Menuju konten utama

Klaster Perpajakan UU Ciptaker Berpotensi Kurangi Penerimaan Negara

The PRAKARSA menilai penurunan tarif PPh Badan dengan alasan untuk menarik investasi masuk ke RI dinilai tidak tepat.

Klaster Perpajakan UU Ciptaker Berpotensi Kurangi Penerimaan Negara
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) didampingi Menkumham Yasonna Laoly (kedua kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menerima laporan akhir dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi (bawah) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.

tirto.id - The PRAKARSA menilai RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang disahkan DPR RI dan pemerintah menjadi UU pada Senin, 5 Oktober lalu berpotensi mengurangi penerimaan negara. Sebab dalam regulasi dengan metode Omnibus Law itu memuat juga klaster perpajangan.

Berdasarkan catatan The Prakarsa, masuknya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja mengakomodir pasal-pasal pada rancangan Omnibus Law perpajakan yang belum masuk ke dalam UU No. 2 tahun 2020. Beberapa pasal pada Omnibus Law perpajakan sudah masuk ke dalam UU 2/2020, seperti penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dan pungutan pajak transaksi elektronik.

“Langkah pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen perlu untuk dikritisi. Pemerintah tidak perlu menurunkan tarif PPh Badan. Pasalnya, tren penerimaan negara terus menurun dari tahun ke tahun sementara kita perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial yang menyejahterakan rakyat,” kata Cut Nurul Aidha, ekonom The PRAKARSA dalam rilis yang diterima Tirto, Jumat (9/10/2020).

Penurunan tarif PPh Badan ini didasari alasan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia sehingga akan menggerakkan ekonomi. “Alasan ini kurang tepat karena yang paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penegakan hukum atas praktik korupsi, perbaikan sistem kemudahan berusaha, perizinan, kontrak bisnis, dan sistem pelaporan dan pembayaran pajak untuk badan usaha. Dengan itu, maka investor akan yakin untuk berinvestasi di Indonesia,” kata Cut Nurul.

Klaster perpajakan di dalam UU Cipta Kerja memuat pasal tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen di luar negeri. Pada Pasal 111 disebutkan bahwa dividen yang berasal dari luar negeri oleh pemilik Indonesia tidak dipajaki apabila ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya di Indonesia dalam jangka waktu dan memenuhi persyaratan tertentu. Penghapusan PPh atas dividen ini dapat mendorong penempatan dana yang lebih produktif di Indonesia dari pemilik modal dan pengenaan persyaratan terkait pengecualian PPh atas dividen ini dapat mengubah rezim pajak Internasional Indonesia menjadi territorial.

“Namun perlu dipahami bahwa penghapusan PPh atas dividen tidak selalu menjamin repatriasi atau pengembalian dana yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri dan juga tidak menjamin berkurangnya risiko penghindaran pajak,” kata Cut Nurul.

Cut Nurul memberikan catatan khusus perihal pajak transaksi elektronik yang diatur di dalam UU 2/2020. Menurut dia, langkah pemerintah memperluas basis pajak ke sektor ekonomi digital tersebut perlu diapresiasi. Ke depan, pemerintah perlu menyusun langkah yang lebih jelas dan terukur agar mampu optimal mengejar potensi penerimaan negara dari bisnis digital.

UU Cipta Kerja Pasal 156B tentang Pajak dan Retribusi menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Pemerintah berharap insentif pajak di daerah dapat meningkatkan jumlah investasi ke daerah.

Namun, kata Herawati, ekonom The PRAKARSA, memposisikan kebijakan insentif perpajakan sebagai daya tarik bagi penanaman modal bukan cara yang paling tepat. Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa insentif pajak bukanlah pertimbangan utama investor dalam menempatkan investasinya, kata Herawati.

Oleh sebab itu, kata Herawati, rencana kebijakan insentif pajak oleh pemerintah daerah harus dibatalkan, selain tidak efektif menarik investasi juga sangat rawan penyelewengan oleh otoritas di daerah dan sangat susah untuk diawasi karena jumlah pemda sangat banyak.

“Pemerintah harus meningkatkan transparansi pemberian insentif perpajakan yang mengedepankan asas keterbukaan, termasuk mengeluarkan regulasi terkait ketentuan fasilitas insentif dan relaksasi pajak pada tingkat regulasi teknis, PP atau PMK Menkeu,” kata dia.

Selain itu, kata Herawati, pemerintah harus melakukan studi yang komprehensif terkait korelasi pemberian intensif pajak dengan tingkat investasi yang masuk. Hal ini perlu agar potensi hilangnya pendapatan pajak yang seharusnya diterima (revenue forgone) tidak terjadi.

“Ke depan, pemerintah perlu melakukan reformasi sistem perpajakan yang lebih komprehensif dan transparan,” kata Herawati yang juga aktif di Forum Pajak Berkeadilan.

Baca juga artikel terkait UU OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri