Menuju konten utama

Kisah 'Ojol Bolang' yang Bersiasat di Tengah Pembatasan

Pengemudi ojol pindah wilayah operasi ke daerah yang sudah memperbolehkan mengangkut penumpang. Tapi karena banyak yang berpikiran sama, pendapatan tak naik signifikan.

Kisah 'Ojol Bolang' yang Bersiasat di Tengah Pembatasan
Pengemudi Gojek menggunakan sekat pelindung saat uji coba penggunaannya pada armada Gojek di Shelter Gojek Stasiun Sudirman, Jakarta, Rabu (10/6/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Mochamad Faisal, seorang pengemudi ojek online atau ojol, terpaksa pindah 'tempat operasi' dari Cinere Depok ke Jakarta demi bisa mengangkut penumpang dan mendapat uang lebih banyak.

"Daripada pendapatan sedikit dari angkut makanan dan barang, mending ke Jakarta," kata pria 22 tahun ini kepada reporter Tirto, Rabu (8/7/2020).

Penyedia transportasi online seperti Gojek dan Grab menghilangkan menu antar penumpang sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jawa Barat pada 6 Mei. Para pengemudi menggantungkan hidup dari antara barang dan makanan saja. Pendapatan mereka jadi menurun drastis.

Isal, demikian Faisal biasa dipanggil, bilang sebelum pandemi dia dapat mengangkut 20 sampai 30 penumpang dalam sehari. Dari situ bisa terkumpul duit Rp300 ribu. Setelah fitur angkut penumpang dihilangkan, "turunnya parah banget, dalam seminggu cuma setengahnya jika dibandingkan dengan pendapatan sebelum ada Corona sehari." Dia mengaku penghasilannya hanya Rp150 ribu, hasil dari antar barang dan makan dua sampai tiga kali sepanjang sepekan.

Kabar baik lalu datang dari Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan tanggal 8 Juni ojol diperbolehkan lagi mengangkut penumpang, setelah sebelumnya menerapkan kebijakan serupa per 10 April. Faisal pun coba pindah beroperasi ke ibu kota.

Tapi toh ternyata pendapatannya tak juga naik signifikan. Dengan waktu kerja 7 pagi sampai 11 malam, jauh lebih panjang dibanding jam kerja normal, 8 jam, Isal hanya dapat menarik satu sampai empat penumpang dengan pendapatan paling banyak Rp40 ribu. "Kadang pernah enggak dapat penumpang sama sekali," katanya.

Sepertinya ini terjadi karena bukan hanya Faisal saja yang berpikir pindah 'wilayah operasi', tapi juga pengemudi lain dari kawasan penyangga Jakarta lain seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Pendapatan sebesar itu tentu tidak bersih. Ia sudah dikurang uang bensin yang sehari bisa habis Rp20 ribu sampai uang makan. Belum lagi harus ada uang yang disisihkan untuk servis motor bulanan yang bisa mencapai Rp150 ribu.

Isal juga masih harus membantu orang tua. "Uang segitu dicukup-cukupin saja, paling cuma bisa bantu sedikit-sedikit orang tua. Kalau masih ada sisa paling ditabung," katanya.

Ia masih menemukan celah untuk bersyukur karena belum berkeluarga. Ia tak perlu memikirkan anak dan istri yang harus dinafkahi.

Pengendara ojol lain yang terdampak COVID-19 adalah Sugiri. Pria berusia 34 tahun itu tinggal di kawasan Rawa Sengon, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saya mendapatkan dia saat memesan ojek ke daerah Sunter Jaya, juga di Jakarta Utara.

Sugiri menerapkan protokol kesehatan. Atribut ojol yang dia gunakan begitu aman, dilengkapi masker dan sarung tangan. Dia juga meminta saya untuk jaga jarak ketika berada di atas motor meski suhu tubuh saya tidak dicek menggunakan thermal gun. "Kalau itu hanya buat driver yang punya saja," katanya kepada saya.

Sepanjang jalan, pria yang telah menjadi sopir ojol sejak 2017 itu mencurahkan keresahannya akibat COVID-19.

Sebelum pandemi dia mengaku dalam sehari bisa mengangkut 10 sampai 15 penumpang, dari pukul 7 pagi sampai 8 malam. Penghasilannya Rp250 ribu. Tapi sekarang maksimal hanya bisa menarik lima orang dengan pemasukan "paling dapat Rp100 ribu" atau bahkan Rp30 ribu.

Biasanya Rp20 ribu dihabiskan untuk bensin. Lalu makan dan rokok Rp30 ribu. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari seperti bayar kontrakan, air, dan listrik sebesar Rp800 ribu, serta makan istri dan anak yang berusia 5 dan 10 tahun.

"Pas-pasan lah uang segitu. Kami sekeluarga makan disesuaikan sama pendapatan yang ada" katanya. "Kalau enggak cukup, ya ngambil uang tabungan."

Demi mengirit pengeluaran, Sugiri mengubah jadwal servis motor dari yang sebulan sekali menjadi tiga bulan sekali.

Meski dalam keadaan sulit, Sugiri mengaku tak masalah dengan kedatangan 'ojol bolang', padahal itu membuat pendapatannya makin sedikit. Sugiri bilang 'ojol bolang' itu istilah umum yang merujuk ke para pengemudi ojol dari luar kota.

Bagi Sugiri, "orderan penumpang tergantung rezeki dan aplikasi. Kalau lagi hoki mah dapat saja [penumpang]."

Asosiasi pengemudi ojol, Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), memperkirakan pengemudi ojol di Jakarta bertambah 20 persen setelah Gubernur Anies mengizinkan kembali aplikasi penyedia transportasi online mengangkut penumpang. Total pengemudi ojol Jakarta sendiri diperkirakan sebanyak 700-800 ribu orang.

Dilonggarkan

Setelah beberapa bulan tidak mengizinkan ojol mengangkut penumpang, beberapa pemerintah daerah penyangga Jakarta kini mengeluarkan kebijakan pelonggaran.

Pemerintah Kabupaten Bogor telah mengizinkan ojol mengangkut penumpang sejak Jumat (3/7/2020) lalu. Kemudian disusul Pemerintah kota Depok pada Selasa (7/7/2020) kemarin. Sementara Pemerintah Kota Bekasi mengizinkan ojol kembali beroperasi Kamis (9/7/2020) lalu.

Di antara sejumlah daerah penyangga Jakarta, hanya Kota Tangerang saja yang belum mengizinkan ojol kembali mengangkut penumpang.

Ketua Presidium Nasional Garda Igun Wicaksono meminta kepada seluruh pemerintah daerah mencabut larangan ojol membawa penumpang. Sebab karena kebijakan itu, sebagaimana diceritakan Sugiri dan Isal, banyak pengemudi ojol semakin susah. Toh mereka sebisanya menerapkan protokol kesehatan.

"Kami ojol menyiapkan partisi portable demi keamanan penumpang. Tujuannya untuk mengantisipasi droplet dari pengemudi kepada penumpang maupun sebaliknya," kata Igun kepada reporter Tirto, Rabu (8/7/2020).

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino