Menuju konten utama
Seri KNIL

Kisah Para Serdadu Kolonial Asal Manado yang Kerap Memberontak

Setelah Perang Jawa, orang-orang Manado banyak yang berminat menjadi tentara kolonial. 

Kisah Para Serdadu Kolonial Asal Manado yang Kerap Memberontak
Ilustrasi KNIL MANADO. tirto.id/Fuad

tirto.id - Jika para personel KNIL asal Ambon begitu memuja Kapiten Jonker, maka para serdadu kolonial asal Manado mengultuskan Mayor Dotulong. Seperti perlawanan orang-orang Maluku di bawah pimpinan Pattimura, di Manado pun pernah terjadi peperangan melawan Belanda yang disebut Perang Tondano yang pecah di sekitar Benteng Moraya.

Menurut Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007:51), Perang Tondano terjadi karena orang-orang Minahasa tidak mau menyerahkan para pemudanya untuk menjadi tentara kolonial Hindia Belanda. Namun menurut Giroth Wuntu dalam buku Perang Tondano 1808-1809 (2002:238), pada akhirnya ada saja yang tertipu oleh bujukan dan hadiah hingga mau bekerja untuk kaum penjajah.

Seperti Ambon, Manado kini hanya nama sebuah kota. Sedangkan dulu, Manado dan Ambon adalah keresidenan. Ketika terjadi Perang Jawa, orang-orang Minahasa di Keresidenan Manado diikutsertakan dalam Pasukan Tulungan yang dipimpin Mayor Dotulong dan Kapten Benjamin Thomas Sigar.

Pasukan Tulungan, menurut Jessy Wenas, adalah hasil lobi Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat kepada para tokoh masyarakat. Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (tulung=tolong bantu) itu dikenal sebagai Serdadu Manado.

Setelah Perang Jawa, Pasukan Tulungan kembali ke kampung halamannya. Menurut RZ Leirizza dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia (1997:42), hal ini membuat minat para pemuda Minahasa untuk menjadi tentara meningkat. Mereka yang berusia 16 hingga 27 tahun kemudian berbondong-bondong masuk Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326), jumlah orang Manado di KNIL lebih banyak daripada orang Ambon. Meski yang terbanyak tetap dipegang oleh orang Jawa. Pada tahun 1916, personel KNIL asal Jawa berjumlah 17.854, Ambon 4.000, dan Manado 5.000. Tiga kelompok ini menjadi penyumbang terbanyak penerima bintang ksatria Militaire Willems Orde kelas empat. Dan ada juga orang Manado yang menerima bintang ksatria Militaire Willems Orde kelas tiga, yakni Sersan Jesajas Pongoh dari Airmadidi.

Para perwira KNIL asal Manado antara lain Jan Kaseger, Benjamin Thomas Walangitang, Alexander Herman Hermanus Kawilarang, dan dokter Jan Kawilarang. Pada zaman Jepang, para prajurit dan perwira asal Manado ini tidak begitu dipercaya karena dicap dekat dengan Belanda.

Tak heran jika di antara korban kapal Junyo Maru milik Jepang yang ditenggelamkan torpedo kapal selam Inggris pada 18 September 1944 di sekitar Muko-muko, banyak terdapat orang-orang Ambon dan Manado yang terhitung sudah tidak muda lagi. Dua di antara korban itu adalah Alexander Herman Hermanus Kawilarang (ayah pendiri Kopassus Alex Kawilarang) dan Benjamin Walangitang.

Ketika pecah perang kemerdekaan, orang-orang Manado juga ikut menjadi sasaran amuk revolusi. Sentimen kebencian anti-Belanda senantiasa mengancam mereka. Hal ini membuat mereka banyak yang kembali bekerja untuk Belanda demi keamanan.

Pemberontakan-Pemberontakan

Menurut laporan surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden (07/05/1928), puluhan serdadu KNIL yang mayoritas berasal dari Manado, diadili di krijgsraad (mahkamah militer) Cimahi. Mereka adalah anggota Batalion Zeni, Batalion Infanteri ke-9 dan ke-4. Pengadilan itu menjatuhkan hukuman antara 7 bulan hingga 5 tahun kepada mereka yang terlibat pemberontakan tahun 1927, setelah pemberontakan PKI 1926 gagal total.

Orang-orang Manado yang dihukum itu antara lain Tombeng, Rumampuk, Manoppo, Assa, Mathindas, Parajouw, Wentoek, dan Wenas. Sementara di Sumatra Barat, personel KNIL asal Manado yang dihukum adalah Pontoh dan Rumuat karena terlibat pemberontakan PKI.

Infografik KNIL MANADO

Infografik KNIL MANADO. tirto.id/Fuad

Pada Desember 1945, dua serdadu KNIL berdarah Manado, Salendu dan Laloan, memimpin pemberontakan kecil dengan membawa lari senapan mesin beserta truk militernya dari Makassar ke sekitar Gowa. Salendu tertangkap dan akhirnya dipenjara.

Pemberontakan KNIL yang paling penting bagi Republik Indonesia terjadi dua kali di Manado, yakni pada 14 Februari 1946 dan 3 Mei 1950. Pemberontakan pertama dipimpin oleh SD Wuisan dan Ch Taulu. Keduanya berpangkat sersan dan didukung oleh para personel KNIL asal Minahasa lainnya. Namun pemberontakan ini gagal dan para pelaku dihukum oleh militer Belanda.

Sementara pemberontakan 3 Mei 1950 dipimpin oleh Fred Bolang--sersan KNIL veteran Perang Pasifik di Kalimantan yang membantu militer Inggris melawan Jepang. Pemberontakan ini sukses karena Belanda sudah kalah secara politik di Indonesia. Pemberontakan ini akhirnya melahirkan Batalion TNI 3 Mei.

Selain itu, banyak orang Manado yang desersi dari KNIL ketika perang kemerdekaan tengah berkecamuk, termasuk Piet Warella (1946) dan Adolf Lembong (1947). Lembong yang sudah berpangkat letnan KNIL dan seharusnya hidup nyaman dengan besaran gajinya, justru memilih bergabung dengan tentara miskin di daerah Republik.

Sejumlah orang Manado bekas personel KNIL tak sedikit yang menjadi perwira TNI, salah satunya yang paling kesohor adalah Alexander Evert Kawilarang. Pada masa revolusi, selain pernah bertugas di Jawa Barat, dia juga sempat menjadi perwira penting di Sumatra Utara.

Semantara di Angkatan Udara, ada R. Mantiri yang menjadi perwira. Di Surabaya, bekas sersan artileri KNIL bernama Minggu, bersama satuan meriamnya di pihak Republik bertempur melawan Inggris pada 10 November 1945.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh