Menuju konten utama

KNIL Pribumi Selalu Diandalkan Belanda, tapi Jadi Bawahan Terus

Sejak dahulu, serdadu pribumi telah menjadi andalan militer Belanda. Meski begitu, mereka tidak pernah beranjak dari level bawahan.

KNIL Pribumi Selalu Diandalkan Belanda, tapi Jadi Bawahan Terus
Ilustrasi Belanda Mengandalkan Orang Pribumi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Institusi militer di era kolonial Hindia Belanda tidak selalu membutuhkan komandan atau perwira Eropa yang berpengetahuan atau punya sederet pencapaian mentereng. Lagi pula, perwira-perwira Eropa yang didatangkan ke tanah koloni umumnya justru buta medan. Yang lebih dibutuhkan adalah mereka yang fisiknya mudah beradaptasi dengan iklim tropis. Atau, paling tidak perwira Eropa itu musti tahu siapa yang bisa dijadikan 'ratu pertempuran'.

Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Sam Ratulangi, sejarawan Peter Carey pernah mengutip pemikiran Comte Edouard Errembault de Dudzeele et d’Orroir (1789-1830). Errembault yang pernah menjadi perwira kolonial selama Perang Jawa (1825-1830) itu mengatakan, “Saya lebih suka memerintah prajurit pribumi daripada orang Eropa. Saya tidak banyak menghadapi prajurit yang sakit-sakitan dan kalau mereka dipimpin dengan baik, mereka bertarung sehebat orang Eropa.”

Bagi Errembault, para prajurit pribumi—yang bermacam-macam asalnya itu—sudah cukup mampu bertempur seperti kebanyakan prajurit Eropa. Untuk memaksimalkan kemampuannya, mereka hanya butuh satu hal: kepemimpinan yang baik.

Carey yang dikenal atas studi panjangnya tentang Pangeran Diponegoro meyakini Belanda tidak mungkin memenangi Perang Jawa tanpa bantuan dari pihak pribumi. Dalam Perang Jawa, militer Belanda bersekutu dan memanfaatkan tenaga tempur dari kelompok orang Jawa, Madura, Ternate, hingga Minahasa.

Kebutuhan akan tenaga tempur bumiputra itu nyatanya tidak berubah hingga lebih dari 100 tahun kemudian. Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) alias tentara kolonial Hindia Belanda tetap diisi para rekrutan lokal dari berbagai suku Nusantara. Belanda bahkan membentuk kompi-kompi khusus berdasarkan suku bangsa serdadunya.

Bukan hanya sekadar ada, para serdadu lokal itu pun cukup bisa diandalkan dalam pertempuran. Meski kompi-kompi kesukuan itu menghilang setelah 1945, perwira Belanda masih pula mengandalkan serdadu-serdadu pribumi selama revolusi berkecamuk di Indonesia (1945-1949).

Posisi Bawahan

Pemerintah kolonial memang mengandalkan prajurit pribumi untuk tugas militer yang berat, namun mereka tetap saja dianggap kelas dua. Kebanyakan bintara atau perwira adalah orang Belanda atau orang Eropa lain. Sementara orang-orang pribumi harus puas menjadi serdadu bawahan abadi.

Di sekitar periode 1945-1949, terdapat dua perwira Belanda yang bertugas di Malang. Mereka adalah Kolonel H. J. Kronig yang menjabat komandan brigade dan Letnan Kolonel A. F. L. Maris yang jadi komandan batalyon infanteri IV KNIL.

Dua kolonel itu dituntut bermain keras dalam menghadapi perlawanan orang Indonesia pro Republik di sekitar Malang. Namun, personel Belanda yang mereka punya kebanyakan tidak kompeten. Pasalnya, serdadu-serdadu totok itu adalah anak-anak muda yang ikut wajib militer.

Maka Maris dan Kronig justru lebih bisa mengandalkan para serdadu pribumi untuk tugas-tugas berat. Salah satu contohnya dapat kita simak dalam Kekerasan Ekstrim Belanda di Indonesia Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 (2019, hlm. 130) karya Remy Limpacht.

Limpacht menyebut suatu kali Maris memberi perintah kepada Sersan Markoem dan Sersan Palilingan. Keduanya disebut-sebut sebagai prajurit paling loyal di kesatuannya. Markoem dan Palilingan disebut berasal dari Ambon, meski kebenarannya sumir. Alasan pertama, nama Markoem adalah nama yang umum dan bisa dipakai oleh siapa saja. Kedua, Palilingan adalah marga dari orang Manado, bukan Ambon. Dia dianggap orang Ambon barangkali karena memang ada masanya orang-orang Manado di KNIL dianggap sama dengan orang Ambon.

Lalu perkara apa yang diperintahkan oleh Maris? Rupanya Markoem dan Palilingan disuruh untuk memimpin patroli dengan membawa tawanan yang dicap kaum Republik. Itu bukan pekerjaan biasa karena rute patroli mereka melewati suatu medan terbuka. Di situ, mereka berdua dan serdadu yang mereka bawa berisiko jadi sasaran empuk kaum Republik.

Misi itu agaknya hanyalah sebuah kamuflase untuk mengeksekusi tawanan. Skenarionya, tawanan itu akan mencoba kabur kala situasi jadi kacau. Di saat seperti itu, para serdadu KNIL jadi punya alasan untuk menembaki tawanan itu.

Sekitar 2-5 Maret 1949, terdengar kabar soal 13 kaum Republik yang ditawan Belanda ditemukan terbunuh. Agaknya, temuan ini terkait dengan perintah Letkol Maris sebelumnya. Lalu, pada 6 Maret 1949, orang-orang suruhan Maris dilaporkan hendak mengulang trik yang sama, namun kali ini gagal.

Petinggi KNIL kemudian melakukan investigasi untuk menguak misteri kasus itu. Namun, Palilingan bunuh diri. Kejadian itu akhirnya membuat desas-desus atas kasus itu makin santer di Malang.

Infografik Belanda Mengandalkan Orang Pribumi

Infografik Belanda Mengandalkan Orang Pribumi. tirto.id/Fuad

Gara-gara kasus semacam itu, kaum republik jadi punya sentimen terhadap para serdadu lokal KNIL. Begitu pun serdadu lokal KNIL punya dendam terhadap pejuang Republikan yang tidak mau mengakui mereka sebagai orang Indonesia. Banyak juga mantan KNIL yang jadi korban kala Masa Bersiap (akhir 1945).

Setelah 1945, militer Belanda di Indonesia, seperti disebut Gedenschrieft Koninklik Nederlandsch Indische Leger 1830-1950 (1990, hlm. 56) mengerahkan 23 batalyon infanteri untuk melawan pejuang Republik di seluruh Indonesia. Beberapa batalyon KNIL bahkan dapat tambahan kekuatan dari pemuda lokal yang merasa diri dan kaumnya terancam setelah Masa Bersiap.

Selain apa yang terjadi di Malang, Limpacht juga mencatat apa yang terjadi di sekitar Cililitan (Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah), Jakarta. Di sana, seorang bintara keamanan berdarah Indo-Eropa memanfaatkan jaringan mata-mata yang terdiri orang-orang Indonesia. Mata-mata itu biasa mendapat tugas untuk membunuhi orang-orang yang dianggap berbahaya bagi militer Belanda di Cililitan.

Selama revolusi berkecamuk di Jawa, serdadu KNIL dalam batalyon infanteri menjadi andalan Koninklijk Leger (KL) alias tentara Kerajaan Belanda. Mereka dikirim ke kota-kota pelabuhan dan pedalaman untuk melawan tentara Republik. Kebanyakan serdadu-serdadu KNIL itu pun merasa lebih aman bersama Belanda.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi