Menuju konten utama

Kisah Sukses Suku Waorani Usir Raksasa Minyak dari Hutan Amazon

Buah manis perjuangan suku Waorani dan para aktivis lingkungan untuk menunjukkan pentingnya kelestarian hutan Amazon.

Kisah Sukses Suku Waorani Usir Raksasa Minyak dari Hutan Amazon
Seorang wanita Waorani menerapkan pewarna makanan merah oranye yang dikenal sebagai annatto kepada sesama anggota suku dalam persiapan untuk putusan pengadilan di mana seorang hakim akan memutuskan gugatan yang diajukan oleh Waoranis terhadap Kementerian Sumber Daya Alam Tidak Terbarukan untuk membuka konsesi minyak di tanah leluhur mereka, di Puyo, Ekuador, Jumat, 26 April 2019.AP / Dolores Ochoa

tirto.id - Di hutan Amazon tenggara, Ekuador, suku Waorani tengah bersiap dengan senjata tradisional berupa tombak, kapak, dan senapan beracun. Mereka mendaku siap memerangi penjajah layaknya para leluhur mereka.

Namun, musuh mereka kali ini bukan gerombolan orang atau pasukan yang kasat mata dan berhadap-hadapan secara fisik, melainkan pemerintah Ekuador dan perusahaan minyak multinasional.

Sejak 2012, pemerintah Ekuador mulai mendekati suku Waorani dan tujuh kelompok penduduk asli lainnya di hutan Amazon tenggara untuk mensosialisasikan proses ekstraksi minyak bumi yang bakal dilangsungkan di daerah suku-suku tersebut.

Pemerintah telah memetakan hutan Amazon tenggara menjadi 16 blok minyak yang siap dijual melalui Ronda Petrolera SurOriente, sebuah program mekanisme lelang ke perusahaan minyak multinasional.

Laporan jurnalis Aljazeera Kimberley Brown menuturkan bahwa pada awal 2018 Presiden Ekuador Lenin Morena mulai menawarkan blok-blok minyak tersebut ke perusahaan minyak. Berbagai perusahaan minyak nasional dan multinasional mulai tertarik dengan tawaran Ekuador, termasuk raksasa ExxonMobil dan Shell.

Dengan menggiatkan eksplorasi minyak bumi di tanah Amazon tenggara, pemerintah Ekuador bertujuan meningkatkan perekonomian nasional yang telah mengalami divestasi besar-besaran sejak 2014 saat harga minyak internasional anjlok.

Uang dari minyak juga berkontribusi menurunkan tingkat kemiskinan penduduk Ekuador sebesar 15 persen dari 2006 sampai 2014 di era Presiden Rafel Correa. Program pendidikan nasional dan banyak layanan publik lainnya juga didanai oleh keuntungan dari minyak.

Padahal, menurut penelitian pemerintah pada 2012, cadangan minyak Ekuador sendiri hanya cukup untuk kurang dari 20 tahun ke depan. Itu pun sudah termasuk blok minyak di tanah Amazon tenggara yang selama ini belum dijelajahi.

Dengan rendahnya cadangan minyak bumi itu, wajar bila banyak pihak menilai ketergantungan Ekuador pada minyak bumi hanya memuluskan jalan menuju kerusakan lingkungan jangka panjang.

Rencana pemerintah nyatanya terganjal perlawanan suku Waorani. Salah satu dari 13 blok minyak itu (Blok 22) tumpang tindih dengan tanah adat suku Waorani yang merasa ditipu. Pasalnya, selama proses pendekatan sejak 2012, pemerintah Ekuador lebih sering bicara manfaat ekstraksi minyak bumi ketimbang memperingatkan masyarakat setempat tentang dampak lingkungan yang timbul nantinya.

"Pemerintah melihat minyak dan uang, tetapi Waorani melihatnya [tempat tinggal mereka] sebagai tempat yang penuh kehidupan," kata Nemonte Nenquimo, perempuan pemimpin Dewan Waorani di desa Nemompare, provinsi Pastaza, Ekuador, kepada jurnalis AFP, Santiago Piedra Silva yang meliput perlawanan suku Waorani.

Diperkirakan ada sekitar 4.000-an orang Waorani yang hidup di hutan Amazon tenggara. Dikutip dari Amazon Frontlines, suku Waorani dikenal sebagai pemburu yang terampil. Mereka memiliki ikatan spiritual dengan hutan. Bagi orang Waorani, hutan adalah tempat yang aman untuk berlindung dari roh jahat dan ancaman serangan, sangat berkebalikan dengan dunia modern yang mereka anggap penuh ancaman.

Desa Nemompare adalah salah satu permukiman kecil yang dihuni 50 orang Waorani. Semangat perlawanan mereka tumbuh setelah menyadari tanah air mereka terancam rusak akibat eksplorasi minyak bumi.

Tumbuhnya kesadaran warga Nemompare bukannya tanpa alasan. Mereka sudah terlebih dahulu menyaksikan kehidupan kerabat mereka di Taman Nasional Yasuni, Ekuador, yang berubah drastis setelah perusahaan minyak masuk ke wilayah hutan Amazon tersebut pada 2013. Banyak orang Waorani di Yasuni terpaksa tinggal di dekat kolam minyak terbuka dan terpapar kabut asap hitam yang mengepul dari sumur-sumur minyak.

"Akan ada perubahan dan Anda akan hidup lebih baik (kata para perusahaan minyak). Tapi itu bohong." kata Nenquimo. "Saya melihat orang-orang di Yasuni dan mereka lebih miskin."

Meski tergolong suku pedalaman, orang Waorani di desa Nemompare tak sepenuhnya menutup kontak dengan dunia luar. Mereka diajari menulis oleh orang asing, namun menolak menggunakan kertas dan memilih merawat bahasa asli yang bernama Wao Terere. Mereka menyimpan air hujan dalam tangki besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menangkap energi dari panel surya, dan tidur di hammock. Beberapa warga Nemompare masih terlihat memakai pakaian tradisional lengkap dengan hiasan wajah bercat merah dan topi berbulu. Ada pula yang mengenakan kaos dan celana kain.

Penolakan juga datang dari tetua adat desa Nemompare, Wina Omaca. "Ini bukan hanya 'tapaa' (tombak), tetapi 'campa' dan 'aweka' (parang dan kapak) juga siap," kata nenek Omaca.

Memang belum ada deklarasi perang secara langsung, tetapi sikap ancang-ancang orang Waorani itu ingin menunjukkan bahwa mereka siap mengubah tanah mereka menjadi wilayah yang sama sekali tak ramah bagi para pekerja perusahaan minyak kelak.

"Biar jelas. Kita akan mempertahankan hutan kita, budaya kita dan hak-hak kita, dengan nyawa kita," tegas Nenquimo.

Mempertahankan Hutan, Adat Berdaulat

Pada Mei 2018, sebanyak 18 komunitas Waorani meluncurkan petisi online kepada publik internasional via Amazon Frontlines. Petisi itu meminta warga dunia mendukung gerakan menolak rencana aktivitas eksplorasi minyak di hutan Amazon tenggara yang dinilai punya tingkat keanekaragaman hayati tinggi. “Pesan kami kepada perusahaan minyak: Tanah kami tidak untuk dijual,” demikian akhir pesan petisi tersebut.

Tak sekadar meluncurkan petisi, komunitas Waorani dengan bantuan organisasi lingkungan hidup Digital Democracy dan ClearWater sejak 2017 melakukan ekspedisi untuk mengumpulkan bukti-bukti tak terbantahkan dari pentingnya menjaga kelestarian hutan Amazon. Mereka menyusun sebuah peta interaktif yang datanya dikumpulkan melalui sistem GPS, drone, dan kamera perangkap satwa liar.

Masing-masing dari 18 komunitas kemudian memetakan wilayahnya sendiri. Jadilah peta yang menggambarkan total luas 180.000 hektar tanah adat. Mereka berjalan berjam-jam menyusuri lebatnya hutan, mencari dan menandai titik-titik yang dianggap penting bagi orang Waorani, misalnya situs keramat, sumber tanaman obat, habitat hewan langka, dan daerah-daerah penting peninggalan leluhur. Tak lupa, mereka memasukkan cerita adat di situs-situs tertentu yang diwariskan secara turun-temurun.

Babak baru perjuangan menggagalkan rencana eksplorasi perusahaan minyak di hutan Amazon terjadi pada Maret 2019. Ketika itu sekelompok orang Waorani dengan dukungan dari komunitas Waorani lainnya resmi mengajukan gugatan kepada pemerintah Ekuador melalui pengadilan pidana di Puyo, Ekuador tengah.

Setelah dua minggu bermusyawarah, pada 26 April 2019 pengadilan Puyo menjatuhkan putusan yang memihak suku Waorani. Pengadilan menetapkan penghentian proses penawaran tanah seluas 180.000 hektar kepada perusahaan minyak, dilansir dari SBS News.

Infografik Menang Melawan Raksasa Minyak

Infografik Menang Melawan Raksasa Minyak. tirto.id/Quita

Konstitusi Ekuador memang mengakui hak Waorani atas 800.000 hektare tanah adat.

Putusan pengadilan sontak disambut oleh suku Waorani. Menurut pengacara Lina Maria Espinosa yang mendampingi penggugat, keputusan tersebut adalah langkah yang baik bagi keberlangsungan kelestarian hutan Amazon.

"Telah dibuktikan bahwa tidak ada konsultasi [antara perusahaan dengan masyarakat setempat] dan bahwa negara melanggar hak-hak rakyat," ujar Espinosa.

Dario Cueva selaku pengacara yang mewakili Kementerian Lingkungan Hidup Ekuador menolak berkomentar tentang putusan pengadilan Puyo. Dia hanya mengatakan bahwa pihaknya akan menganalisis kasus ini dan memikirkan langkah selanjutnya.

Bagaimanapun, hutan Amazon tenggara di Ekuador hanyalah secuil dari luasnya hutan hujan tropis Amazon. Kelestariannya terus terancam oleh aktivitas eksplorasi yang bersifat merusak dan meminggirkan keberadaan suku-suku asli yang hidup di sana.

Dengan luas 5.500.000 kilometer persegi, wilayah hutan Amazon masuk ke dalam teritori sembilan negara di Amerika Selatan. Brasil adalah negara yang memiliki luas hutan Amazon terbesar (60 persen), diikuti Peru (13 persen), Kolombia (10 persen). Sisanya milik Venezuela, Ekuador, Guyana, Suriname, dan Guyana Perancis.

Para aktivis lingkungan dan suku-suku asli Amazon terus memperjuangkan hak tanah adat dari ancaman raksasa perusahaan minyak dan pelaku pembalakan liar. Tak jarang pula mereka menjadi target pembunuhan perusahaan-perusahaan yang berkepentingan di sana.

Baca juga artikel terkait KONFLIK TANAH ADAT atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf