Menuju konten utama

Klaster Takziah & Kasus COVID-19 di Sleman yang Tak Terbendung

Sleman jadi daerah dengan kasus COVID-19 terbanyak di DIY. Di sana muncul klaster takziah baru-baru ini.

Klaster Takziah & Kasus COVID-19 di Sleman yang Tak Terbendung
Seorang seniman mural membuat mural dengan tema kampanye melawan COVID -19 di kawasan Tanah Tinggi, Tangerang, Banten, Rabu (20/1/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

tirto.id - Penambahan kasus harian COVID-19 di Kabupaten Sleman relatif naik ketika klaster-klaster baru penularan bermunculan. Hasilnya, Sleman menjadi kabupaten dengan kasus paling tinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Hingga 29 Maret 2021, kasus COVID-19 di DIY berjumlah 32.917. Sleman menyumbang 11.705 atau setara 35 persen dari seluruh kasus. Sisanya 9.609 di Bantul, Kota Yogyakarta 5.810, Kulonprogo 3.591, dan Gunungkidul 2.237

Berdasarkan data realtime dari Pemkab Sleman, sejak April 2020, rekor penambahan kasus terjadi pada 27 Januari dengan total 191 kasus. Setelah itu penambahan kasus cenderung fluktuatif namun beberapa kali penambahan masih di atas 100 per hari.

Selepas 10 Februari, penambahan kasus melandai, angkanya selalu di bawah 100. Namun, pada 17 Maret, penambahan kasus kembali melonjak di atas 100, yakni 122 kasus, di tanggal 24 maret melonjak lagi menjadi 171 kasus dan 27 maret 127 kasus.

Pencatatan data harian Pemkab Sleman berbeda dengan data yang dilaporkan oleh Pemda DIY di setiap sore hari. Misalnya, pada 23 Maret 2021, Pemda DIY mengumumkan ada 58 kasus sementara Pemkab Sleman hanya 12; 24 Maret Pemda DIY 114 kasus, Pemkab Sleman 171 kasus; 25 Maret Pemda DIY 100 kasus, Pemkab Sleman 47 kasus; 26 Maret Pemda DIY 82 kasus, Pemkab Sleman 64 kasus.

Kemudian tanggal 27 Maret, pada hari itu Pemda DIY 76 kasus sementara Pemkab Sleman 127 kasus; 28 Maret 2021 Pemda DIY 55 kasus, Pemkab Sleman 42 kasus; 29 Maret Pemda DIY 24 kasus, Pemkab Sleman 45 kasus.

Kendati pencatatan berbeda, jumlah kasus dalam sepekan itu tak terpaut jauh, yakni Pemda DIY mencatat 509 kasus dan Pemkab Sleman 508 kasus.

Tren lonjakan kasus di pertengahan Maret ini tak lepas dari ditemukannya klaster baru penularan. Kepada reporter Tirto, Selasa (30/3/2021), Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo bilang saat itu ditemukan dua klaster baru yang berasal dari kegiatan takziah di Dusun Plalangan, Desa Pandowoharjo, dan Dusun Blekik, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik.

“Kalau yang di Pandowoharjo kejadiannya lebih belakangan, sekitar pertengahan Maret. Kalau yang Sardonoharjo itu di akhir Februari tapi perkembangannya [baru diketahui] pertengahan Maret juga,” kata Joko.

Klaster takziah di Desa Pandowoharjo berawal ketika terdapat seorang warga yang meninggal bukan karena COVID-19, lalu sejumlah orang termasuk kerabat dari luar daerah datang melayat. Setelah ditemukan beberapa orang positif COVID-19 dari kegiatan itu, dinas kesehatan melalui puskesmas kemudian melakukan tracing. Dari tes swab antigen dan tes rapid antibodi terhadap 266 orang pada Senin 29 Maret, ditemukan 49 orang positif. Mereka kemudian dites lagi dengan tes swab PCR.

Total, untuk klaster di Pandowoharjo, sebanyak 380an orang telah dilakukan tracing baik dengan tes swab antigen atau tes rapid antibodi. “Sedangkan yang klaster di Dusun Blekik dilakukan tracing 331, positif antigen 53,” ujarnya.

Klaster yang muncul karena takziah ini terjadi di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro yang telah diperpanjang oleh Pemkab Sleman hingga 5 April 2021. PPKM mikro ini membatasi sejumlah kegiatan dengan maksimal pengunjung 25 persen dari kapasitas ruangan. Takziah adalah salah satu yang dibatasi karena masuk dalam kategori kegiatan sosial.

Joko mengakui bahwa penerapan PPKM mikro belum benar-benar terkendali. “Penerapan PPKM mikro ini harus dikendalikan. Dikontrol secara ketat karena dari awal sudah kami ingatkan karena layatan atau jajatan itu potensial terjadi kerumunan dan potensial terjadi penularan,” ujarnya.

Ketika menimbulkan penularan yang cukup banyak seperti sekarang ini, seharusnya masyarakat dapat merespons dengan mengurangi kegiatan apa pun yang menimbulkan kerumunan termasuk takziah atau mengubah caranya. “Layatan tidak usah duduk lama ngobrol. Ya, cukup mengucapkan belasungkawa langsung pulang. Tahlilan pun harus diatur lagi supaya tidak perlu ada kumpul di satu tempat. Ini baru usulan kami. Nanti selebihnya tergantung dari Ketua Satgas,” kata Joko.

PPKM Mikro Tak Efektif

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad menilai situasi di Yogyakarta khususnya Sleman merupakan implikasi dari ketidakseriusan penerapan kebijakan. Baik PPKM mikro atau pembatasan lain sebelumnya tidak pernah diimplementasikan secara serius sehingga tidak memberikan dampak pengurangan mobilitas warga.

“Kita bisa lihat hampir tidak ada lagi pembatasan di tempat kerumunan. Yang dilakukan hanya orang harus pakai masker. Menjaga jarak sudah tidak ada lagi. Kalau ini yang terjadi ya sebenarnya kita tidak melakukan pembatasan,” kata Riris kepada reporter Tirto, Selasa.

Dengan situasi seperti itu dan penularan yang sudah sangat meluas, pembatasan skala kecil tidak lagi efektif, menurut Riris.

“Dalam situasi sekarang ini pembatasan skala mikro ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau pembatasan mikro itu dilakukan saat kasusnya masih sangat sedikit atau klasternya kecil, bisa. Kalau kemudian kasusnya ada di mana-mana, lalu yang dibatasi apanya?” kata dia.

Menurutnya klaster takziah di Sleman hanya sebagian kecil dari klaster penularan yang dapat ditemukan. Dengan penularan yang meluas dan pembatasan yang implementasinya tak efektif, maka klaster-klaster lain menurutnya banyak hanya saja tak ditemukan atau tidak ramai diberitakan.

Baca juga artikel terkait PENULARAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino