Menuju konten utama
Ramadan 2019

Kisah Opick & Sejarah Berharganya Rambut Nabi Muhammad

Dalam sejarah dikisahkan, rambut Rasulullah dianggap berharga bagi yang meyakininya, termasuk Opick.

Kisah Opick & Sejarah Berharganya Rambut Nabi Muhammad
Penyanyi lagu religi Aunur Rofiq Lil Firdaus atau Opick. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Opick merasa beruntung sekaligus heran lantaran memperoleh kepercayaan dari pemerintah Turki dan Dewan Ulama Thariqah Internasional untuk menyimpan sehelai rambut Nabi Muhammad. Dalam sejarah dikisahkan, rambut Rasulullah memang dianggap sangat berharga bagi orang-orang yang meyakininya.

"Ya itu, aneh. Bisa ya, kenapa saya, ya? Banyak teman-teman, ustaz, habib, kiai juga minta, tapi Opick langsung dikasih," ujar Opick dalam jumpa pers di Terminal 3 Bandara Sukarno-Hatta, Tangerang, Selasa (7/5/2019).

"Itu saya [rasa] aneh juga. Ini enggak boleh besar hati juga, mungkin saking banyak dosanya dikasih ini [rambut] supaya sadar," imbuhnya.

Musisi bernama asli Aunur Rofiq Lil Firdaus itu baru saja mendarat dari Turki. Ia terbang ke negara yang terletak di antara Eropa dan Asia itu untuk memastikan keaslian dan nasabiyah (ahli waris) rambut Nabi Muhammad tersebut.

"Hanya satu hari di sana untuk memastikan dan mengetahui nasabiyahnya. Kemudian meminta (nasabiyah rambut) ini dari siapa, dari siapa, dari siapa sampai ke Rasulullah SAW," ungkap Opick.

Opick bakal memperlakukan rambut Nabi Muhammad yang diperolehnya itu dengan sebaik-baiknya. Sehelai rambut Rasulullah itu akan disimpannya di Rumah Umat Tombo Ati, Pulo Gebang, Jakarta Timur, dan dijaga serta dibacakan Alquran selama 24 jam.

"Yang terpenting enggak ada maksud lain, enggak ada maksud sombong, enggak ada maksud seperti apa. Ini hanya untuk menunjukkan nanti jika kalian mau ziarah ke Rumah Umat Tombo Ati,” papar pencipta sekaligus pelantun lagu-lagu religi ini.

Apakah sehelai rambut Nabi Muhammad sangat berharga bagi Opick?

"Ini anugerah. Andaikata dunia dan jagat raya ini tidak lebih berharga dari satu sayap nyamuk saja, berarti ini rambut Rasulullah SAW lebih berharga dari semuanya," kata Opick.

"Ini rambut yang berangkat ke Sidrathul Muntaha juga, ini rambut bagian tubuh dari makhluk yang paling mulia, dicintai, dan diberkahi," tandasnya dengan mantap.

Topi Perang Khalid bin Walid

Rambut Nabi Muhammad memang dianggap sangat berharga. Tak hanya bagi Opick. Jauh sebelumnya, bahkan ketika Rasulullah masih hidup, Khalid bin Walid juga pernah merasakannya. Khalid adalah sahabat Nabi Muhammad sekaligus salah satu panglima pasukan muslim paling andal.

Dikisahkan Miftahur Rahman dalam buku Jangan Sakiti Rasulullah Al-Mustafa (2015), Khalid mendadak panik di tengah pertempuran karena topi besinya terlepas dan jatuh ke tanah. Sang panglima pun sibuk mencari-cari topinya sembari terus menangkis serangan musuh.

Khalid yang merasa kewalahan karena konsentrasinya terpecah kemudian memerintahkan anak buahnya ikut mencari. Dalam situasi yang berkecamuk seperti itu, pastinya bukan pekerjaan yang mudah bisa menemukan topi tersebut.

Bahkan, setelah perang usai, topi perang itu belum juga ditemukan. Khalid dan beberapa prajuritnya terus mencari di antara genangan darah dan tumpukan mayat. Akhirnya, setelah pencarian yang melelahkan, topi tersebut ditemukan.

Rekan-rekan Khalid tentu saja heran mengapa ia sangat tidak ingin kehilangan topi perangnya itu.

"Apa hebatnya topimu itu sehingga engkau lebih mementingkannya ketimbang keselamatan dirimu sendiri?" tanya seorang sahabat.

Sambil memegang erat topi perangnya, Khalid menjawab, "Topi ini tidak berharga sama sekali. Namun, ada sesuatu yang berharga yang terdapat di dalamnya."

Sang kawan bertanya lagi. "Apakah gerangan yang terdapat di dalam topi itu?"

"Di dalam topi ini terdapat beberapa helai rambut mulia milik Rasulullah. Keberkahan dari beberapa helai rambut itulah yang membuat Allah senantiasa memberikan kemenangan kepadaku dalam setiap pertempuran," tandas Khalid.

Berkah Rambut Rasulullah

Helai-helai rambut Nabi Muhammad dianggap istimewa. Oleh karenanya, banyak orang yang melakukan tabarruk (mencari keberkahan) maupun tawasul (sarana mendekatkan diri kepada Tuhan) dengan rambut Rasulullah.

Dikisahkan Al-Aini di Kitab Umdatu al-Qari, sebagaimana dinukil dari tulisan Abu Ismail Muhammad Rizal bertajuk “Tabarruk dengan Nabi Muhammad” dalam Majalah Asy-Syariah (2015), sebagai berikut:

"Ummu Salamah [istri Rasulullah] memiliki beberapa helai rambut Nabi dalam sebuah botol perak. Jika orang jatuh sakit, mereka akan pergi dan bertabarruk dengan rambut-rambut tersebut dan mereka sembuh dengan sebab itu."

Kisah hampir serupa juga diriwayatkan Al-Bukhari dalam Kitab al-Libas, dikutip dari The Great Episodes of Muhammad (2015) karya Said Ramadhan Al-Buthy. Dalam hadis itu, tulis Al-Buthy, disebutkan bahwa Ummu Salamah mengumpulkan beberapa helai rambut Rasulullah dan menyimpannya dalam sebuah botol.

Orang yang terserang penyakit akan mengirimkan wadah berisi air kepada Ummu Salamah. Lalu, Ummu Salamah mencelupkan rambut Rasulullah ke dalam air itu untuk diminum oleh si sakit dengan niat tabarruk dan tawasul demi mencari kesembuhan.

Sebenarnya bukan hanya rambut. Semua yang berhubungan dengan Nabi Muhammad, seperti jenggot, kuku, keringat, barang-barang bekasnya, segala sesuatu yang pernah disentuhnya, sisa makanannya, bahkan ludah Rasulullah, juga dipercaya mengandung berkah.

Lantas, apakah praktik-praktik semacam ini bisa dianggap menyimpang macam syirik atau musyrik dari ajaran Islam?

Tindakan Khalid bin Walid, misalnya, menurut Miftahur Rahman dalam bukunya, sah-sah saja dan bukan penyimpangan. Rambut Rasulullah menjadi spirit dan motivasi bagi Khalid ketika menghadapi peperangan, karena di sanalah ia merasa selalu didampingi Rasulullah.

Demikian pula menurut Said Ramadhan Al-Buthy. Tawasul dan tabarruk, tulisnya, memiliki makna yang sama, yaitu memburu kebaikan dan keberkahan melalui jalan yang dapat mengantarkan kepada kebaikan itu sendiri.

Benarkah begitu? Wallahu a’lam.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih