Menuju konten utama

Kisah Tragis Maruto Darusman

Setelah cintanya dengan anak orang berada kandas, Maruto kuliah di Belanda dan sempat terjebak dalam Perang Dunia II. Di Indonesia, ia sempat menjadi menteri sebelum dieksekusi terkait Peristiwa Madiun.

Kisah Tragis Maruto Darusman
Maruto Darrusman, Menteri Negara dalam kabinet Amir Sjarifuddin II dan aktivis PKI. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam memoarnya, Saya, Soeriadi dan Tanah Air (2012), Utami Suryadarma bercerita soal kisah cinta remajanya dengan seseorang yang tidak ia sebut namanya. “Saya bermimpi kelak menjadi pemimpin rakyat,” tulis Utami mengulangi ucapan si laki-laki. Nampaknya, ia adalah pemuda pergerakan. Utami sadar dia tidak akan hidup enak lagi sebagai anak seorang ambtenaar jika hidup bersama laki-laki itu.

“Saat itu saya bayangkan hidup bersama kita nanti dalam berumah tangga, tentu akan diliputi kemelaratan,” lanjutnya.

Maka, hubungan itu pun berakhir. Laki-laki yang disebutnya “sahabat” itu pun berangkat ke Belanda pada 1935 sebagai penerima beasiswa studi. Meski sempat saling berkirim surat, Utami mengaku belakangan hubungannya dengan si “sahabat” itu pun terputus. Utami akhirnya kawin dengan Soeriadi Soeriadarma, Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia pertama.

Soe Hok Gie menulis, pemuda yang disebut Utami “sahabat” itu adalah Maruto Darusman. Soal Maruto yang sering disinggungnya dalam skripsinya, Zaman Peralihan (1995) Soe Hok Gie menulis, “ketika ia masih muda remaja, ia jatuh cinta pada seorang gadis, putri seorang kaya dan terpandang. Dan ketika ia melamar gadis itu, keluarga pihak gadis menolak.”

“Apa yang kau punya untuk melamar anakku?” kata pihak keluarga seperti digambarkan Soe Hok Gie. Menurut Gie, Maruto yang anak Mas Darusman, seorang dokter lulusan STOVIA 1904, tidak melarat tapi juga tidak terlalu kaya itu hidup di lingkungan sosial biasa. Maruto pun akhirnya mundur.

Ketika itu, Maruto sedang sekolah di Solo. “Sejak waktu itu ia menghayati adanya perbedaan antara haves dan haves not, kesadaran adanya kelas,” tulis Gie.

Pengalaman masa mudanya ini, menurut Gie, berbekas dalam hidupnya. Gie, dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan, Maruto berangkat ke Belanda saat dia kira-kira berusia 20an tahun. Di Belanda, dia kuliah di jurusan Indologi di Universitas Leiden. Jurusan ini umumnya diambil oleh calon pegawai negeri tingkat tinggi. Namun, seperti ditulis oleh Gie, justru “di sanalah ia menjadi komunis.”

Selama di Belanda, Maruto alias Nico sering bersurat dengan adiknya di Hindia Belanda. “Jelang masuknya Jepang dalam tahun 1942, saya dan kakak saya Maruto [….] surat menyurat secara teratur. Ia jauh lebih dulu menjadi nasionalis daripada saya,“ kata Suryono Darusman, adik dari Maruto, yang juga ayah dari mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Chandra Darusman.

Suryono ingat, Maruto pernah bilang “kemerdekaan mungkin lebih mudah tercapai melalui kerjasama dengan suatu negara Asia lainnya.” Surat-menyurat mereka kemudian harus terputus karena pecah Perang Eropa.

Di Belanda, menurut catatan Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Maruto aktif di organisasi Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi). Di organisasi ini, dia pernah menjadi wakil ketua, lalu ketua. Maruto juga ikut serta mengurus media Roepi: Soeara Roepi.

Bersama Soeripno dan Soenito, Maruto ikut memimpin Perhimpunan Indonesia ketika Tentara Jerman menduduki Belanda. Maruto punya nama samaran Nico van Zuilen. Menurut catatan Soe Hok Gie, Maruto baru betul-betul aktif dalam gerakan bawah tanah ketika Jerman menyerbu Rusia. Di masa pendudukan Jerman inilah Maruto bertemu dan kemudian menikah dengan Sundari, kawan wanitanya dalam pergerakan di Negeri Belanda juga.

Selesai Perang Dunia II dan Indonesia Merdeka, “Maruto Darusman dan Setiadjit pulang bersama Mr. Suwandi pada tanggal 25 April 1946 sehabis perundingan di Hoge Veluwe," tulis Slamet Mulyana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (2008).

Dia masuk PKI dan masuk ke dalam kabinet Amir Sjarifudin I, menjabat sebagai menteri negara yang tidak memimpin departemen.

Setelah kabinet Amir bubar, Maruto terseret ke dalam petualangan Madiun. Menurut Sunito dalam Peristiwa Madiun (1983), alasan Maruto dan Amir menyingkir ke Madiun karena alasan keamanan. Di Madiun, mereka disebut bergiat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), Maruto tiba di Madiun pada 27 Sepetember 1948.

Maruto sempat bersama rombongan pimpinan Amir Sjarifuddin. Dalam rombongan ini terdapat Fransisca Fanggidaej. “Bersamaan waktu ketika aku tertangkap, juga tertangkap Bung Amir (Sjarifuddin), Pak Maruto Darusman, Pak Djokosujono, Bung Suripno, Bung Haryono,” tulis Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2006).

Menurut Fransisca, Maruto ditangkap 18 November 1948. Selama berminggu-minggu setelahnya, dia ditahan. Wajahnya ikut menghiasi pamflet terbitan pemerintah yang berjudul "Musso cs: Mengatjau Kesalamatan Negara Kita."

Nasib Maruto dan kawan-kawannya yang tertangkap itu diputuskan pada 18 Desember 1948 dalam sebuah sidang yang yang diliputi ketegangan. Menurut Poeze, dari 12 menteri kabinet Hatta, hanya 4 yang setuju mereka dibebaskan dari eksekusi mati.

INFOGRAFIK Maruto Darusman revisi

Pada 19 Desember 1948, mereka akhirnya dibawa ke Ngalihan di sebelah timur Solo untuk dieksekusi mati. “Kawan Maruto Darusman berpakaian jas cokelat dan celana putih panjang,” tulis Aidit, dalam Menggugat Peristiwa Madiun (1955).

“Sambil menunggu lubang selesai digali, Amir Sjarifuddin bertanya kepada seorang Kapten TNI yang ada di situ. “Saya ini mau diapakan?” tanya Amir. Kapten itu hanya bisa bilang, “saya tentara, tunduk perintah, disiplin.”

Seorang Letnan lalu menjelaskan adanya surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto yang menentukan nasib mereka. Sementara itu, para penembak kemudian mengisi senapan mereka dengan peluru. Amir lalu menghampiri si Letnan.

“Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar,” minta Amir sambil menepuk bahu si Letnan.

“Boleh, tapi cepat-cepat!” balasnya.

Suripno lalu menyatakan permintaan terakhirnya. “Apa saya boleh mengirimkan surat untuk istri saya, biar ia tahu?”

Si Letnan lalu mengiyakan. Orang-orang yang bakal mati itu pun menulis surat. Surat-surat itu lalu satu per satu diserahkan kepada si Letnan. Setelahnya, mereka menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dan "Internationale."

“Kemudian mulailah kesebelas orang yang gagah berani itu ditembak satu-persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifuddin, kemudian Kawan Maruto Darusman, Oey Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya,” tulis Aidit.

Setelah Maruto dieksekusi di Ngalihan, janda Maruto, Nyonya Sundari, akhirnya dinikahi oleh Jusuf Muda Dalam, kawan mereka ketika di Belanda dulu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani