Menuju konten utama
14 Februari 1929

Kisah Pembantaian Berdarah di Hari Valentine

90 tahun lalu, terjadi penembakan terhadap tujuh orang anggota geng pimpinan Bugs Moran.

Ilustrasi Mozaik Saint Valentine's Day Massacre. tirto.id/Nauval

tirto.id - Hari Valentine biasanya identik dengan bunga mawar, jamuan makan malam yang romantis, dan cinta yang melimpah ruah. Tapi, lupakan asosiasi itu karena di Chicago, perayaan Valentine pernah menjadi soal banjir darah, perang gangster, serta saling bunuh demi kekuasaan. Semua dirangkum lewat “Pembantaian Valentine” (Valentine’s Day Massacre).

Tragedi di Chicago ini merupakan salah satu yang terburuk sepanjang sejarah kriminal AS. Ia melibatkan dua kubu besar, geng George “Bugs” Moran, di wilayah utara Chicago, dan Al Capone, di sisi selatan. Perseteruan dua kubu ini melanjutkan apa yang sudah lebih dulu dilakoni pendahulunya, Dion O’Banion dan John Torrio. Moran adalah bagian dari sindikat O’Banion, sedangkan Capone berada di kubu Torrio. Rivalitas O’Banion-Torrio berhenti setelah O’Banion tewas akibat peluru yang menerjang kepalanya.

Dalam kasus Moran-Capone, pangkal masalahnya bermula dari rebutan jalur perdagangan minuman keras. Di masa itu, pemerintah AS melarang peredaran alkohol. Asumsinya: alkohol hanya bisa menimbulkan keributan. Konsekuensi dari larangan ini tentu menciptakan pasar-pasar ilegal. Para pemain bersedia ambil risiko mengingat permintaan alkohol dari masyarakat AS sangatlah tinggi.

Inilah yang membikin Moran-Capone berseteru. Di Chicago, peredaran alkohol, terutama wiski, di jalur bawah tanah punya potensi keuntungan yang menggiurkan dan mereka tak ingin kehilangan kesempatan tersebut.

Pertarungan itu mencapai klimaksnya pada 14 Februari 1929, tepat hari ini 91 tahun silam. Sekitar pukul 10.30 pagi, empat orang menyerbu markas Moran yang berlokasi di North Clark Street. Mereka berdandan bak polisi; mulai dari seragam hingga kendaraan patroli yang lengkap dengan sirene.

Setibanya di lokasi, mereka langsung melakukan penggerebekan dan memerintahkan tujuh orang di sana, yang tanpa senjata, untuk berbaris di dinding. Tanpa ampun, keempat orang yang menyamar sebagai polisi ini segera menarik pelatuk senapan dan memberondong anak buah Moran. Enam orang tewas di tempat, sisanya meninggal di rumah sakit satu jam kemudian.

Di lokasi kejadian, polisi menemukan 160 peluru. Menurut keterangan mereka, masing-masing pelaku menembakan enam sampai sepuluh peluru. Tak ada perlawanan dari para korban karena para pelaku ditengarai datang dengan persenjataan lengkap.

Insiden ini seketika menjadi isu nasional. Media-media ramai memberitakannya dan memantik amarah publik. Selain mengutuk aksi biadab tersebut, media juga mengkritik langkah penanganan dari pemerintah Chicago yang dianggapnya lambat dalam melacak pelaku.

“Pembunuhan ini keluar dari pemahaman kota yang beradab,” demikian tulis editorial Chicago Tribune. “Pembantaian tujuh orang di siang hari menimbulkan pertanyaan untuk Chicago: Apakah mereka tidak berdaya [melawan kejahatan geng]?”

Presiden AS kala itu, Herbert Hoover, tak ketinggalan mengeluarkan sikap. Ia memerintahkan Jaksa Agung, William Mitchell, untuk segera mengusut kasus hingga tuntas. Sedangkan Komisaris Polisi Chicago, William F. Russell, beserta wakilnya, John Stege, menyatakan bahwa tragedi tersebut adalah genderang perang melawan para bandit.

“Ini adalah perang sampai akhir,” kata Russell. “Aku tidak pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Tapi, sekarang, kami menerima tantangan mereka.”

Kejadian di Chicago semakin membuktikan bahwa kebijakan pelarangan alkohol (“Prohibition Era”) tidak menghentikan angka kriminalitas, sebagaimana yang seringkali digaungkan pemerintah AS lewat Amandemen Kedelapanbelas Konstitusi. Alih-alih mengurangi keributan, kebijakan ini malah justru semakin memperburuk kondisi. Empat tahun usai tragedi Chicago, pemerintah ASmencabut larangan peredaran alkohol.

Bagi Moran sendiri, tragedi itu telah menghantamnya dengan telak. Ia terpaksa harus ‘menyerahkan’ lahan bisnisnya kepada Al Capone. Kekuatannya limbung sebab tujuh korban yang tewas merupakan “orang-orang penting” di sindikat yang dipimpinnya.

Tak Mampu Menyeret Al Capone

“Hanya Capone yang mampu membunuh seperti itu,” kata Moran.

Banyak bermunculan teori dan spekulasi tentang siapa dalang di balik tragedi tersebut. Namun, satu nama sudah dipastikan hadir: Al Capone. Menyertakan Capone dalam insiden itu merupakan jawaban logis, mengingat ia dan Moran terlibat pada pusaran rivalitas yang sengit. Menghabisi gerombolan Moran, pendek kata, adalah cara mudah untuk berkuasa di atas lahan bisnis alkohol yang menguntungkan.

Ada pula anggapan bahwa pembunuhan anak buah Moran ialah langkah balas dendam Capone terhadap tewasnya salah satu orang kepercayaannya, Pasqualino Lolordo, yang dibunuh Moran.

Masalahnya, keyakinan bahwa Capone adalah otak serangan, tak bisa dibuktikan secara hukum. Saat kejadian, Capone tengah berada di Florida. Bukti-bukti di lapangan pun semakin menjauhkannya dari dugaan pelaku pembantaian. Sejak saat itu, FBI menjuluki Capone sebagai “Musuh Publik Nomor Satu.”

Dalam sejarah kriminal AS, nama Capone merupakan legenda. Kekuasaannya melintang dari bisnis rumah judi hingga penyelundupan alkohol. Capone tak ragu menyingkirkan siapapun yang menghalangi bisnisnya.

Infografik Mozaik Valentine Day

Infografik Mozaik Pembantaian di Hari Kasih Sayang. tirto.id/Nauval

Capone terlahir dari keluarga imigran yang tinggal di Brooklyn, New York, pada 1898. Sejak kecil, hidupnya sudah suram: tak lulus SD dan lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Masa anak-anak yang tak ideal ini berandil dalam membentuk karakter keras Capone di kemudian hari.

Sekitar warsa 1920, Capone diajak Torrio hijrah ke Chicago guna bergabung kelompok mafia yang dipimpin Big Jim Colosimo. Keduanya meniti karier dari bawah hingga akhirnya mencapai posisi tertinggi setelah Colosimo meninggal dunia. Capone lantas diangkat sebagai tangan kanan Torrio. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menancapkan pengaruhnya di Chicago.

Lima tahun berselang, Capone naik jabatan menggantikan Torrio yang terluka parah dalam upaya pembunuhan. Pada fase ini, Capone membangun reputasinya sebagai gangster yang beringas. Ia tak segan membunuh kelompok yang lain demi memperoleh sekaligus mempertahankan kekuasaannya sudut-sudut kota Chicago.

Sepak terjangnya di dunia gelap telah membikin Capone berkali-kali berurusan dengan aparat. Ia pernah ditahan karena dianggap menghina pengadilan sampai kepemilikan senjata tajam.

Kiprah Capone, pada akhirnya, benar-benar selesai saat Departemen Keuangan AS menyatakan dirinya bersalah atas kasus penggelapan pajak. Pada November 1931, menurut arsip FBI, Capone divonis penjara sebelas tahun, denda 50 ribu dolar, hingga dikenakan kewajiban untuk membayar kembali pajak senilai 215 ribu dolar.

Kuasa hukum Capone sempat mengajukan banding, yang kemudian ditolak pengadilan. Ia pun harus menghabiskan waktunya di penjara Alcatraz selama tujuh tahun enam bulan. Usai masa hukumannya berakhir, Capone tak pernah kembali mengurusi bisnisnya. Ia sakit-sakitan, baik secara fisik maupun mental. Keadaan ini senantiasa menemaninya sampai ia meninggal pada Januari 1947, dalam suasana yang terasing.

Baca juga artikel terkait VALENTINE atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono
-->