Menuju konten utama
17 Mei 1954

Kisah Warga Kulit Hitam AS Menghapus Segregasi Rasial di Sekolah

Warga kulit hitam AS menang di pengadilan saat Ketua Mahkamah Agung, Earl Warren, menghapus pemisahan rasial di sekolah di seluruh Amerika Serikat.

Kisah Warga Kulit Hitam AS Menghapus Segregasi Rasial di Sekolah
Header Mozaik Melawan segresi rasial di sekolah. tirto.id/Tino

tirto.id - Usia Linda Brown masih tujuh tahun ketika berkeluh kesah kepada ayahnya, Oliver Brown, tentang pengalamanya bersekolah. Ia yang duduk di kelas dua Sekolah Dasar Monroe, khusus kulit hitam, ingin pindah sekolah ketika kelak naik kelas. Alasannya, lokasi sekolah sekarang jauh dari rumahnya di Topeka, Kansas. Untuk sampai ke sana, ia harus menempuh jarak hingga dua mil menggunakan bis dan berjalan kaki. Ketika musim dingin tiba, sebagaimana dicatat Tim McNeese dalam Brown V. Board Education (2007), ia harus melintasi dinginnya udara kota selama beberapa jam untuk sampai di ruang kelas.

Linda ingin belajar di Sekolah Dasar Sumner, khusus kulit putih, yang hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Selain lebih dekat, bersekolah di sana memungkinkan ia bermain dengan teman-teman lingkungan rumahnya lebih lama.

Menyikapi curhat anaknya, Oliver tidak ingin membuat Linda kecewa. Ia pun bergegas mengajak Linda untuk daftar di Sumner pada September 1950. Namun, sepertinya yang Oliver duga, pihak sekolah langsung menolak pendaftaran Linda. Mengacu pada aturan pemerintah, sekolah beralasan karena keluarga Brown adalah kulit hitam (Afro-Amerika), sehingga tidak bisa menempuh pendidikan di sekolah kulit putih.

Penolakan ini ditanggapi serius oleh Oliver. Pada 1951, ia bersama National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), organisasi perjuangan antirasial untuk kelompok Afro-Amerika yang sudah terlebih dahulu menentang pemisahan rasial di sekolah, menggugat pemerintah ke Mahkamah Agung (Supreme Court) tentang kebijakan segregasi di dunia pendidikan.

“Ayah memandang salah ketika orang kulit hitam harus menerima kewarganegaan kelas dua. Dia percaya bahwa seorang anak yang terpaksa bersekolah di lokasi yang jauh karena alasan warna kulit adalah salah. Dan ini alasan dia terlibat dan sangat bertekad dalam gugatan ini,” kenang Linda Brown.

Gugatan ini menjadi salah satu yang terpenting dalam sejarah perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat.

Mula Segregasi

Akar permasalahan ini bermula dari hadirnya aturan Segregasi Rasial atau Jim Crow Law pada 1877. Melalui aturan tersebut pemisahan rasial di transportasi umum dan sekolah adalah sah. Orang kulit hitam tidak dapat menggunakan fasilitas umum yang sama dengan kulit putih. Dan negara-negara bagian berhak membuat aturan turunannya.

Lima belas tahun kemudian, peraturan ini digugat ke Mahkamah Agung oleh seorang warga kulit hitam bernama Homer Plessy.

Cerita bermula ketika Plessy mengalami diskriminasi saat ia naik kereta. Kala itu, ia memesan tiket kelas satu yang biasa ditumpangi kulit putih. Alasannya karena gerbong khusus kulit hitam jauh dari kata nyaman, berbeda dari gerbong kulit putih. Namun, ketika menaiki kereta ia diusir dari gerbong oleh kondektur dan dipenjara karena melanggar hukum segregasi.

Plessy berpendapat bahwa kasus yang dialaminya melanggar Amandemen Ke-14 tentang kesetaraan. Namun, pada 1896 hakim agung menolak gugatan Plessy. Hakim agung memandang bahwa pemisahan rasial di fasilitas umum diperbolehkan dan tidak melanggar hak politik, sipil, dan sosial.

Selain itu, melansir History, dalam putusan itu dicetuskan pula doktrin “Separate but Equal” yang akan berlaku selama enam dekade ke depan. Pemerintah negara bagian diperbolehkan untuk memisahkan fasilitas publik, seperti transportasi, layanan rumah sakit, dll, secara rasial antara kulit putih dan kulit hitam sepanjang pemisahan tersebut setara. Tidak ada kesenjangan dan perbedaan, sehingga kedua pihak dapat merasakan nilai fungsional yang sama.

Namun, menurut Derick Bell dalam Silent Convenant: Brown V. Board of Education and the Unfulfilled Hopes for Racial Reform (2004: 12), doktrin itu membuat segregasi rasial di AS, yang sebetulnya sudah parah, menjadi lebih parah dan semakin mengakar.

“Separate but Equal” yang digaungkan tidak berjalan baik dalam praktiknya. Pemisahan tersebut disertai pula oleh kesenjangan. Fasilitas yang digunakan oleh kulit putih selalu lebih baik dibanding kulit hitam. Pemisahan ini juga menimbulkan kecurigaan dan kebencian satu sama lain yang membuat kondisi semakin rumit.

Diskriminasi ini terjadi juga di sekolah. James T. Patterson dalam Brown v. Board of Education: A Civil Rights Milestone and Its Troubled Legacy (2001:10) menyebut bahwa kondisi sekolah kulit hitam jauh lebih buruk. Di perdesaan, sekolah kulit hitam kondisinya sangat memprihatinkan. Kurikulum dan fasilitasnya tidak sebaik sekolah kulit putih. Bahkan, di beberapa kota tidak ada sekolah kulit hitam sehingga siswa harus pergi ke luar kota seperti yang dialami Linda Brown.

Infografik Mozaik Melawan segresi rasial di sekolah
Infografik Mozaik Melawan segresi rasial di sekolah. tirto.id/Tino

Solidaritas

Kasus Linda Brown adalah satu dari sekian penderitaan yang dialami warga kulit hitam AS. Ia bersama 12 kulit hitam lainnya yang tergabung dalam NAACP menggugat pemerintah melalui pengadilan distrik Topeka pada 1951. Dan dimulailah kasus yang dikenal dengan nama Brown Vs Board of Education.

Gugatan Brown dan NAACP dipimpin oleh pengacara Thurgood Marshall. Argumen utamanya, melansir Britannica, segregasi merupakan pelanggaran terhadap klausul perlindungan setara dari Amandemen Ke-14. Penggugat ingin segregasi berdasarkan Jim Crow Law dan putusan Mahkamah Agung 1896 dicabut. Atau minimal jika tidak terlaksana, sistem pendidikan harus setara dan tidak ada kesenjangan.

Perjuangan yang dilakukan tidak mudah. Banyak orang tua kulit putih tidak ingin penyatuan karena takut masa depan anak-anaknya terganggu akibat keberadaan kulit hitam.

Di sisi lain, penentangan ini tidak lagi menjadi soal. Studi Michael J. Karman dalam Brown v. Board of Education and the Civil Rights Movement (2007) mencatat, situasi AS dan kondisi penduduk kulit hitam tahun 1950-an jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Industrialisasi, pergantian demografi, dan semangat kebebasan pasca-PD II membuat penduduk kulit hitam banyak mengalami perubahan signifikan. Bertambahnya pendapatan membuat mereka dapat bersekolah di tempat terbaik dan memegang kontrol ekonomi atas kulit putih. Ini semua berujung pada meningkatnya kekerabatan sesama hingga mendorong terjadinya protes sosial. Dan sekaligus menurunkan supremasi kulit putih.

Atas dasar inilah, ketika gugatan diajukan, penduduk kulit hitam banyak melakukan aksi solidaritas. Mereka menjalin hubungan satu sama lain dan mendatangi berbagai organisasi dan universitas. Tujuannya untuk mencari simpati dan menggalang dukungan.

Kemenangan di Meja Hijau

Penggugat terus menjalani persidangan dari pengadilan distrik hingga Mahkamah Agung. Itu semua dilakukan guna memperoleh ketetapan hukum yang kuat. Puncaknya terjadi pada 17 Mei 1954, tepat hari ini 68 tahun lalu. Di tangan ketua Mahkamah Agung, Earl Warren, pemisahan rasial di sekolah seluruh Amerika Serikat secara resmi dihapus.

Bagi Warren, pemisahan di pendidikan publik tidak dapat diterima. Apalagi terdapat banyak kasus pemisahan yang tidak disertai oleh kesetaraan. Dalam keputusannya, Warren menyebut bahwa negara harus menjamin akses pendidikan bagi anak-anak tanpa melihat ras dan warna kulit.

Setelah itu, seluruh negara bagian harus taat terhadap keputusan yang mengakhiri 74 tahun segregasi pendidikan. Meski demikian, bagi kulit hitam, keputusan ini hanyalah awal dari perjuangan panjang selama beberapa tahun berikutnya untuk mendapatkan hak penuh sebagai warga negara AS. Suatu perjuangan yang tidak mudah karena rasialisme dan diskriminasi masih mengadang langkah mereka.

Baca juga artikel terkait SEGREGASI RASIAL atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi