Menuju konten utama
Taufiq Rahman:

"Kita Kekurangan Penulis Musik yang Kreatif"

Jurnalisme musik. Media independen. Kuantitas mengalahkan kualitas?

Ilustrasi Taufiq Rahman. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sepak terjang Taufiq Rahman dalam dunia musik telah lama dirintis. Selepas menyelesaikan pendidikan pasca-sarjana di Universitas Northern Illnois, bersama rekannya Phillips Vermonte—sekarang menjadi peneliti di CSIS—Taufiq mendirikan situs musik independen, Jakartabeat. Situs ini menjadi kawah candradimuka bagi penulis-penulis lokal dengan sudut pandang segar. Taufiq juga mendirikan label independen Elevation Records yang merilis karya-karya bernas.

Di tengah kesibukannya sebagai redaktur politik The Jakarta Post, dua kali Taufiq menerbitkan buku mengenai musik berjudul Lokasi Tidak Ditemukan (2012) serta Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017). Lokasi Tidak Ditemukan antara lain mengulas musisi-musisi utama dunia dari Bob Dylan, Black Sabbath, Rage Against the Machine, hingga Jeff Buckley. Sedangkan lewat Pop Kosong Berbunyi Nyaring, Taufiq berkisah perihal musisi arus pinggir seperti The Walkmen, Bandempo, Minutemen, hingga Strange Mountain.

Ditemui Tirto di ruang kerjanya di bilangan Palmerah pada Minggu (3/12/2017) lalu, Taufiq bertutur tentang banyak hal; bagaimana memahami penulisan musik, peran media, sampai sikap snob yang dianggap tak berbahaya.

Menulis tentang musik sudah menjadi sesuatu yang berdiri sendiri, bahkan ada yang menyebutnya “jurnalisme musik.” Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

Menulis musik atau dalam hal ini orang-orang menyebutnya dengan “jurnalisme” musik, pada dasarnya tak jauh berbeda dari kaidah jurnalisme secara umum. Akan tetapi, menulis musik tak sebatas menuangkan pola 5W+1H. Bahasan mengenai pola itu sudah selesai ketika hendak menulis musik. Lantas apa yang harus dituangkan? Tentunya hal-hal menarik di luar pandangan umum soal musik. Misalkan, Anda ingin menulis soal The Doors, ya, Anda harus mencari sisi lain dari The Doors. Bisa mengulik mengenai Jim Morrison dengan segala kultusnya atau hal-hal lain di luar tulisan album The Doors mana yang lebih bagus. Terlepas dari apakah Jim Morrison dan segala kultusnya itu benar atau hanya berasal dari omongan orang-orang di sekitarnya, itu menjadi hal menarik yang bisa ditulis. Intinya, menulis musik merupakan bagaimana kita menulis kreatif dengan bahan-bahan berbeda dari pembahasan umum mengenai musik. Lebih bagus lagi apabila menulis musik disertai konteks sosial yang ada.

Ada yang menyatakan, menulis musik lebih santai dari menulis topik lain seperti politik atau hukum dalam jurnalistik.

Seperti yang saya jelaskan di awal tadi, menulis musik pada hakikatnya merupakan bagian dari jurnalisme. Namun, dalam menulis musik tidak semuanya harus disamakan dengan kaidah jurnalistik pada umumnya. Fact checking dan verifikasi data memang perlu—dan tidak bisa ditepikan juga—tapi bukan menjadi kebutuhan primer seperti jurnalisme kebanyakan. Karena sekali lagi menulis musik adalah bagaimana penulis menyampaikan hal-hal menarik dari musik dengan gaya-gaya khas maupun improvisasi yang dimiliki. Beda ketika Anda menulis tentang politik, hukum, atau ekonomi-bisnis yang cenderung ada guideline yang musti ditaati.

Jika demikian, bagaimana proporsi yang ideal kala menulis tentang musik?

Sebenarnya saya percaya bahwa menulis musik itu sama dengan kritik budaya yang lain. Bahwa idealnya, menulis tentang musik berisikan 95 persen opini dan sisanya fakta. Akan terasa menyulitkan ketika perbandingannya menjadi 50 persen fakta, 50 persen opini. Atau katakanlah, 75 persen fakta dan 25 persen opini. Sebagai contoh, Anda ingin menulis feature yang berasal dari hasil wawancara Anda dengan musisi atau band. Maka idealnya, pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan saat wawancara hanya menjadi penyambung saja dalam tulisan yang akan Anda publikasikan nanti. Karena, akan lebih baik jika dalam tulisan itu Anda lebih banyak menulis hal-hal non teknis dengan hasil wawancara sebagai jembatannya.

Apakah Indonesia kekurangan penulis musik?

Sejujurnya, jurnalis musik selalu ada seiring berjalannya waktu. Tapi kebanyakan dari mereka cuma melaporkan apa yang terjadi di depan mata, tanpa improvisasi maupun tanpa membahas sisi-sisi menarik lainnya. Pun dengan konteks sosial yang sebetulnya bisa digali lebih dalam lagi. Mereka kebanyakan hanya memanfaatkan wawancara dengan band-band ternama, membahas dunia glamor rekaman, atau mungkin membahas musik dari perspektif yang itu-itu saja. Sementara penulis yang menulis musik sebagai wadah pemahaman menyeluruh untuk masyarakat, yang memberikan afeksi kedekatan kepada masyarakat, yang tidak partisan, serta menulis musik secara kreatif, masih sedikit—bukan berarti tidak ada. Menulis musik tak perlu dengan bahasan yang serius-serius, misalkan membahas pendekatan musik dari kacamata borjuis atau marxisme. Jika penulis musik kebanyakan mengambil sudut pandang yang ‘berat’ seperti itu, alangkah baiknya di tempat lain saja. Itu ranahnya di akademis.

Saya melihat fenomena semacam ini kerap muncul: media musik independen yang tidak terikat dengan kepentingan banyak lahir, tetapi keberadaan mereka tak lama. Apa yang menjadi penyebabnya?

Ini menjadi masalah lama, ya. Ketika media musik banyak datang dan pergi. Tapi saya bisa mengatakan datang dan perginya media musik independen—tanpa terikat dengan kepentingan apapun—merupakan hal yang normal. Membuat media musik independen semacam menjadi kerja sosial. Mengapa saya ibaratkan demikian? Karena ketika Anda menulis musik di media independen, Anda menulis dengan faktor kesenangan, suka cita, dan perasaan yang antusias; tanpa diberi bayaran secara materi. Di lain sisi, pola menulis dengan berlandaskan kesenangan tersebut cepat atau lambat akan mencapai tahapan dan tantangan di mana faktor-faktor seperti modal dan niat bakal berperan penting dalam keberlangsungan media yang ada. Memang, kita bisa menulis apa saja tanpa harus bertanggung jawab atau memenuhi keinginan pemilik modal, misalnya. Tapi, itu tadi; ada batasan yang kadang tidak bisa diajak untuk berkompromi. Mengingat menulis musik pada wadah media independen semacam ini ibarat kerja senang.

Saya ambil contoh ketika dulu saya mendirikan Jakartabeat bersama Philips (Vermonte). Sejak awal kami memberi kebebasan kepada mereka yang ingin menulis tentang musik atau hal-hal budaya lainnya. Mereka bisa menulis apa saja sesuai keinginan dan kreativitas yang dimiliki karena Jakartabeat tidak memiliki tanggung jawab kepada pemilik modal dan jurnalisme baku. Ibarat kata punya keinginan seperti [majalah] Creem tahun 1970an yang menulis musik dengan gaya apa saja. Jakartabeat adalah tempat di mana teman-teman seperti Nuran (Wibisono) atau Manan (Rasudi) bisa menuangkan isi pikirannya tanpa merasa harus dibatasi. Ya, walaupun tak jarang dari kebebasan itu kerap menimbulkan “perkelahian” (tertawa). Dari dasar itu, publik menganggap Jakartabeat beda dari yang lain. Ini cukup mengagetkan saya juga. Tapi di lain sisi, publik juga mengungkapkan pendapatnya bahwa Jakartabeat tak seramai dulu lagi. Kalau dengan asumsi itu, saya tidak terlalu kaget karena itu salah satu konsekuensi yang harus diterima ketika Anda membuat media musik independen.

Apa dampak bahaya yang ditimbulkan ketika media musik independen semakin jarang ditemui?

Yang saya takutkan, jika kondisi seperti itu semakin banyak ditemui maka yang ada publik tidak mendapatkan perspektif lain dari musik yang notabene bisa dikulik lebih jauh lagi dari lapisan terluar. Publik hanya memperoleh informasi mengenai musik yang itu-itu saja, informasi yang dikuasai dan disajikan oleh media besar tanpa adanya sisi menarik yang bisa dibahas.

Bagaimana peran media dan jurnalisme musik secara keseluruhan?

Sama saja, ya, dengan peran media pada umumnya. Tapi jika berbicara musik maka peran media dan penulis adalah juga sebagai pembaca tren, arbiter, dan pengarah selera bagi masyarakat atau pendengar kebanyakan. Atau jika ingin diibaratkan bisa disamakan dengan peran label dalam menentukan musik mana yang harus dirilis, mana yang musti ditahan atau dibuang. Media juga seperti itu. Media harus bisa menengahi, menawarkan, serta memberikan opsi lain untuk para pembaca mengenai musik apa saja yang patut didengarkan. Dan sebetulnya membaca media musik itu merupakan bagian dari mendengarkan musik itu sendiri. Misalkan, Anda ingin mendengarkan Miles Davis atau Cannonball Adderley (saksofonis jazz era 1960an). Otomatis, Anda baiknya juga mencari informasi mengenai mereka. Membaca ulasan demi ulasan tentang mereka. Mendengarkan musik tak bisa hanya mendengar saja.

Fungsi media yang ideal bisa dilihat dari apa yang dilakukan media macam Pitchfork, Spin, atau Stereogum dan juga media arus utama layaknya Slate dan The New York Times. Mereka setiap hari menyajikan ulasan mengenai musik secara konsisten. Dari ulasan-ulasan yang keluar tersebut, publik jadi bisa menangkap dan akhirnya selera mereka atau pandangan mereka tentang musik dapat terbentuk. Sebenarnya tidak harus dikotomi mana musik baik mana yang buruk, tapi kembali lagi bahwa dengan keberadaan media musik, publik bisa paham mana musik yang menarik, mana cerita yang menarik, konteks musik apa yang dibawa, dan apa yang kiranya bisa diperhatikan.

Saya mencontohkan seperti ini. Saya memiliki seorang putri. Saya melihat kecenderungannya untuk mendapatkan musik dari Spotify atau melihat YouTube. Nah, saya sebagai seorang ayah yang kebetulan paham sedikit-sedikit mengenai musik, memberikan alternatif untuknya. Suatu saat, dalam perjalanan di mobil, saya pernah memutarkan Pixies untuknya. Saya bilang ke dia, “Pixies ini band yang bagus. Mereka hampir nongol sebagai pengisi soundtrack di film-film cult macam Fight Club.” Lantas, dari situ dia mulai mendengarkan Pixies meski dia tetap mengikuti musik-musik era sekarang seperti Rich Chigga atau artis YouTube lainnya. Sekarang bayangkan, apabila saya tidak memberi intervensi kepadanya dengan memberi referensi musik yang bagus, akan jadi apa dia? (tertawa) Kira-kira semacam itu peran media musik secara umum. Jika keberadaan media musik semakin ke sini semakin berkurang porsinya, takutnya, selain masyarakat kurang mendapatkan pandangan lain tentang musik, juga kita akan didominasi mesin-mesin algoritma seperti apa yang ada di Spotify.

Apakah media musik di Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk Jakarta-sentris?

Saya rasa tidak, ya. Teman-teman di luar Jakarta sudah mulai membentuk ekosistemnya sendiri. Di Yogya, saya kemarin melihat dan membaca Serunai—situs yang membahas mengenai budaya termasuk musik di dalamnya—dan di daerah-daerah lain seperti Makassar. Ditambah, saya melihat teman-teman di luar Jakarta lebih memiliki respons kritis terhadap apa yang datang dari Jakarta. Dalam artian tidak serta merta semua dilahap begitu saja. Kondisi ini membuktikan bahwa situasi sudah tidak sama seperti dulu ketika anggapan Jakarta adalah pusat peradaban Indonesia masih terpatri dan menjadi stigma. Sekarang, teman-teman di luar Jakarta serius dalam mengembangkan scene-nya, membuat struktur maupun sistem komunitasnya lebih aktif.

Saya melihat ada semacam budaya di mana tulisan musik dikritik tidak dengan dasar argumen yang logis lagi jelas tapi justru menyerang posisi personal sang penulis. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?

Saya harus menyalahkan internet ketika budaya menyerang personal seperti itu kerap ditemukan. Sebenarnya, fenomena ini sudah muncul sejak lama. Bedanya, dulu ketika orang lain punya disagreement tentang tulisan musik yang ada, solusinya dipendam sendiri. Atau jika ingin sedikit repot, kita bisa menulis kritikan atau tanggapan lantas dikirim ke redaksi dan berharap dimuat. Tapi sebagai catatan, itu dulu sebelum internet lahir. Sekarang, saat internet lahir, orang-orang dengan mudah dapat mengirimkan keluhannya tanpa harus merasa sungkan dan ribet dengan segala proses keredaksian. Dan, biasanya mereka yang mengkritik memunculkan kalimat pertama dengan: “Kenapa kamu menulis seperti ini?” Konteks ‘kamu’ di sini sudah bukan membahas konteks tulisan secara umum, melainkan sudah menyerang pribadi si pembuat tulisan. Ada konteks ad hominem attack. Lagi-lagi karena internet. Internet seakan membuat kita menjadi jahat dengan toxic-toxic yang dibawa. Lalu, pembahasan musik itu membuat kita menjadi tribal. Apalagi bagi mereka yang menyukai dan memahami musik. Anak punk pasti benci dengan anak musik progresif atau anak metal benci dengan indie. Dari sini, musik yang berada sejak level primordial sudah bergerak seperti agama ketika bisa menghasilkan kebencian di lingkungannya. Ditambah dengan adanya penerbitan online, perdebatan justru berujung kelahi dan jatuhnya serius. Saya curiga, berdebat tentang musik tidak akan pernah selesai (tertawa).

Ada anggapan bahwa penulis musik kadang dianggap snob karena merasa ‘lebih’ dari pendengar musik secara umum. Bagaimana pandangan Anda?

Saya sudah selesai dengan perdebatan tentang snob. Katakanlah seperti ini, kalau Anda menghabiskan waktu dari muda sampai paruh baya, selama 25 tahun dengan membaca, mendengarkan, dan memahami musik dengan kompleksitas di dalamnya, lalu di saat bersamaan Anda mulai menemukan fakta bahwa musik juga muncul dari Taylor Swift atau Ed Sheeran, Anda akan sulit memisahkan diri dari itu. Apakah penulis musik yang dianggap snob adalah manifestasi kesombongan atau perasaan lebih baik, menurut saya tidak juga. Ini hanya perkara siapa yang memiliki pengalaman membaca lebih banyak, memiliki cara pandang lebih dari biasanya, dan memiliki selera yang lebih dari musik keluaran radio atau Spotify. Penulis musik yang dianggap snob oleh orang banyak sebetulnya punya pemahaman komprehensif sehingga kita banyak tahu akan dan bisa memisahkan dari hal-hal yang sifatnya generik.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf