategori cacat hukum administratif yang dimaksud dalam ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 107 di peraturan menteri yang sama.

Terdapat 9 jenis cacat hukum administratif yakni Kesalahan prosedur; Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; Kesalahan subjek hak; Kesalahan objek hak; Kesalahan jenis hak; Kesalahan perhitungan luas; Terdapat tumpang tindih hak atas tanah; Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

"Maka akan dilihat apakah ini bermasalah atau enggak. Kalau bermasalah BPN akan membatalkan. Kalau tidak bermasalah, enggak perlu harus dibatalkan," ujar Tigor.

Sebaliknya, berdasar salinan Surat Kementerian ATR/BPN kepada Pemprov DKI yang diterima Tirto, terdapat tiga alasan penolakan terhadap permintaan Anies untuk pembatalan HGB pulau hasil reklamasi Teluk Jakarta.

Pertama, Kementerian ATR/BPN menilai penerbitan sertifikat itu dianggap sudah sesuai prosedur dan ketentuan administrasi pertanahan yang berlaku. Sebab, hal itu dilakukan atas permintaan Pemprov DKI Jakarta. "Sehingga berlakulah asas presumptio justice causa," tulis Kementerian ATR/BPN.

Asas itu memungkinkan setiap tindakan administrasi sah menurut hukum sehingga dapat dilaksanakan sebelum dinyatakan oleh Hakim sebagai keputusan yang melawan hukum. Artinya, Pemprov DKI harus menempuh jalur hukum dengan menggugat penerbitan HGB ke PTUN untuk membatalkannya.

Kedua, permintaan Anies dianggap bisa menimbulkan ketidakpastian hukum sebab apa yang dijanjikan kepada pengembang dalam surat perjanjian kerjasama sebelum HGB diterbitkan tidak bisa dibatalkan.

Ketiga, Kementerian ATR/BPN menganggap HGB yang telah diterbitkan di atas Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL) nomor 45/Kamal Muara adalah perbuatan hukum dalam rangka peralihan hak dan pembebanan yang bersifat derivatif. Sehingga, "harus mendapatkan persetujuan dari Pemprov DKI sebagai pemegang HPL."

Sebaliknya, salah satu alasan permintaan Anies kepada Kementerian ATR/BPN ialah sebab penerbitan HGB, khususnya Pulau D, berlangsung saat dua Raperda Reklamasi belum terbit. Dua Raperda, yang menurut Anies menjadi alas hukum pelaksanaan reklamasi Jakarta, itu ialah Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura) dan Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom