Menuju konten utama

Kisah Para Jagal Iduladha: Seni Menyembelih Hewan Kurban Antigagal

Beberapa tukang jagal hewan kurban bercerita tentang bagaimana pengalaman mereka menyembelih hewan kurban saat Idul Adha. Mulai dari alat khusus hingga tata cara penyembelihan.

Kisah Para Jagal Iduladha: Seni Menyembelih Hewan Kurban Antigagal
Ustaz Iwan Suparna di kandang sapi. tirto.id/Alfian

tirto.id - Butuh waktu tempuh 20 menit dengan jarak 9 kilometer untuk tiba di Desa Margawati, Kecamatan Garut Kota, jika beranjak dari Masjid Agung Garut. Topografi Desa Margawati terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan dengan luas 610 hektare.

Di desa ini, Ridwan Mahesa lahir dan tumbuh sebagai peternak sekaligus penjagal sapi. Bukan hal yang spesial, mayoritas warga Desa Margawati hidup dari hasil beternak dan berkebun.

Sepulang sekolah sewaktu SD, Ridwan kecil rutin bermain di peternakan milik orangtuanya. Mula-mula ia menggembala kemudian belajar menjagal sapi. Segala ilmu peternakan diunduh otodidak secara turun-temurun, misal tata cara menjagal sapi.

Untuk menentukan sapi mana yang siap potong, Ridwan memastikan dari bulu. Hanya sapi berbulu mulus yang dianjurkan untuk dipotong. Sementara sapi berbulu kasar atau masih “bulu anak” tidak, sebab kualitas daging tidak bagus.

Sapi berbulu kasar akan diberikan perawatan khusus. Ridwan memberinya pakan konsentrat berupa singkong, ampas tahu, dan daun pete selama tiga bulan. Jika bobot sapi sudah terkategori “bulat” artinya siap potong. Ridwan yang kini berusia 23 tahun mendaku tidak menggunakan perkakas khusus untuk menjagal sapi, yang penting tajam.

Sapi jagal akan dijual secara karkas. Terkadang Ridwan juga menerima jagal untuk kebutuhan Iduladha. Namun, ada kalanya, ia hanya menjual sapi saja. Urusan jagal diserahkan ke Rumah Pemotongan Hewan terdekat di Garut.

“Kalau mau tahu jagal yang benar, agak lama, butuh proses. Tapi kalau saya asal terbiasa, nanti bisa sendiri,” ujar Ridwan, ketika saya temui di peternakan miliknya pribadi di Kampung Panagan, Desa Margawati, Kamis (30/7/2020).

Sekitar 1 kilometer dari peternakan milik Ridwan. Tak jauh dari pintu masuk Desa Margawati. Maulana Taufik sibuk memindahkan rerumputan dari motor bebek yang telah dimodifikasi serupa motor trail ke dalam kandang ternak. Itu hanya tugas sampingan, tugas utama Lana ialah menjagal sapi hingga domba.

September nanti, usia Lana genap 20 tahun. Dua tahun terakhir hidupnya ia pergunakan untuk bekerja di peternakan milik kawan mamangnya (paman). Usai tamat SMA, ia tak punya keinginan kerja kantoran. Lana mau melakukan hal yang dekat dengan kesehariannya sebagai pemuda Desa Margawati dan tentu menghasilkan uang.

Keterampilan menjagal Lana didapat dari memperhatikan sang mamang bekerja. Kali waktu, Lana diminta sang mamang menyembelih leher domba. Berbekal sebilah pisau, Lana melafalkan basmalah. Tangan kanannya menyayat kuat leher domba. Tapi tak putus, bahkan robek pun tidak. Ternyata Lana menyayat dengan bagian tumpul pisau.

Setiap kali mengingat kejadian tersebut, ia tak sanggup menahan tawa. Yang ia ingat saat itu, antara antusiasme dan gugup.

Dalam sehari, Lana biasa menjagal 3 sampai 4 hewan. Mulai dari sapi hingga domba, tergantung pesanan. Namun, semenjak pandemi COVID-19, Lana paling banyak menjagal 3 hewan dalam sehari. Terkadang malah tidak sama sekali.

Sebagai tukang jagal, ia tak paham betul penyebab menurunnya konsumsi daging pada masyarakat. Namun esok, ketika Iduladha tiba, menjadi momentum yang sangat Lana tunggu. Semenjak memiliki keahlian menjagal, Lana selalu kebagian tugas menyembelih hewan kurban di masjid dekat rumah.

“Lumayan buat tambahan [uang]. Pulang dikasih daging sama Pak Ustaz,” ujar Lana, ketika saya temui di peternakan tempat kerjanya di Kampung Galumpit, Desa Margawati, Kamis (30/7/2020).

Sekali Sembelih Tak Boleh Gagal

Napas Ustaz Iwan Suparna terkunci di perut. Tangan kirinya seolah menahan kepala sapi agar terdengak, memastikan urat nadi kanan-kiri dan tenggorokan-kerongkongan kencang tertarik. Tangan kanannya seolah mencengkeram bedog. Menunggu embusan napas terakhir sapi, sebab jika tertahan maka daging menjadi beraroma tak sedap.

Kemudian perlahan menyayat dari kiri ke kanan. Sembari melafalkan kalimat basmalah dan takbir. Semua harus dalam sekali gerakan.

Usai menyayat, tangan kanan Iwan tak lekas tercabut. Seolah masih menancap di leher sapi. Ia memastikan bahwa dua urat terputus. Sebab jika tidak, maka proses penyembelihan akan gagal. Daging akan digolongkan bangkai. Kurban pun batal.

Selain itu, peranan metode ikat hewan kurban juga penting. Setiap hewan kurban, baik sapi, kambing, dan domba. Tiga kakinya akan diikat menjadi satu, sementara satu kaki dibiarkan bebas bergerak. Fungsinya untuk tetap memberikan dorongan pada jasad hewan, sehingga mendorong hembusan napas terakhir keluar.

Untuk memastikan bahwa proses penyembelihan berlangsung lancar, ditugaskan seorang saksi. Iwan sebagai penyembelih akan bertanya, “Kasep [sudah putus] tidak?” Jika jawaban saksi “Kasep” maka penyembelihan dinyatakan sah dan ditutup doa. Selanjutnya hewan akan dipotong dalam beberapa bagian.

Iwan sedang melagakkan cara penyembelihan sapi. Ilmu yang ia pelajari dari membaca sejak masih menjadi pelajar Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada akhir tahun 80-an. Salah satu rujukan literatur Iwan ialah kitab Riyadhul Badi’ah karangan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dan Kitab Taqrib.

Alat sembelih yang digunakan pun menurut Iwan tak boleh sembarangan. Alat itu harus eksklusif. Iwan memiliki bedog dan pisau andalan, kendati pihak Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) menyediakan.

Perkakas Iwan terbuat dari baja, sebab kuat, awet, dan ketajamannya sukar berkurang. Hal itu membantu sekali dalam proses menyembelih sekali gerakan.

“Karena kalau sekali tidak putus. Jika disembelih lagi, maka tidak sah. Jadi bangkai,” ujar Iwan usai mempraktikkan penyembelihan hewan kurban di ruang tamu DKM Masjid Agung Garut, Kamis.

Tahun ini, Iwan berusia 50 tahun. Hampir 32 tahun hidupnya telah mengabdi untuk Masjid Agung Garut. Ia mengurus organisasi, mengurus taman kanak-kanak, mengurus keuangan organisasi, mengadakan pengajian, termasuk penyembelihan hewan kurban setiap Idul Adha. Menurutnya, sebagai seorang ustaz, ia dituntut harus menguasai segala hal, baik teori dan laku praktik.

Awal ia menyembelih hewan di Masjid Agung Garut, Iwan hanya membantu. Namun, seiring waktu hingga sekarang, Iwan sudah memimpin penyembelihan hewan setiap tahun. Termasuk pada Hari Raya Idul Adha 1441 H yang berlangsung 31 Juli 2020, tetapi untuk penyembelihan pihak DKM akan menyelenggarakannya pada 1 Agustus 2020.

Sudah ada 3 sapi dan 4 kambing hasil pemberian jemaah dan para pejabat daerah setempat, menanti disembelih oleh Iwan beserta dua "algojo" lainnya. Total hewan kurban akan dibagi mereka bertiga.

Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun menjadi spesialis penyembelih, diam-diam Iwan sedang menyiapkan regenerasi. Santri-santri yang berada di lingkungan masjid sedang dipersiapkan tampil menjadi penyembelih hewan yang syar’i.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA 2020 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri