Menuju konten utama

Klorokuin yang Dilarang BPOM: Dari Kina, Malaria, hingga Corona

Klorokuin dilarang oleh BPOM. Obat ini sebelumnya dipercaya potensial menyembuhkan pasien Corona.

Klorokuin yang Dilarang BPOM: Dari Kina, Malaria, hingga Corona
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga (kanan) menyerahkan kotak berisi obat Chloroquine kepada Dirut RSPI Sulianti Saroso dr. Moh. Syahril di Jakarta, Sabtu (21/3/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut emergency use authorization (EUA) terhadap chloroquine phosphate dan hydroxychloroquine sulfate, dua obat malaria yang banyak dipakai untuk mengobati pasien terinfeksi Corona. Keputusan ini tertera dalam surat pemberitahuan yang ditandatangani oleh Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat dan Makanan Togi Junice Hutadjulu pada 13 November 2020.

Dengan keputusan ini, maka “obat yang mengandung hydroxychloroquine sulfate dan chloroquine phosphate agar tidak digunakan lagi dalam pengobatan COVID-19,” kata Togi lewat keterangan tertulis, Rabu (18/11/2020),

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan dengan keluarnya keputusan ini, segala perdebatan mengenai penggunaan hydroxychloroquine dan chloroquine di Indonesia telah berakhir. “Karena badan yang bertanggung jawab atas peredaran obat memang BPOM. Kalau BPOM mengatakan harus dihentikan atau dicabut, itu harus dicabut,” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Rabu.

Meski demikian, Ahmad berharap BPOM mengeluarkan laporan detail terkait pengawasan terhadap dua obat itu, lebih baik jika diterbitkan di jurnal ilmiah. Menurutnya, itu langkah yang baik agar masyarakat termasuk akademikus bisa mempelajari temuan-temuannya.

Dari Pohon Kina untuk Corona

Chloroquine atau klorokuin adalah pengembangan dari senyawa kinin sulfat yang diekstrak dari kulit pohon kina. Penggunaan kulit pohon kina mulai dikenal di Inggris dan Denmark sejak 1660-an, tapi manfaatnya untuk mengobati malaria baru diterima sepenuhnya oleh komunitas ilmiah pada awal abad ke-18. Komoditas ini sempat dikuasai Belanda dari bumi Indonesia, tapi berakhir ketika Indonesia diduduki Jepang pada 1842.

Selain untuk mengobati dan mencegah malaria, klorokuin juga digunakan untuk mengobati amebiasis, yaitu infeksi usus besar dan hati yang disebabkan oleh amuba. Di samping manfaat, obat ini memiliki efek samping yang cukup kuat. Mengonsumsinya untuk jangka panjang atau pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada retina dan beberapa efek samping lain pada tubuh.

Efek tersebut juga bakal muncul dari pengguna hydroxychloroquine atau hidroksiklorokuin, obat turunan klorokuin tapi dengan tingkat toxic lebih rendah.

Dua obat ini sempat digadang-gadang mampu mengobati pasien COVID-19. Penelitian di Tiongkok yang dipublikasikan di jurnal Cell Discovery pada 18 Maret lalu mengungkapkan berdasarkan hasil uji laboratorium, hidroksiklorokuin “efektif dalam menghambat infeksi SARS-CoV-2 in vitro.” Para peneliti menulis: “Kami memperkirakan obat tersebut memiliki potensi yang baik untuk memerangi penyakit. Kemungkinan ini menunggu konfirmasi dari uji klinis.”

Beberapa pihak tampak percaya diri dengan obat ini, salah satunya Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengaku mengonsumsi hidroksiklorokuin. Sementara Presiden Joko Widodo pada pertengahan Maret lalu, bilang “telah siap 3 juta” klorokuin.

Seiring meningkatnya popularitas obat, penelitian lanjutan dilakukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak Maret 2020 menggelar Solidarity Trial, yakni program uji klinik terhadap klorokuin dan tiga obat lain. Proyek ini dilakukan di lebih dari 100 negara di 6 wilayah. Indonesia termasuk. Di sini, sebanyak 54 dari 278 subjek di 22 rumah sakit diberi terapi hidroksiklorokuin.

Muncul juga sejumlah penelitian yang menyatakan hidroksiklorokuin tidak memberi manfaat dalam pengobatan COVID-19, justru meningkatkan angka kematian. Salah duanya studi di Columbia VA Health Care System di Universitas South Carolina dan Universitas Virginia yang melibatkan 368 pasien. Sebanyak 97 pasien diberikan hidroksiklorokuin dan 158 pasien tidak diberi. Hasilnya, tingkat kematian kelompok pengguna hidroksiklorokuin mencapai 27,8 persen, sementara tingkat kematian kelompok lainnya hanya 11,4 persen.

Selain itu, hidroksiklorokuin, dalam pemakaian tunggal atau dikombinasikan dengan aztromisin, juga tidak mengurangi risiko penggunaan ventilasi mekanik pada pasien.

Lancet, salah satu jurnal pengobatan terkemuka, juga mempublikasikan penelitian terhadap 96 ribu pasien pengguna hidroksiklorokuin. Hasilnya, penggunaan obat itu justru meningkatkan kematian bahkan menimbulkan efek samping berupa aritmia jantung. Namun beberapa waktu kemudian makalah itu ditarik dari jurnal.

Perkembangan itu pun memicu WHO dan Solidarity Trial menghentikan pengujian pada 25 Mei lalu. Datanya dipantau oleh Dewan Pemantau Keselamatan Data, tetapi dewan tidak menemukan masalah keamanan dalam pemberian hidroksiklorokuin. Dr. dr. Irmansyah, SpKJ(K) dan Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), Steering Comittee Solidarity Trial Indonesia mengatakan pada saat itu belum ditemukan laporan mengenai masalah keamanan yang serius pada subjek penelitian di Indonesia.

WHO akhirnya menyimpulkan tidak ada alasan untuk menghentikan total uji klinis terhadap obat malaria itu. Per 3 Juni, Solidarity Trial kembali melanjutkan proyeknya. Namun, sebulan kemudian, tepatnya 4 Juli, WHO menyetujui rekomendasi Steering Committee Internasional Solidarity Trial untuk menghentikan total pengujian terhadap hidroksiklorokuin dan lopinavir/ritonavir. Keputusan itu diambil setelah penelitian menyimpulkan tidak ada bukti dua obat itu menurunkan angka kematian. Namun juga tidak ada bukti solid bahwa pemberian dua obat itu meningkatkan angka kematian.

Kendati sudah dinyatakan tidak efektif oleh WHO, nyatanya Indonesia masih tetap menggunakan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk beberapa waktu. Dalam pernyataannya pada 19 Juni, BPOM menemukan penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 tidak meningkatkan risiko kematian, bahkan penggunaan obat ini mempercepat lama rawat inap pasien COVID-19.

BPOM mengakui ada efek samping dari obat ini, yakni peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping itu pun sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi.

Walau begitu, BPOM mendesak penggunaan dua obat itu harus merujuk informasi kehati-hatian adanya risiko gangguan jantung sebagaimana tercantum dalam informatorium obat COVID-19 di Indonesia yang diterbitkan BPOM dan Protokol Tata Laksana COVID-19 yang diterbitkan lima asosiasi profesi.

Baca juga artikel terkait OBAT CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino