Menuju konten utama
Seri Operasi Intelijen

Kisah Operasi Intelijen Kuno ala Gajah Mada

Gajah Mada berhasil menyelamatkan takhta Raja Jayanegara lewat operasi intelijen.

Kisah Operasi Intelijen Kuno ala Gajah Mada
Ilustrasi Gajah Mada. Ilustrasi/tirto.id

tirto.id - Operasi intelijen paling gemilang di Indonesia bukan terjadi di zaman Revolusi kemerdekaan, tapi di zaman Majapahit. Operasi intelijen ini dipelopori Gajah Mada. Kisah kegemilangannya bahkan disinggung dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Sementara kisah operasi intelijen Benny Moerdani atau Ali Moertopo yang sudah dianggap legenda belum masuk kurikulum pelajaran sejarah.

Sumber penting dari kisah operasi intelijen Gajah Mada bersumber pada kitab kuno tentang sejarah raja Jawa berjudul Pararaton. Kisah dari kitab ini sudah ditafsirkan dalam beberapa buku. Di dalamnya termasuk fragmen operasi Gajah Mada menyelamatkan takhta raja Majapahit yang lemah dan lalim bernama Jayanegara.

Jayanegara tergolong raja yang tidak disukai. Dia adalah anak Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dengan Dara Petak, yang bukan permaisuri. Dara Petak bukan pula keturunan raja terakhir Singosari, Kertanegara. Dara Petak putri raja dari Sumatra.

Sudah tidak disukai, sang raja punya orang kepercayaan yang jahat dan licik pula. Orang mengenalnya sebagai Mahapati. Lelaki ini kebetulan suka bikin intrik. Tak heran, sang raja lalim itu diberontaki; bahkan oleh mantan dharmaputra yang dekat dengannya, Ra Kuti.

Mengawal Raja yang Melarikan Diri

Pemberontakan Ra Kuti terjadi pada 1241 Saka atau 1319 Masehi. “Dalam pemberontakan Ra Kuti nama Gajah Mada mulai disebut-sebut dalam kitab Pararaton sebagai orang yang berperanan dan terampil untuk mengatasi masalah,” tulis Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik (2010: 22).

Kemungkinan besar, sebelum Ra Kuti berontak, Gajah Mada sudah menjadi anggota dari pasukan Bhayangkara yang mengawal raja.

Kuti, yang tidak senang kepada Jayanegara, memberontak hingga ibu kota porak-poranda dan membuat raja dalam bahaya. Tak heran, Jayanegara menyingkir untuk menghindari bahaya. Sudah pasti Kuti berjaya, dan seharusnya sementara waktu menguasai keadaan. Masa depan kerajaan Majapahit, yang berpusat di Trowulan itu, tentu saja terlihat suram.

“Ketika Kuti belum mati, raja bermaksud pergi ke Badander. Pergi pada waktu malam, tiada seorangpun yang tahu, hanya diiringkan oleh pasukan Bhayangkara, semuanya kebetulan menjaga (malam itu), ketika raja pergi, sebanyak 15 orang. Pada waktu itu Gajah Mada menjadi kepala pasukan Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga, itulah sebabnya dia menggiringkan raja pergi,” demikian tafsir Pitono Hardjowardojo atas kitab Pararaton, seperti ditulisnya dalam buku berjudul Pararaton (1965: 49).

Ditambah Gajah Mada, jumlah pengawal jadi 16 orang. Para pengiring raja itu terdiri dari pengawal dan pelayan—yang disebut pengalasan.

“Waktu bekel Gajah Mada memberi bantuan kepada (Raja) Sri Jayanegara dalam pemberontakan Darmaputra Ra Kuti, maka dia tak gentar sedikit juga,” tulis Muhammad Yamin dalam bukunya, Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (1960: 28).

Sang raja yakin, kerja Gajah Mada akan sukses asal semua pengawal lain melaksanakan kewajiban mereka masing-masing.

Gajah Mada berwenang penuh atas keselamatan raja. Suatu kali, waktu raja sudah beberapa hari di Badander, seorang pengalasan minta pulang. Gajah Mada tak hanya mencegah dia pulang, tapi juga membunuhnya. Pengalasan itu dihadiahi tusukan keris oleh Gajah Mada. Dalam pikirannya, pengalasan itu bakal bikin musuh raja tahu di mana raja bersembunyi. Ra Kuti tentu tidak akan diam sebelum Jayanegara nan lalim itu mati.

Menguji Kesetiaan Para Pejabat

Hari ke lima di Badander, Gajah Mada mohon diri kepada Jayanegara untuk memantau situasi ibu kota Majapahit. Tiba di sana, Gajah Mada hendak mengunjungi pejabat tinggi kerajaan. Dia mencari tahu sejauh mana kesetiaan para mantan pejabat era Jayanegara kepada tuan mereka. Gajah Mada tentu punya siasat. Layaknya seorang intel, Gajah Mada tidak mau memercayai siapapun ketika berada di ibu kota.

Ketika ditanya oleh pejabat-pejabat Majapahit soal keadaan raja, Gajah Mada sangat berhati-hati memberi jawaban. Gajah Mada memilih jawaban buruk dengan bilang bahwa raja sudah terbunuh oleh orang-orang suruhan Ra Kuti. Pejabat-pejabat itu pun menangis.

“Diamlah, tidakkah tuan-tuan sekalian menghendaki Ra Kuti sebagai raja?” hardik Gajah Mada seperti digambarkan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005: 237).

Kepada Gajah Mada, para pejabat itu bilang, “Apa katamu? Ia bukanlah Tuan Kita!”

Maka tercerahkanlah pandangan Gajah Mada dalam situasi yang tidak menyenangkan itu. Terkait hal ini, Slamet Muljana mencatat, "tahulah sekarang Gajah Mada, bahwa para pembesar dan warga kota Majapahit tidak suka kepada Kuti dan masih cinta kepada Raja Jayanagara" (hlm. 236-238).

Tak lupa, Gajah Mada meminta kesanggupan mereka untuk melawan Ra Kuti.

Operasi intelijen yang dilakukan Gajah Mada ini sebetulnya menentukan masa depan Majapahit. Dengan atau tanpa Gajah Mada, operasi macam ini perlu untuk mencari tahu bagaimana dukungan kepada raja. Dengan informasi yang diperoleh Gajah Mada, harapan dan kekuatan untuk mengalahkan Ra Kuti bisa dikumpulkan.

Infografik Operasi Intelejen Gajah Mada

Lebih lanjut, Gajah Mada juga tahu bahwa para pengikut Ra Kuti ternyata tidak sekuat yang dibayangkan. Dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008:76-77), Bernard Vlekke menulis, “setelah dengan teliti mempelajari reaksi para tentara itu diantara pasukan pemberontak, dia menyusun revolusi balasan dan memulihkan kekuasaan sang raja.”

Bersama mantan orang terdekat raja, Ra Kuti pun digulung.

“Sayang sekali, Pararaton tidak menjelaskan bagaimana caranya Ra Kuti akhirnya ditewaskan. Hal yang pasti adalah bahwa pemberontakan ini dapat dipadamkan berkat siasat Gajah Mada,” tulis Agus Aris Munandar.

Raja akhirnya sadar, pemberontakan Kuti, dan sebelumnya Semi, terjadi lantaran hasutan seorang pejabat bernama Mahapati.

“Mahapati berhati jahat dan tukang fitnah, ia kemudian ditangkap dan dibunuh,” tulis Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II: Edisi Pemutakhiran (2008: 458).

Sementara menurut Slamet Muljana, “matinya (Mahapati) cinelengceleng rupanya berarti dicincang atau dicacah-cacah karena dosanya suka mengadu domba.”

Jayanegara Tak Tahu Diri

Atas jasanya, menurut kitab Pararaton yang ditafsir Pitono (hlm. 49-50), Gajah Mada diberi hadiah libur dua bulan. Gajah Mada yang berjasa tentu tak hanya dapat pujian, tapi juga jabatan.

Setelah itu, ia dijadikan patih di Kahuripan dan Daha. Kariernya melesat mantap. Setelahnya lagi, waktu Tribuna Tunggadewi jadi raja Majapahit, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih. Saat itulah dia mengucapkan sumpahnya yang terkenal: Palapa.

Meski sudah diselamatkan Gajah Mada, Jayanegara tetap Jayanegara. Raja tetap disembah di zaman kuno. Mau ambil beras rakyat, tanah rakyat, istri rakyat, raja tetap disembah. Menurut Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia (2006: 396), arkeolog Belanda N.J. Krom meyakini bahwa istri Gajah Mada pernah dicabuli Jayanegara.

Raja yang pernah digosipkan hendak mengawini saudari yang satu satu ayah dengannya ini juga pernah mengganggu istri dari tabib Ra Tanca. Konon, itulah penyebab Jayanegara tewas waktu Ra Tanca mengobati bisul di lehernya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAWA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan