Menuju konten utama

Kisah Penyintas '65: Iuran BPJS Dibayar Negara, Meski Tak Seberapa

LPSK mengaku telah membantu membayari iuran BPJS Kesehatan para penyintas pelanggaran HAM masa lalu sejak 2011. Memang, jumlahnya tak seberapa.

Kisah Penyintas '65: Iuran BPJS Dibayar Negara, Meski Tak Seberapa
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-568 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/1/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Woro Wahyuningtyas, 38 tahun, kebingungan ketika hendak membayar iuran BPJS Kesehatan untuk orangtuanya. Soalnya, sejak awal Januari lalu, sudah tiga kali ia mendapat notifikasi bahwa iuran telah dibayar lunas. Terakhir kali ia mencoba membayar dua hari lalu, Senin (14/01/2019), dan jawabannya pun tetap sama.

"Pihak BPJS mengatakan bahwa iuran sudah lunas. Saya bingung. Apa saya khilaf, ya, bayar dua kali di Desember kemarin," kata Woro saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/01/2019).

Woro mengabaikan itu begitu saja, karena ia pikir mungkin ada kesalahan sistem atau sejenisnya. Ia menjalankan hari-hari seperti biasa, sebagai pekerja lepas dan aktivis lembaga swadaya masyarakat di Jakarta.

Iuran yang tiba-tiba terbayar lunas pun ia ingat kembali ketika Selasa (15/01/2019) pagi, ibunya, yang berada di Klaten, Jawa Tengah, tiba-tiba menelepon dan bertanya soal pemindahan fasilitas kesehatan (faskes) BPJS ke Puskesmas.

"Saya enggak merasa mengubah itu. Akhirnya saya telepon BPJS Boyolali, tempat saat mendaftarkan kedua orangtua ke BPJS Kesehatan. Mereka mengecek, ternyata per 11 Januari ada perubahan sistem untuk dua orangtua saya, faskes pindah dan dibayari oleh sebuah lembaga negara," kata dia.

Woro kemudian bertanya kepada BPJS, "lembaga negara apa yang membiayai itu?" Dugaannya ternyata benar: bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menanggung itu semua.

Mendengar pengakuan itu, Woro senang. Sebagai anak dari tahanan politik Orde Baru, ia merasa negara mulai peduli dengan para penyintas pelanggaran HAM.

Orangtua Woro sama-sama mendapat cap eks-tapol Orde Baru. Bapaknya, berusia 75 tahun, pernah aktif di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ibunya, 72 tahun, sama sekali tak pernah ikut organisasi maupun partai, namun tetap kena imbas karena rutin ikut latihan ketoprak yang diselenggarakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), di rumah orangtuanya.

"Saya, sih, sudah pernah dengar korban '65 ada yang dari 2014 dapat bantuan LPSK, mungkin orangtua saya baru tahun ini," ujarnya.

Woro telah mendaftarkan orangtuanya sebagai peserta BPJS sejak tiga tahun lalu, dengan kategori iuran kelas 1 (jumlah premi Rp80ribu/orang/bulan).

"Namun, enam bulan terakhir, memang kami dapat fasilitas dari LPSK, tapi hanya untuk rumah sakit tertentu. Salah satunya Rumah Sakit Muwardi, Solo, sedangkan lokasi orangtua saya di Klaten," kata dia.

Direkomendasikan Komnas HAM

Anggota LPSK, Hasto Atmojo, membenarkan kalau instansinya memberi bantuan kesehatan kepada orangtua Woro. Bantuan sejenis untuk penyintas pelanggaran HAM masa lalu telah dimulai sejak 2011 atau pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Dasar bantuan LPSK adalah keterangan dan rekomendasi Komnas HAM, kata Hasto. Dia juga menjelaskan kalau yang diberi bantuan tak hanya penyintas peristiwa 1965, tapi juga Tanjung Priok, Talangsari, hingga korban 1998 dan DOM Aceh.

"Itu pasti orang yang sudah terdaftar dan terlindungi oleh LPSK. Memang LPSK sudah memberikan bantuan medis dan psikologis bagi korban dan penyintas," kata Hasto saat dihubungi reporter Tirto.

Bantuan bagi para penyintas adalah rehabilitasi medis dan psikologis selama enam bulan penuh, terhitung sejak namanya disepakati menerima bantuan, kata Hasto. Diikutsertakan sebagai peserta BPJS Kesehatan itu pada bulan ketujuh.

Tapi bantuan pembiayaan memang hanya untuk 18 bulan saja. Angkanya pun sebetulnya tak begitu besar.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, tak tau apa-apa soal pembayaran LPSK untuk penyintas. Namun, kata dia, iuran memang bisa dibayar oleh siapa saja.

"Iuran bisa dibayar sendiri, oleh pemerintah, swasta, badan usaha, atau perorangan. Tapi seingat saya belum ada kerja sama mengenai pembayaran iuran dengan LPSK," kata Iqbal saat dikonfirmasi lewat pesan singkat.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan