Menuju konten utama

Kisah Para Pekerja yang Terasing dan Mati Tergilas Alat Produksi

Perasaan terasing dan kematian mengintai para buruh di lingkungan kerja yang tak sehat dan tak aman.

Kisah Para Pekerja yang Terasing dan Mati Tergilas Alat Produksi
Header Mozaik Paris Baguette. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada jam makan siang di pertengahan Oktober lalu, gerai roti sekaligus restoran Paris Baguette di sebuah mal kelas atas di Jakarta Selatan ramai pengunjung. Gerai roti Prancis asal Korea Selatan ini baru buka di Jakarta pada November tahun sebelumnya.

Di Korea Selatan, seperti dilansir Forbes, Paris Baguette memiliki 3.400 gerai dari total 4.000 gerai di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat dan Cina. Pada Sabtu, 15 Oktober 2022, Paris Baguette mengumumkan gelombang kesembilan ekspansi internasionalnya untuk membuka cabang di London, Toronto, dan Paris.

Di hari yang sama, pukul 6.20 pagi waktu Korea Selatan, seorang perempuan muda yang bekerja sif malam di pabrik Paris Baguette di Pyeongtaek, Provinsi Gyeonggi, sekitar 65 km dari Seoul, meninggal dengan tubuh bagian atasnya tertarik masuk ke dalam mesin pengaduk saus.

Ketika karyawan sif pagi datang dan menemukan jenazahnya, mereka diperintahkan menutupi mesin yang merenggut nyawa gadis berusia 23 tahun itu dengan kain putih. Pabrik tetap beroperasi memproduksi roti bahkan sebelum polisi memulai investigasi.

Pada 20 Oktober, Kementerian Tenaga Kerja dan polisi memulai investigasi dan menyatakan bahwa kecelakaan kerja tersebut diakibatkan karena ketiadaan interlock atau alat pelindung otomatis pada mesin pengaduk roti.

Sepekan sebelumnya, seorang pekerja juga menjadi korban setelah tangannya terpotong mesin. Tetapi perusahaan tidak mengirimnya ke rumah sakit karena statusnya bukan karyawan tetap.

Menurut Yim Min-gyung, seorang anggota Korean Women Association, dikutip dari The Korea Times, sekitar 50 persen pekerja perempuan mengalami keguguran selama bekerja di SPC Group--perusahaan yang membawahi Paris Baguette--akibat beban kerja berlebih.

Sebelumnya pada periode April-Maret 2022 lalu, serikat pekerja Paris Baguette melakukan aksi mogok makan yang berlangsung lebih dari 50 hari. Dengan 80 persen pekerja adalah perempuan, mereka menuntut agar Paris Baguette tidak melanggar hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai perempuan.

Para pemrotes menuntut jaminan istirahat makan siang selama 1 jam, hari libur, cuti tahunan, cuti menstruasi, dan hak-hak mengasuh anak.

“Pekerja di pabrik Paris Baguette tidak terpenuhi hak-haknya untuk bekerja di lingkungan kerja yang sehat dan aman, serta dipaksa untuk membuat roti siang dan malam tanpa hari libur dan isitirahat,” ujar mereka.

Tidak hanya di Korea Selatan, di California, Amerika Serikat, para karyawan Paris Baguette melayangkan gugatan class action melawan Paris Baguette Amerika Serikat pada 13 Oktober 2016. Gugatan tersebut diajukan karena perusahaan memberikan banyak sekali titel “Manajer” kepada karyawan.

Dengan titel ini, Paris Baguette AS berhak tidak memberikan istirahat makan siang atau uang lembur. Hukum di negara bagian California menyatakan bahwa semua pekerja berhak atas istirahat makan siang dan uang lembur kecuali mereka merupakan bagian dari “Manajemen” dan “Eksekutif”. Gugatan tersebut akhirnya dikabulkan pada 22 April 2021.

Kisah Gelap di Industri Pengemasan Daging

Buruknya kondisi pekerja tidak selalu membaik dari masa ke masa. Di North Carolina, di rumah pemotongan hewan Smithfield yang melayani salah satu perusahaan daging kemasan terbesar di Amerika Serikat, IBP (kini Tyson Fresh Meats), memperlakukan para pekerja tak ubahnya hewan-hewan sebelum dipotong.

Dalam film dokumenter Food Inc. (2008) diperlihatkan petugas imigrasi menggerebek rumah-rumah semi permanen para pekerja ilegal Meksiko dan menangkap mereka.

Smithfield dan IBP bekerja sama dengan otoritas imigrasi AS untuk menyerahkan 15 pekerja ilegal setiap hari untuk dideportasi. Jumlah yang sedikit ini disengaja supaya tidak menimbulkan kehebohan, dan yang terpenting tidak mengganggu rantai produksi.

Pada pertengahan tahun 2000-an, seperti dilansir The New York Times, 15 juta orang petani jagung dan mereka yang bergantung pada pertanian jagung di Meksiko kehilangan pekerjaan. Perjanjian perdagangan bebas NAFTA membuat Amerika Serikat membanjiri Meksiko dengan jagung murah. Harga jagung Meksiko anjlok lebih dari 70 persen dan praktis menghabisi subsektor jagung mereka.

Jutaan pengangguran baru ini kemudian mengadu nasib dengan melintasi perbatasan dan bekerja di industri daging kendati tanpa dokumen. IBP melakukan perekrutan besar-besaran untuk bekerja di industri pengemasan daging. Mereka bahkan menyediakan bus untuk pemberangkatan dari Meksiko dan mengiklankan lowongan kerja dalam bahasa Spanyol.

IBP tahu betul keuntungan menggunakan pekerja ilegal yang dapat diserahkan kepada agen imigrasi sewaktu-waktu. Ketiadaan dokumen para imigran ilegal membuat para pekerja ini tidak dapat berserikat untuk menuntut upah layak atau keselamatan kerja.

Proses pengemasan daging merupakan salah satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Dalam waktu yang panjang, pekerja melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dalam proses lini perakitan (assembly line). Dalam industri ini, pekerja bersentuhan dengan darah dan kotoran hewan sehingga rentan mengalami infeksi.

Bahaya lain yang tak terlihat adalah bahwa para pekerja dalam proses manufaktur yang menggunakan lini perakitan sangat mudah digantikan karena mereka tidak menguasai keterampilan apa pun dalam proses produksi.

Ford dan Alienasi Pekerja Perakitan

Proses pengemasan daging menggunakan ban berjalan yang sudah dilakukan sejak abad ke-19 menginspirasi Henry Ford untuk memproduksi massal mobil hingga harganya terjangkau.

Dengan ban berjalan, setiap orang mengerjakan hal yang sama terus-menerus dan tidak perlu berpindah tempat sama sekali. Begitu mesin mobil terpasang, pemasangan komponen-komponen dapat dilakukan oleh pekerja dengan keterampilan rendah sehingga dapat menggantikan mekanik dan insinyur yang berketerampilan tinggi.

Ford membagi proses pembuatan mobil menjadi 84 langkah berbeda. Setiap pekerja hanya dilatih untuk mengerjakan satu langkah tersebut.

Lini perakitan dengan ban berjalan dalam pembuatan mobil memotong waktu produksi secara signifikan. Sebelum 1 Desember 1913, sebuah mobil dikerjakan bersama-sama dan menghabiskan waktu 12 jam. Dengan lini perakitan yang kecepatan ban berjalannya dapat diatur, waktu pembuatan mobil terpangkas menjadi hanya 1 jam 33 menit.

Dari sisi produsen, lini perakitan dengan ban berjalan memang membuat waktu produksi terpotong drastis. Perusahaan pun tidak perlu mempekerjakan karyawan dengan keterampilan tinggi dan harus dibayar mahal.

Cukup melatih seorang pekerja dengan keterampilan rendah untuk mengerjakan satu dari puluhan atau ratusan langkah produksi, maka proses produksi dapat berjalan dengan cepat, massal, mudah, dan murah.

Infografik Mozaik Paris Baguette

Infografik Mozaik Paris Baguette. tirto.id/Tino

Namun, lini perakitan tersebut mesti ditebus mahal oleh para pekerja. Proses produksi ini menciptakan alur kerja tersegmentasi dengan tugas repetitif yang dilakukan pada kecepatan konstan. Selain ketidakberdayaan, situasi kerja seperti ini juga menciptakan keterasingan dan rasa terisolasi.

Menurut Karl Marx dalam buku The Marx-Engels Reader (1978) yang disunting oleh Robert C. Tucker, pada saat yang sama pekerja juga berfungsi sebagai bagian dari produksi atau objek, yang mengarah pada proses pengasingan bagi pekerja, sehingga hasil pekerjaan mereka sendiri merupakan sesuatu yang asing.

Memasang baut mesin berulang-ulang selama bertahun-tahun di pabrik Ford tidak membuat pekerja jadi ahli membuat mobil.

Charlie Chaplin sudah menggambarkan kondisi ini dengan sangat baik pada 1936 dalam filmnya berjudul Modern Times. Chaplin membuka filmnya dengan jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00. Sekawanan kambing terlihat berjalan berdesak-desakan, lalu diikuti adegan berikutnya di stasiun subway ketika para penumpang berdesakan keluar dari stasiun.

Dalam film tersebut, Chaplin bekerja di sebuah pabrik yang menggunakan lini perakitan. Tugasnya adalah memutar baut sepanjang hari, yang membuatnya tertekan karena aktivitas repetitif dan cepatnya ban berjalan.

Di adegan lain, seorang peneliti membawa mesin makan siang yang diujicobakan kepada pekerja pabrik. Chaplin terpilih untuk uji coba mesin yang membantu para pekerja tetap makan, sehingga tidak perlu meninggalkan tempatnya berdiri di jam makan siang dan tetap dapat bekerja. Dengan demikian waktu istirahat pun menjadi produktif.

Film komedi satir yang diproduksi di masa Depresi Besar tersebut menunjukkan dengan sangat jelas perjuangan manusia di dunia modern yang terindustrialisasi. Dalam pandangan Chaplin, kondisi pekerja yang teralienasi justru disebabkan oleh efisiensi yang dituhankan industri.

Sif malam yang melelahkan yang dijalani sendiri oleh si gadis pengaduk saus roti tidak hanya membuatnya teralienasi, tetapi juga mati. Dan pemilik modal pun tak berusaha menangisi dia yang mudah terganti.

Baca juga artikel terkait PARIS BAGUETTE atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi