Menuju konten utama

Kisah Orang-Orang Indonesia yang Gugur di Kapal Selam Belanda

Puluhan orang Indonesia menjadi korban saat bertugas di kapal selam Belanda pada Perang Dunia II. 

Kisah Orang-Orang Indonesia yang Gugur di Kapal Selam Belanda
Ilustrasi Kapal Selam. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dua kapal selam milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijk Marine), yakni HrMs O-16 dan HrMs K-17, tenggelam di sekitar Semenanjung Malaya pada Perang Dunia II.

HrMs O-16 bertugas sejak 1936, sementara HrMs K-17 sejak 1933. Ketika Perang Dunia II meletus, kedua kapal selam ini berada di Front Pasifik, membantu Angkatan Laut Inggris mengadang kapal perang Jepang di sekitar Laut Cina Selatan. Menurut Alastair Mars dalam British Submarines at War, 1939-1945 (1971:212) keduanya sejak 1 Desember 1941 berada di bawah komando Laksamana Geofrey Layton.

HrMs O-16 yang kapten kapalnya Letnan Laut A.J. Bussemaker, berkeliaran di sekitar laut Cina Selatan setelah Pearl Harbour dihajar armada tempur udara Jepang. Nahas, dalam perjalanan ke Singapura tanggal 15 Desember 1941, sebagaimana dicatat Kroese dalam Neerland's Zeemacht in Oorlong (1944:48), HrMs O-16 meledak pada pukul 02.30 setelah menabrak ranjau laut yang ditanam Inggris. Seluruh awaknya yang berjumlah 36 orang dinyatakan gugur.

Dari data yang dihimpun Harry Floor dalam Gedenkrol van de Koninklijke Marine 1939-1962 disebutkan, di antara awak kapal selam HrMs O-16 itu terdapat orang-orang Indonesia, yakni: Boesnar (kopral juru masak kelahiran 1904), Hendrik (juru api dan minyak kelahiran 1906), Manuhuwa P. (kelasi kelas satu kelahiran 1898), E. Picauly (kelasi kelas satu kelahiran 1910), Soejono (pesuruh kelahiran 1915), dan Wasidi (pesuruh kelahiran 1911).

Sehari setelah HrMs O-16 tenggelam, kapal selam K-11 dan K-17 milik Belanda, diperintahkan menjaga jalur masuk Sungai Kuantan dan Pahang di pantai timur Malaka. Namun setelah tiga hari bertugas, kapal-kapal itu ditarik lagi ke Singapura. HrMs K-11 berhasil tiba di Singapura, namun HrMs K-17 tidak pernah muncul lagi dan dinyatakan hilang pada 25 Desember 1941.

Seperti HrMs O-16, di HrMs K-17 juga terdapat orang-orang Indonesia, yaitu Ala (juru api dan minyak kelahiran 1905), Daloegoe (kelasi kelahiran 1897), Mambo (kopral teknisi kelahiran 1910), Sairin (kopral juru masak kelahiran 1912), Saldi (juru api dan minyak kelahiran 1907), Slamet (kelasi kelahiran 1907), Soekarta (pesuruh kelahiran 1920), dan Soewitoadi (kopral teknisi kelahiran 1904).

Kapal selam Belanda lainnya yang hilang pada 25 Desember 1941 adalah HrMs K-16 yang hendak kembali ke Surabaya setelah bertugas di perairan barat laut Kuching. Menurut Louis de Jong dalam Het Koninkrijk de Nederlanden in de Tweede Wareldoorlog Deel IIa tweede helft (1984: 771), kapal selam ini hilang setelah berhadapan dengan kapal perusak Jepang.

Orang-orang Indonesia yang menjadi awak HrMs K-16 adalah: Raden Abdoel Madjid (sersan telegefis kelahiran 1920), Enak (kopral teknisi kelahiran 1909), Karta (juru api dan minyak kelahiran 1910), Laurens, J.M. (kelasi kelas satu kelahiran 1903), Marsidan (kopral juru masak), Sanger, H.R. (kelasi kelas satu kelahiran 1901), Soedarman (pesuruh kelahiran 1923), dan Tawi (pesuruh kelahiran 1909).

Infografik Orang Indonesia di Kapal Selam Belanda

Infografik Orang Indonesia di Kapal Selam Belanda

Sementara pada 18 Februari 1942, kapal selam K-7 yang sedang sandar di samping kapal ponton di dermaga Marine Establisment Surabaya, dibom armada udara Jepang. Kecuali dua orang Belanda, seluruh awak kapal gugur. Mereka antara lain: Mas Soemantri (sersan mayor masinis kelahiran 1901); Tatoeil Ch. (sersan masinis kelahiran 1908), Saidin (kelasi kelas satu kelahiran 1909), Raden Sastratwidjaja R. (kopral teknisi kelahiran 1907), dan Kasman (juru api dan minyak kelahiran 1898).

Awak kapal selam berdarah Indonesia lainnya yang terbunuh semasa Perang Dunia II adalah Linbat, seorang juru api kelahiran 1923. Dia gugur bersama kapal selam HrMs Colombia yang ditorpedo U-516 pada 27 Februari 1943 di sekitar Samudra Hindia.

Pada zaman Hindia Belanda, para awak kapal selam digolongkan sebagai satuan elite. Mereka diharuskan lebih cerdas daripada serdadu-serdadu angkatan darat kolonial--Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Seorang kelasi (pangkat rendahan dalam angkatan laut, baik di mesin maupun dek) setidaknya harus lulusan sekolah dasar. Orang yang tak berpendidikan formal di angkatan laut hanya bisa jadi bediende (pesuruh).

Orang Indonesia berdinas di kapal selam Belanda biasanya hanya mencapai pangkat kopral atau sersan. Letnan kelas tiga Raden Soebijakto, yang belakangan menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, adalah contoh paling langka dalam jajaran perwira kapal selam Belanda. Menurut Syarif Thoyid dan kawan-kawan dalam Laksamana R. Subijakto: Perintis Modernisasi Angkatan Laut (2020:20), Soebijakto pernah menjadi awak kapal selam K-15 antara Juni 1943 hingga September 1945.

Ketika Institut Angkatan Laut Belanda dibuka di Surabaya, hanya sedikit pemuda Indonesia yang berhasil masuk. Dan di antara yang sedikit itu sebagian hanya ditempatkan di bagian administrasi. Raden Hadjiwibowo yang pernah jadi bos Unilever Indonesia, adalah perwira administrasi yang pernah ditempatkan di markas pasukan kapal selam di Surabaya. Dia tak pernah ikut bertempur dalam kapal selam seperti Soebiakto.

Dieter Bartels dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku Jilid 2 (2017:777) mengisahkan, personel angkatan laut lebih pandai berbahasa Belanda dibandingkan serdadu KNIL karena tuntutan pekerjaan.

Di kalangan orang-orang Maluku, personel angkatan laut asal Maluku kerap dicap kebelanda-belandaan oleh orang Maluku yang jadi KNIL. Sebaliknya yang jadi personel KNIL dicap sebagai orang-orang terbelakang. Maklum, hingga tahun 1940, serdadu KNIL yang tidak pernah sekolah masih sangat banyak.

Baca juga artikel terkait KAPAL PERANG JEPANG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh