Menuju konten utama
Hari TBC Sedunia

Kisah Penyintas Penyakit TBC & Upaya Meruntuhkan Stigma Negatif

Kebanyakan pasien dan penyintas TBC hanya ingin menceritakan kondisi dan stigmatisasi yang pernah mereka alami.

Kisah Penyintas Penyakit TBC & Upaya Meruntuhkan Stigma Negatif
Tenaga kesehatan bersiap melakukan rontgen thorax terhadap pasien di RSUD Kota Tangerang, Banten, Kamis (25/11/2021). . ANTARA FOTO/Fauzan/YU

tirto.id - Mentari sedang terik-teriknya ketika saya berkunjung ke ruko butik baju milik Lili, seorang penyintas Tuberkulosis (TBC). Wanita berusia 25 tahun itu tengah sibuk menjahit sebuah selendang berwarna abu-abu dengan mesin jahit kesayangannya.

“Ya gini setelah resign dari kantoran, kembali ngejahit pesanan kayak kebiasaan waktu dulu SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)” tutur Lili pada Selasa (21/3/2023).

Lili yang sempat menjadi penagih cicilan di sebuah perusahaan kredit rumahan non-bank, memutuskan keluar dari pekerjaan yang baru ia lakoni dua bulan lantaran gejala TBC yang kian mengganggu aktivitasnya.

“Nggak kuat saya, tiap hari batuk terus. Mau telepon nasabah batuk-batuk, bahkan sampai dilihatin teman satu kantor,” ucapnya sambil melipat pakaian yang terserak di meja jahitnya.

Lili mengaku, mulanya ia hanya mengira terkena flu dan batuk biasa. Namun gejala batuk dan demam muncul kian sering dan setiap hari dirasakannya. Berbagai obat –mulai dari ramuan herbal, obat apotek hingga obat warung, tak mampu mengusir gejala yang ia alami.

Hasil pemeriksaan dokter menyatakan Lili positif TB paru pada akhir Desember 2021. Diagnosis ini bisa saja lebih cepat didapatkan Lili kalau saja ia memeriksakan kondisinya lebih awal. Ia sempat mengira akan terkena penyakit ini.

“Ini setelah berbulan-bulan akhirnya cek. Sempat mikir juga, kan, jadinya sebelumnya, apa TBC ya? Soalnya di keluarga, masih dekat rumah dan sering ketemu, dia juga pernah punya TBC,” ujar Lili.

Mulanya Lili mengaku takut jika harus terkena penyakit ini, karena stigma yang berkembang membuatnya gamang. Semenjak dinyatakan TBC, Lili rutin mengkonsumsi obat yang diberikan dokter untuk menyembuhkan penyakitnya.

Ia bercerita harus meminum obat tiga butir sehari selama tiga bulan awal, dan tidak boleh terlewat atau proses pengobatan diulangi dari awal. Lili menyatakan, total pengobatan yang ia jalani memakan waktu selama enam bulan.

“Awalnya tiga bulan tuh nggak boleh putus pokoknya, agak mual awalnya tiap hari minum tablet tiga butir sehari sekaligus. Cuma setelah bulan keempat dan sampai akhir itu berkurang intensitasnya, sampai akhirnya sembuh setelah bulan keenam,” tutur Lili.

Lili mengaku sempat mengalami perlakuan tidak mengenakan ketika masih menjadi pasien TBC. Menurutnya, masih ada kerabatnya yang justru membuat dirinya patah semangat dan takut, karena menyebut penyakit TBC sangat menular sehingga kehadiran dirinya membahayakan orang lain.

“Jadinya ke diri saya ngerasa bersalah setiap ketemu atau kumpul sama orang. Takut menularkan, padahal saya juga jaga-jaga sesuai anjuran, itu saya sempat nangis bahkan karena merasa membawa penyakit bagi teman-teman,” ucap Lili.

Lili bahkan merasa minder ketika harus membawa obat rutin yang wajib diminumnya setiap hari ke mana-mana. Ia tak berani menunjukan obatnya ketika tengah berkumpul dengan orang lain, sehingga harus meminumnya diam-diam.

“Tapi untung keluarga peduli banget. Mama peduli banget sampai nangis-nangis di awal, dia selalu telepon buat ingetin minum obat. Teman dekat juga pengertian sampai saya akhirnya semangat buat sembuh,” kata Lili mengingat perjuangannya sembuh dari TBC.

Pada titik terendah, Lili bahkan merasa penyakitnya akan berkepanjangan. Namun, dokter yang menanganinya selalu meyakinkan Lili bahwa TB paru yang ia derita masih dalam tahap ringan dan bisa disembuhkan.

“Alhamdulillah benar-benar sembuh setelah pengobatan enam bulan,” ungkap Lili. Ia resmi dinyatakan sembuh dari TB paru yang diidapnya pada pertengahan 2022.

Ditolak Kerja Gara-Gara Punya Riwayat TBC

Perlakuan tak mengenakkan akibat pernah dihinggapi penyakit TBC juga diceritakan oleh Iko (bukan nama sebenarnya), seorang pria asal Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Iko mengatakan, lamaran kerjanya pernah ditolak dari sebuah perusahaan ritel tanpa penjelasan dan notifikasi, hanya karena ia mengaku memiliki riwayat TBC pada saat melakukan sesi wawancara.

“Itu padahal saya yakin posisinya nggak juga membuat kondisi saya jadi drop lagi atau TBC lagi lah kasarnya, tapi tiba-tiba ditolak dan itu habis saya cerita dengan jujur bahwa pernah kena TBC sebelumnya,” kata Iko bercerita kepada saya, melalui sambungan telepon.

Padahal, kata Iko, TBC yang dialaminya sudah lama sembuh. Ia menyesalkan sikap perusahaan yang tak memberikan penjelasan di awal, bahwa riwayat penyakit tersebut memungkinkan seorang pelamar kerja ditolak.

“Ya nggak dikasih tahu di awal, lagian saya kena TBC dulu banget, pas SMA kelas 2. Sekitar tahun 2014-an. Udah sembuh total juga karena berobat rutin,” kata Iko.

Iko mengaku dinyatakan positif TBC akibat tertular kakak laki-lakinya yang menderita kondisi serupa kala itu. Mulanya Iko merasakan batuk terus-menerus selama satu bulan penuh – hingga suatu saat keluar darah pada batuk yang dialaminya, sehingga mendorong Iko pergi ke dokter untuk mengecek keadaanya.

Dokter yang memeriksa Iko menyampaikan bahwa paru-paru bagian kanan Iko terluka akibat kondisi TBC, sehingga mengeluarkan darah. Namun, meskipun dalam kondisi seperti itu – Iko merasa tenang karena dokter meyakinkan dirinya bahwa ia mampu disembuhkan.

“Iya saya tenang, dokter bilang bisa sembuh. Hanya rutin minum obat enam bulan, tiap hari itu. Kalau dari teman-teman dan keluarga semua tahu dan mengerti kondisi saya,” tutur Iko.

Hanya ia merasa sedikit kecewa, masih ada perusahaan yang memperlakukan penyintas TBC dengan tidak adil dan tidak transparan.

Stigmatisasi dan diskriminasi pada pasien dan penyintas TBC di Indonesia masih menjadi permasalahan yang belum juga rampung. Padahal, sama seperti penyakit menular lainnya, TBC bisa disembuhkan dengan melakukan pengobatan rutin tergantung kondisi masing-masing pasien.

Stigmatisasi Lahirkan Bahaya Tersembunyi

Staf Legal dan HAM, POP TB Indonesia, Faisal Daeng Nyallang menyampaikan, stigmatisasi terhadap pasien atau penyintas TBC di Indonesia masih buruk.

“Stigmatisasi terhadap pasien TBC di Indonesia itu sudah ada yang membudaya, terutama di daerah itu sulit dihilangkan karena telah menjadi sebuah keyakinan di masyarakat,” ujar Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (21/3/2023).

Faisal bercerita, di sejumlah daerah bahkan stigmatisasi dan diskriminasi kepada pasien TBC sudah sampai tahap kekerasan. “Ada yang diusir dari keluarga pasangannya, ada yang dipecat dari pekerjaannya, bahkan di salah satu daerah, kami mendapatkan laporan sampai terjadi kekerasan terhadap pasien,” kata Faisal.

Pria asal Makassar ini diberikan amanah sebagai PIC (Person in Charge) Paralegal Komunitas TBC di POP TB Indonesia, sebuah organisasi yang menaungi berbagai komunitas penyintas TBC dari berbagai daerah.

Faisal menyatakan bahwa dirinya kerap juga turun langsung melakukan pendampingan kepada pasien atau penyintas TBC yang trauma akibat mendapatkan stigmatisasi dan diskriminasi atas kondisinya.

“Itu yang trauma ada mas, kita berikan pendampingan dan mediasi, kemudian si pelaku ini menandatangani surat pernyataan sebagai komitmen untuk tidak lagi melakukan segala bentuk stigma dan diskriminasi,” tuturnya.

Menurutnya, meskipun pemerintah telah membuat peraturan untuk mencegah diskriminasi terhadap pasien TBC, tapi minimnya pengawasan dan sosialisasi di lapangan membuat aturan ini hanya jalan di tempat.

“Pengawasannya perlu dimasifkan dan harus kolaboratif turun ke lapangan. Selain masalah informasi pada masyarakat, stigmatisasi terhadap efek samping obat saja masih ada,” kata Faisal.

Faisal menceritakan, masih banyak pasien yang akhirnya tidak mau menyebut obat yang dikonsumsinya sebagai obat TBC karena merasa malu dan takut terkena diskriminasi. Dalam beberapa kasus, kata Faisal, pasien menyebut obat yang rutin mereka minum dengan ‘obat enam bulanan’ atau sekadar ‘obat rutinan.’

“Ini kan bukan sekadar masalah informasi. Di masyarakat adanya egoisme pada kepercayaan yang telah lama tertanam butuh diselesaikan, harus ada sosialisasi dan kerjasama semua sektor, baik secara aturan maupun implementasi,” ungkap Faisal.

Sementara itu, Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih menilai, stigmatisasi ini menyebabkan tak sedikit pasien TBC menyembunyikan ihwal penyakit yang diidapnya. Kasus seperti ini, justru dapat lebih berbahaya karena orang-orang yang di sekitarnya jadi tidak bisa melakukan pencegahan.

“Di masyarakat banyak orang dewasa yang tidak mau diketahui TBC karena takut dikucilkan, bahkan ada yang dikeluarkan dari kerjaan. Prinsipnya, kita harus tidak boleh menyembunyikan sesuatu yang membahayakan masyarakat banyak,” kata Rina dalam media briefing IDAI pada 20 Maret 2023.

Stigmatisasi ini juga masih dapat ditemukan kasusnya di lingkungan pendidikan. Rina menyampaikan bahwa anak yang mengidap TBC atau memiliki anggota keluarga yang menderita TBC tak jarang menjadi sasaran diskriminasi.

“Di sekolah agak tricky, misal pun sudah ada yang ketahuan ada yang kena TBC di sekolah itu. Itu ada contoh di suatu kota ada TBC di sekolah, itu anak-anaknya ingin dipindahkan oleh orang tuanya. Itu padahal gurunya yang TBC,” ujar Rina.

Ia menilai stigmatisasi masih terjadi akibat masyarakat masih kekurangan informasi terkait penyakit TBC. Menurut Rina, masih perlu ada pemahaman yang luas pada masyarakat bahwa penyakit TBC dapat dicegah dan bisa disembuhkan.

Lain kepala lain cerita, Adib Khumaidi agak terkejut ketika saya jumpai selepas sebuah gelar wicara di bilangan Jakarta Selatan. “Lho? Tentang TB ya? Kalau soal teknis jangan ke saya loh, kalau kebijakan silakan,” kata Adib setengah bercanda kepada saya, Senin (20/3/2023).

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) ini justru menilai stigmatisasi pada pasien TBC di Indonesia sudah jauh membaik. “Kalau pun ada itu kecil dibanding dulu,” ujar Adib.

Menurutnya, masyarakat saat ini sudah lebih terinformasi terkait pemahaman penyakit TBC. Ia juga menilai bahwa program pencegahan stigmatisasi telah lama dilakukan pemerintah dan cukup membuahkan hasil.

“Dulu sampai diisolasikan, dikucilkan bahkan sampai pindah rumah lah, tapi sekarang nggak. Karena masyarakat sudah paham, kasus TBC walaupun masih banyak, tapi relatif saat ini pemahaman bahwa itu bisa disembuhkan sudah muncul di masyarakat,” lanjut Adib.

Penanganan TBC memang memerlukan intervensi di level masyarakat terutama untuk membangun informasi terkait penyakit ini dan menghapus stigmatisasi. Adib menyatakan, masyarakat sebagai faktor lingkungan, memiliki andil penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit TBC.

Tahun lalu, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menargetkan agar 90 persen penderita TBC di Indonesia dapat dideteksi pada 2024, sehingga bisa dilakukan pengobatan dan penanganan kasus TBC. Namun, data terbaru nampaknya menunjukkan bahwa tugas tersebut masih cukup berat untuk dicapai.

Kurva Menanjak Kasus TBC Anak

Pandemi yang menghantam Indonesia sejak Maret 2020 membuat angka kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Menurut data Kementerian Kesehatan, secara keseluruhan pada 2021 kasus TBC tercatat 443.235 kasus yang meningkat menjadi 717.941 kasus di tahun 2022.

Angka ini menunjukkan dua kemungkinan. Masih banyaknya kasus TBC yang tidak terdeteksi atau semakin banyaknya kasus yang dilaporkan atau tercatat. Yang membuat was-was, peningkatan jumlah kasus TBC juga terjadi pada anak-anak.

“Penemuan kasus TBC anak tahun 2022 naik lebih 200 persen dari 2021 (42.187 kasus) menjadi 100.726. Ini menandakan penularan ke anak jauh lebih besar daripada kepada orang dewasa selama pandemi,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, Imran Pambudi ketika saya hubungi, Senin (20/3/2023).

Imran menilai, di masa pandemi Covid-19, banyak orang dewasa yang menderita TBC, tapi tak tercatat atau tak terdeteksi. Terlebih, ketika anggota keluarga tidak membuka diri atau jujur dengan kondisi TBC yang diidapnya, seringkali anak-anak sebagai kelompok rentan jadi ikut tertular.

Menurut data Kemenkes, pada awal 2023 ini saja, ada 969.000 estimasi kasus TBC di Indonesia. Angka ini belum ditambah dengan kasus TBC yang tidak dilaporkan atau tidak ternotifikasi.

Adanya pasien TBC yang tidak melaporkan atau enggan terbuka akan kondisinya, tentu masih berhubungan dengan stigmatisasi yang masih muncul di masyarakat.

Kemenkes tak bisa hanya fokus melakukan pencegahan dan penanganan TBC dari sisi informasi medis, namun juga perlu menggencarkan upaya penghapusan stigmatisasi pada pasien dan penyintas secara kolaboratif.

Imran sendiri mengakui bahwa masih ada diskriminasi di masyarakat terhadap pasien TBC, sehingga pihaknya tengah mengupayakan program-program untuk mencegah stigmatisasi ini meluas.

“Saat ini Kemenkes dan lintas sektor beserta komunitas terus berusaha menghilangkan stigma dengan berbagai macam cara, antara lain sosialisasi dan edukasi ke nakes dan masyarakat bahwa tuberkulosis itu bukan penyakit turunan dan dapat disembuhkan bila berobat dengan tepat,” kata Imran.

Terkait penanganan kasus TBC pada anak-anak dan pencegahan stigmatisasi di lingkungan pendidikan, Imran menyatakan, telah meminta sekolah agar melakukan skrining TBC pada saat anak masuk sekolah dan diintegrasikan pada Unit Kesehatan Sekolah (UKS).

“Juga edukasi pada guru, murid dan orang tua bahwa TBC bisa disembuhkan, bukan penyakit turunan,” sambungnya.

Secercah Harapan dalam Perkumpulan

Usaha-usaha menghapus stigmatisasi pada pasien dan penyintas TBC tak jarang muncul dari orang-orang yang pernah merasakan penyakit ini.

Dengan modal unggah rasa dan panggilan kemanusiaan, mereka membentuk organisasi atau komunitas penyintas TBC agar dapat memberikan dorongan dan motivasi pada para pasien TBC yang masih menjalani pengobatan. Salah satunya, Perkumpulan SEMAR (Semangat Membara Berantas TBC) yang berpusat di Surakarta, Jawa Tengah.

“Kegiatannya biasanya pendampingan, memberikan motivasi pada setiap pertemuan di RS, kita hadir memberikan motivasi, jadi meskipun walaupun masih pengobatan kita yakini sembuh,” ujar Diky Kurniawan Leonardo, ketua Perkumpulan SEMAR kepada saya, melalui sambungan telepon, Senin (21/3/2023).

Pria yang pernah mengidap TBC MDR atau kondisi ketika beberapa obat penghilang TBC tak mampu mengusir bakteri penyebab TBC dalam tubuh, mengaku dirinya juga terdorong semangat untuk sembuh akibat adanya peran komunitas penyintas TBC.

“Saya dulu ini tipe MDR, kebal obat dan sembuhnya lama, tapi saya senang sekali terharu ketika dikunjungi teman-teman yang pernah mengalami kondisi yang sama seperti saya. Saya merasa ‘loh mereka bisa sembuh toh?’ Jadi saya termotivasi dan alhamdulillah saya sembuh setelah dua tahun berobat,” ungkap Diky.

Menurut Diky, peran komunitas penyintas TBC selain dapat memberikan dorongan motivasi kepada pasien TBC, juga membantu peran pemerintah untuk menghapuskan stigmatisasi yang dialami pasien dan penyintas.

“Kita sebagai penyintas atau organisasi pasien jadi sekadar langkah kecil dulu yah, sebagai pengisi suatu acara kita tanyakan pada mereka apakah masih ada stigma dan seperti apa, akhirnya para pasien berbicara dan kita akhirnya turun ke lapangan,” jelas Diky.

Diky menyatakan, kebanyakan pasien dan penyintas hanya ingin menceritakan kondisi dan stigmatisasi yang pernah mereka alami. Sejauh ini, mereka masih bingung ke mana harus mengadu dan berlindung jika mengalami perlakuan tidak mengenakan akibat kondisinya.

“Jadi kami bangun ini dengan komunikasi dulu pada pasien. Tentu kita berharap masyarakat jadi lebih terinformasi dan kita membantu lah istilahnya peran pemerintah,” sambungnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama berharap, semoga pemerintah dengan kerja kolaboratif dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa TBC adalah penyakit menular yang normal dan dapat disembuhkan.

“Penyelesaian stigma itu masalahnya bukan di aturan, jadi mau bagaimana aturannya tetap, yang penting sosialisasi pada masyarakat dan meyakinkan bahwa TB hanya penyakit menular biasa,” ungkap Yoga ketika saya hubungi melalui telepon.

Dokter spesialis paru dan konsultan pulmonologi ini menegaskan, bahkan TBC tak menular semengerikan persepsi orang pada umumnya. “Kalau memang ada orang TB aktif saat batuk itu baru bisa menularkan, tapi sebagian besar orang di sekitarnya tidak sakit, bahkan sampai dia berpuluh-tahun atau sampai meninggal banyak yang tidak sakit,” kata Yoga.

Hal ini menurutnya karena kunci dari penularan TBC adalah daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh normal dan kuat, maka bakteri TB dalam tubuh tidak berubah menjadi penyakit TBC.

Selain itu, upaya preventif pada pasien yang memiliki TBC aktif dengan menggunakan masker, dinilainya sudah cukup membantu pencegahan. “Tinggal upaya sosialisasi kepada masyarakat luas, bahwa ini perlu diterima sebagai penyakit menular biasa. Ini yang perlu lintas sektor penanganannya,” tutup Yoga.

Baca juga artikel terkait TBC atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz