Menuju konten utama

Kisah Yahudi-Belanda di Kamp Tahanan Jepang di Indonesia

Sepotong kisah tentang masa pendudukan Jepang yang direkam dengan indah sekaligu getir melalui buku bordir.

Kisah Yahudi-Belanda di Kamp Tahanan Jepang di Indonesia
Avatar monique rijker. tirto.id/Sabit

tirto.id - Salah satu bagian sejarah Indonesia yang belum banyak dibicarakan adalah kehidupan orang-orang Belanda keturunan Yahudi di Indonesia, khususnya saat berada dalam kamp tahanan Jepang.

Bangsa Indonesia jelas merasakan kepahitan dan kepedihan karena berbagai tindakan opresif Jepang selama menduduki Indonesia. Namun, dampak pendudukan Jepang di Indonesia tak hanya dirasakan rakyat Indonesia melainkan juga orang-orang Eropa, terutama Belanda—termasuk orang Belanda-Yahudi.

Merujuk penelitian Profesor Rotem Kowner dari Asian Studies Universitas Haifa di Israel, pada masa Perang Dunia II terdapat sekitar 3.000 orang Yahudi di Indonesia. Kebanyakan datang sebagai pegawai pemerintah Belanda dan pedagang. Kelompok keturunan Yahudi di Indonesia terbagi dua: berasal dari Eropa dan Irak.

Salah seorang Yahudi-Belanda yang mengalami kehidupan dalam kamp tahanan Jepang adalah Odeed Cohen. Pria yang lahir pada 23 Februari 1940 ini lebih menyukai namanya ditulis dengan satu "e" menjadi “Oded”. Namanya diambil dari nama seorang nabi yang tertulis dalam Alkitab di II Tawarikh 25.

Saya mengenal Oded dan berkorespondensi melalui surel sejak 2015. Pada Mei 2017, saya bisa bertemu Oded, istri, anak-anak dan cucunya di Tel Aviv, Israel. Tulisan ini adalah rangkuman kisahnya yang, menurut saya, menarik untuk diceritakan untuk mengisi kekosongan pembahasan mengenai keturunan Yahudi di Indonesia, khususnya pada masa pendudukan Jepang.

Oded lahir di Malang, Jawa Timur. Ayahnya, Moshe Cohen, bertugas sebagai hakim di Dutch East Indies atau Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada masa itu). Moshe adalah nama Ibrani untuk Musa, nabi yang dipercaya membawa ajaran Yahudi. Ayah Oded adalah sarjana hukum lulusan Universitas Leiden. Ibu Oded, Rachel, lahir di Yerusalem, mengecap pendidikan di bidang Kimia di Universitas Hebrew dan bekerja sebagai apoteker.

Kedua orangtua Oded bertemu di sebuah bus saat Moshe datang ke Israel sebagai turis. Moshe dan Rachel memutuskan menikah pada 1938 di Yerusalem, berbulan madu di Belanda, lalu bersama-sama pergi ke Jawa karena Moshe harus bekerja sebagai hakim. Ibu Oded yang hanya bisa bahasa Ibrani harus belajar bahasa Belanda dan Indonesia sejak mengikuti suaminya bertugas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur. Itu terjadi pada 1938, menjelang meledaknya Perang Dunia II.

Kehidupan keluarga Moshe Cohen berubah ketika pendudukan Jepang pada Mei 1942. Tentara Belanda menyerah dan ayah Oded menjadi tawanan perang. Ayah Oded sempat diinternir di Malang dan dideportasi pada Agustus 1942 ke Batavia. Sang ayah kemudian dipindahkan ke kamp kerja paksa di Thailand dan Burma.

Tanpa ayah, Oded dan ibunya segera pindah ke Malang dan hidup di area kamp khusus perempuan dan anak-anak Belanda, yang disebut dalam bahasa Belanda “kampwijk”, sebuah kamp berupa lingkungan tertutup dan terbatas yang bernama Boering School. Kamp itu khusus untuk orang Belanda keturunan Armenia dan Yahudi.

Oded berkata tak mengetahui alasan pemisahan tersebut. Meski begitu, tidak banyak orang yang mempraktikkan ritual Yahudi selama di kamp. Ibu Oded sebagai penganut Yahudi Ortodoks pun tidak melakukan ritual karena di dalam agama Yahudi, kebanyakan ibadah dilakukan pria. Selain itu, ibadah dalam bentuk kolektif harus mendapat izin dari kepala kamp.

“Saya melihat pesawat Jepang yang terbang sangat rendah di atas tempat kami dengan suara memekakkan telinga. Saya ingat tentara Jepang ketika menginspeksi tahanan. Ia menggendong saya, berkeliling ruangan dan memberi permen”, tulis Oded dalam surat untuk cucu tertuanya, Alon, yang tinggal di Amerika Serikat.

Setiap ada kesempatan, ibu Oded mengajak Oded mengunjungi ayahnya. Mereka tidak dapat masuk ke dalam kamp dan hanya bisa melihat ayahnya melalui sela-sela pagar.

Suatu kali, Oded kecil diseberangkan melampaui pagar. Setelah sampai di seberang pagar, ayahnya membawa Oded masuk ke dalam kamarnya yang gelap. Oded memberikan titipan ibunya berupa foto Oded dan ibunya yang disimpan dalam sebuah amplop merah berbordir tulisan Ibrani. Sebaliknya, ayah Oded memberikan kotak sabun dari kaleng yang berukir puisi dalam bahasa Ibrani yang bunyinya:

Dari buku harian saya:

Saya mendoakan engkau istri dan anak laki-laki saya yang terkasih

Sebuah istirahat malam yang nyenyak

Malaikat Cinta, utusan hati saya,

Akan menjagamu dan bertahan di atas kepalamu

Perisai pelindung saya dan yang akan menutupimu

Dengan sayap kerinduan saya

Oded terakhir kali bertemu ayahnya di Malang pada Agustus 1942. Pertemuan berikutnya baru terjadi 3,5 tahun kemudian di Singapura ketika Oded berumur 6 tahun. Selama masa itu, ayah Oded berstatus sebagai tawanan perang yang diperbudak Jepang di hutan Burma.

Dalam keadaan sakit dan kelaparan, ayah Oded mengajar Bahasa Ibrani kepada sesama keturunan Yahudi-Belanda selama masa-masa sulit itu. Kecintaannya kepada bahasa nenek moyang membuatnya sanggup menjalani hari-hari di tengah kondisi nestapa. Saat perang usai, kondisi ayah Oded sangat buruk sehingga ia harus dipapah sesama tahanan sejauh 150 kilometer guna mencapai rumah sakit militer terdekat.

Ketika ayahnya di tengah hutan Burma, Oded dan ibunya hidup di Boering School tanpa uang. Ibu Oded sadar bahwa perang masih akan berlangsung lama dan, untuk mengantisipasi masa-masa sulit, ibu Oded menyimpan sebanyak mungkin bahan makanan, seperti gula, tepung, cokelat dan kakao.

Oded dan ibunya sempat mengalami perpindahan kamp dari Malang ke Solo, Jawa Tengah. Oded ingat betul suasana di stasiun Malang ketika orang-orang Belanda naik kereta dengan membawa apa pun yang bisa dibawa.

Pagi-pagi sekali, pada 26 Maret 1943, kereta api tiba di Solo setelah 24 jam perjalanan. Untuk tiba di kamp konsentrasi, seluruh tahanan berjalan kaki. Kamp itu bernama “Boemiekamp”, tempat Oded dan ibunya tinggal dengan penuh harap selama dua tahun. Di sini terdapat 3.900 tahanan. Oded adalah tahanan bernomor 20493, menempati barak nomor 25 yang berisi 152 orang. Setiap tahanan menghuni tempat untuk tidur yang sangat sempit, bersentuhan dari bahu ke bahu.

Kehidupan masa kecil Oded selama masa interniran Jepang bisa ia kenang kembali melalui sebuah buku bordir yang dijalin oleh ibu Oded selama dalam kamp. Buku bordir itu diberikan ibunya sebagai hadiah ulang tahun Oded.

Buku bordir

Buku bordir yang dibuat Rachel, ibunda Oded, saat tinggal di kamp konsentrasi Jepang, Juni-Agustus 1945. FOTO/Monique Rijkers.

Merekam Masa Hidup di Kamp Konsentrasi lewat Buku Bordir

Beratnya hidup di dalam kamp terekam dalam buku bordir itu dan menjadi dokumen sejarah pribadi atau keluarga—semacam ego document yang unik.

Oded mengatakan: “Buku bordir Ibu saya merupakan testimoni dari masa yang sulit dan menakutkan selama berada di dalam kamp, tetapi Ibu membuat buku bordir dengan cara yang indah dan dalam warna cerah.”

Ibu Oded mulai membordir sejak Juni 1945 ketika para tahanan dipindahkan ke kamp Banjoebiroe, Ambarawa, dekat Rawa Pening. Buku bordir berjumlah 15 halaman itu komplit pada Agustus 1945.

Buku berbahan kain dan dibordir itu ialah ide ibu Oded untuk menyiasati razia. Jepang menyita seluruh peralatan tulis seperti kertas, pena dan pensil untuk mencegah komunikasi dengan dunia di luar kamp. Jepang juga menyita buku-buku, kaset lagu dan musik, uang serta perhiasan.

“Saya ingat para ibu berlutut menggali lubang di tanah untuk menyembunyikan barang berharga mereka,” kenang Oded.

Koleksi lagu berbahasa Ibrani milik ibu Oded turut diambil tentara Jepang yang menjaga kamp. Satu kali si penjaga mendengarkan koleksi lagu itu melalui pengeras suara sehingga seluruh tahanan dapat mendengar lagu berbahasa Ibrani. Rupanya si tentara Jepang membolehkan musik Ibrani diperdengarkan karena ia menganggap Yerusalem terletak di wilayah Asia. Dengan demikian musik asing dari sesama Asia tidaklah haram untuk dinikmati.

Sekali waktu, para penghuni kamp mendapat bantuan makanan dari Palang Merah Internasional pada 12 Mei 1945. Ibu Oded mendokumentasikan segala jenis makanan itu ke dalam buku kain itu: corned beef, salmon, bacon, mentega, keju, madu, puding beras dan plum, teh, cokelat, kopi, tepung, biskuit, susu kental, rokok merek Camel dan Chesterfield, serta sabun mandi.

Pengalaman paling berkesan bagi Oded adalah menemukan mangga jatuh dari pohon di halaman Boemiecamp. Satu mangga ini disembunyikan Oded dan baru diberikan kepada ibunya saat sesi bekerja telah selesai. Di tengah hari yang panas, sebuah mangga masak menjadi kejutan menyenangkan bagi ibu Oded. Buah mangga hingga kini menjadi buah favorit Oded, dan seluruh keluarga besar Oded sangat menghargai kisah tersebut.

Momen lain yang diingat Oded adalah ketika diajak ibunya menikmati sekaleng kecil pasta cod liver (hati ikan) yang lezat. Agar tidak ketahuan penjaga kamp, Oded diajak untuk memakannya di dalam kamar mandi. Oded menyebut momen makan pasta hati ikan itu sebagai “surga.”

Perwakilan Palang Merah Internasional berkunjung sekali atau dua kali dalam setahun. Dalam kunjungan itulah mereka menanyai kabar para ibu satu per satu yang mereka ketahui tentang ayah, suami, atau anak laki-laki mereka. Anak laki-laki berusia 11 tahun ke atas harus terpisah dari ibu mereka dan tinggal di kamp pria.

Pada masa-masa itu, ibu Oded tidak tahu sama sekali kabar suaminya.

Rutinitas yang dijalani ibu Oded ialah menanam sayuran, membersihkan dan merawat saluran pembuangan, serta memotong kayu untuk bahan bakar tungku masak. Semua ini turut dibordir dalam buku. Oded ingat ia mempunyai teman bermain saat dalam kamp pertama di Boemicamp, namanya Barend Witjman, yang masih menjadi teman hingga kini.

Seingat Oded, interaksi dengan orang Indonesia yang hidup di luar pagar hampir tak ada. Beberapa tahanan berusaha menukar barang milik mereka dengan makanan, tetapi yang tertangkap tangan akan dihukum, bahkan satu kali hukuman dilakukan di depan anak-anak.

Pada 5 Desember 1944, para ibu meminta izin kepala kamp tahanan Jepang yang dipanggil Funakoshi untuk mengadakan perayaan Sinterklas untuk anak-anak. Tradisi Sinterklas merupakan tradisi bangsa Eropa-Kristen sebelum Natal, sebuah tradisi asing bagi Oded yang beragama Yahudi.

Ibu Oded mengabadikan momen itu dengan membordir seorang ibu yang berpakaian ala Sinterklas dan pembantu Sinterklas, Zwarte Piet (Black Peter). Ibu-ibu di dalam kamp menghadiahkan anak-anak mereka kado seadanya dan menghidangkan makanan ringan yang terbuat dari tepung cokelat, gula, dan susu kental.

Oded mengenang momen itu, “Untuk sejenak, anak-anak mendapat sedikit keceriaan di tengah suasana dalam tahanan.”

Perjalanan Usai Jepang Menyerah

Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah dan kamp pun dibuka.

Para interniran bebas untuk pergi. Namun, karena tidak tahu harus pergi ke mana, untuk sementara Oded dan ibunya tinggal di Banjoebiroe. Sesekali mereka menikmati kebebasan dengan berjalan-jalan di sekitar Rawa Pening untuk menikmati pemandangan indah.

Meski Jepang sudah kalah, bagi Oded dan para tahanan lain, perang belum usai. Sekutu mengirim pasukan Inggris (di antaranya dari Asia Selatan) untuk mengevakuasi seluruh tahanan dan mengantar ke tempat aman dengan kereta api. Oded dibawa ke Surabaya, Jawa Timur, dalam pengawalan tentara Jepang yang saat itu berstatus sebagai tawanan sekutu. Perjalanan ke Surabaya dalam keadaan jendela tertutup untuk menghindari kemarahan orang-orang pribumi terhadap Belanda.

Oded bersama sejumlah orang Belanda diamankan di sebuah vila kecil di kawasan Goebeng yang memang dikhususkan bagi orang Belanda. Mereka menanti dievakuasi ke Singapura. Namun, karena pertempuran antara Belanda dan Indonesia beberapa kali meletup, ibu Oded memutuskan untuk menyingkir ke kamp tentara Inggris yang berjarak 2-3 jam berjalan kaki.

Ibu Oded yang bisa sedikit bahasa Indonesia itu berusaha mendapatkan akses dari tentara Indonesia yang berjaga-jaga di jalan. Setelah tiba di kamp, keesokan hari, ada sebuah kapal pengangkut pengungsi yang akan ke Singapura.

“Prioritas pertama begitu tiba di Singapura adalah mencari ayah saya. Kami dapat menemukannya dan ia dapat menemukan kami,” kenang Oded.

Saat itu Moshe, ayah Oded, berada di Thailand, menunggu transportasi sipil—yang membutuhkan waktu berbulan-bulan—untuk berkumpul kembali bersama keluarganya. Setelah bertemu, ibu Oded mendapat kabar bahwa seluruh keluarganya di Israel dalam keadaan baik. Namun, ayah Oded mendapat kabar buruk karena hampir seluruh keluarganya di Belanda menjadi korban Holokaus.

“Ayah saya pasti hidup dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir dan nasib keluarganya menghantuinya hingga hari terakhir hidupnya,” tutur Oded.

Selain menuangkan pengalaman selama di dalam kamp tahanan pada sebuah buku bordir, ibu Oded juga membordir sebuah puisi dalam Ibrani untuk suaminya.

Puisi berjudul “Molekul Kehidupan” itu dibordir dengan keahlian khusus, menggunakan benang biru-keunguan. Di tepi buku bordir, ibu Oded membordir nomor rekening bank dan asuransi. Data itulah yang bikin keluarga Oded menarik uang dari rekening bank ketika tiba di Singapura. Beruntung bagi keluarga Oded karena pemerintah Belanda terus membayar gaji ayah Oded meski dalam situasi perang dengan Jepang.

Ketika cucunya bertanya apa yang membedakan kamp tahanan Jepang dari kamp konsentrasi Nazi, Oded menjawab: “Jepang tidak membedakan orang Yahudi dengan orang Belanda lain. Jepang tidak melakukan pembunuhan sistematis kepada orang Yahudi, tetapi Nazi melakukan pembunuhan sistematis.”

Meski masa kecilnya terpenjara dalam kamp tahanan Jepang, Oded menegaskan: “Saya pribadi tidak menyimpan kepahitan terhadap Jepang. Saya percaya banyak tentara Jepang merupakan korban dari sistem pemerintah dan para tentara juga menderita dan tewas demi Kaisar yang (dipercaya) sebagai reinkarnasi Tuhan menurut kepercayaan Jepang.”

Kini Oded Cohen tinggal di dekat Tel Aviv, Israel, bersama keluarga besarnya. Saat saya berjumpa dengannya, Mei silam, Oded meminta saya membawakan kerupuk udang mentah yang menjadi favoritnya dan keluarga.

Meski sempat menjalani kehidupan di dalam kamp Jepang, Oded menegaskan, “Saya tidak memiliki kenangan buruk selama tahun-tahun di dalam kamp. Ibu saya adalah malaikat cantik pelindung saya.”

Buku bordir karya ibunya masih disimpan oleh Oded Cohen hingga saat ini.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.