Menuju konten utama

Kita Harus Khawatir Saat Kasus Corona Indonesia Salip Cina

Kasus kumulatif Corona Indonesia melebihi Cina, dan akan terus bertambah mengingat masih masifnya penambahan kasus harian. Tentu kita perlu khawatir.

Kita Harus Khawatir Saat Kasus Corona Indonesia Salip Cina
Peneliti menyaring ekstrak bahan alam untuk imunomodulator (peningkat imun tubuh) bagi pasien COVID-19 di Laboratorium Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/7/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia per hari ini (21/7/2020) mencapai 88.214, lebih banyak nyaris 3.000 dari kasus kumulatif Cina, episentrum pertama virus, sebanyak 85.314 kasus, menurut laman Johns Hopkins University. Angka kematian karena Corona di Indonesia mencapai 4.239, mendekati angka kematian di Cina yang mencapai 4.644.

Rentang kasus dua negara ini mungkin akan terus melebar mengingat penularan masif masih terjadi di Indonesia--kisaran 1.500 sampai 2.000 kasus baru per hari. Sementara Cina sudah terkendali, menurut pakar medis.

Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Achmad Yurianto menegaskan tidak akan ada perubahan strategi penanganan pandemi meski angka positif terus bertambah bahkan melebihi Cina. Ia pun mempertanyakan balik, kenapa Indonesia harus dibandingkan dengan Cina. "Kenapa enggak dibandingkan dengan Bangladesh, India, Brasil atau Amerika?" kata Yuri kepada reporter Tirto, Senin (20/7/2020).

Empat negara yang disebut Yuri kondisinya lebih parah, dalam arti angka kasus positif seluruhnya melebihi Indonesia dengan jarak cukup jauh. Kasus positif di Bangladesh mencapai 207.453, India 1.155.338, bahkan Brasil lebih dari 2 juta dan Amerika lebih dari 3,8 juta.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan data terbaru ini adalah indikasi kuat bahwa strategi pemerintah gagal mengerem laju penularan COVID-19. Semestinya yang perlu dilakukan adalah evaluasi total, sesuatu yang menurutnya tidak pernah dilakukan atau tidak pernah diumumkan hasilnya secara terbuka ke masyarakat.

"Kita mengendalikan pandemi atau pura-pura mengendalikan pandemi?" kata Pandu, retorik, kepada reporter Tirto.

Salah satu strategi yang ia kritisi adalah kategorisasi wilayah penularan: merah (penularan tinggi), kuning (sedang), hijau (rendah/tidak ada). Menurutnya ini hanya memberikan ketenangan palsu ke warga. Kategorisasi ini mengasumsikan ada wilayah yang lebih aman dibanding wilayah lain, padahal penyebaran virus tidak mengenal batas wilayah. Kategori hijau tak menjamin seluruh warga yang tinggal di sana benar-benar terbebas dari virus.

Selain itu, karena jumlah tes belum terlalu masif, ia meyakini kasus positif yang asli lebih besar ketimbang data resmi.

Pandu juga mengkritisi istilah the new normal yang dipopulerkan pemerintah. Istilah ini justru membuat masyarakat abai terhadap kewajiban menggunakan masker atau menjaga jarak. Belakangan pemerintah menyadari kesalahan itu--masyarakat lebih mengingat istilah 'normal', alih-alih 'new normal'--dan menggantinya dengan istilah 'adaptasi kebiasaan baru.'

Elina Ciptadi, co-founder KawalCovid19, perkumpulan inisiatif warga, menegaskan masyarakat memang harus khawatir dengan perkembangan ini karena kemungkinan jumlah pasien positif sebenarnya jauh lebih banyak dan belum terdeteksi.

"Jumlah tes dan besaran positivity rate menggambarkan bahwa di Indonesia, kita baru menemukan puncak gunung esnya. Kita masih jauh dari menemukan skala wabah yang sesungguhnya," kata Elina kepada reporter Tirto.

Indonesia, yang baru melakukan 720.497 tes, mendapati lebih dari 88 ribu kasus positif. Dengan kata lain, rasio kasus positif di sini mencapai 12 persen alias satu kasus positif ditemukan setiap delapan tes. Sementara Cina, mereka menemukan 85.291 kasus setelah mengetes 90 juta penduduk. Artinya, rasio kasus positif di sana hanya 0,09 persen.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia bisa ada di titik ini, kata Elina, salah satunya ialah urusan tes. Untuk bisa melakukan tes swab, seseorang harus terlebih dulu dinyatakan reaktif pada rapid test, padahal tes ini baru menunjukkan hasil reaktif 1,5-2 minggu setelah terinfeksi. Di sisi lain, COVID-19 menular pada 1-3 hari sebelum gejala timbul. "Kalau menunggu rapid test reaktif baru boleh di-swab, ya terlambat sekali," katanya.

Atas dasar itu menurutnya ada beberapa hal yang perlu diubah. Pertama, menghentikan rapid test sebagai syarat administratif untuk tes swab, dan hentikan hasil rapid test sebagai syarat perjalanan. Sebab, kendati hasil rapid test non-reaktif, bukan berarti orang itu tidak terinfeksi virus.

Kedua, semua orang yang kontak erat dengan pasien harus segera dikarantina meski masih merasa sehat. Karantina pun sebaiknya tidak dilakukan di rumah karena berpotensi menulari anggota keluarga lain. Menurutnya, pemerintah harus mengisolasi 25 orang dari setiap kasus positif.

Sampai sekarang, desakan nomor dua masih jauh panggang daripada api. Di Kota Semarang, yang memiliki 642 kasus positif, hanya ada 349 orang dalam pemantauan (ODP). Artinya, hanya satu sampai dua orang yang diisolasi setiap ada kasus positif. Sementara di Surabaya, dari 7.392 kasus positif, orang yang dijaring menjdi ODP hanya 4.733. Atau dengan kata lain, setiap ada kasus positif hampir tidak ada orang yang dijadikan ODP oleh pemerintah.

Jika situasi ini terus berlangsung, Elina mewanti-wanti, "kemungkinan penularan akan terus terjadi, dan makin lama makin eksponensial."

Baca juga artikel terkait COVID-19 DI CINA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino