Menuju konten utama

Kisah Nastasia Urbano, dari Supermodel Jadi Gelandangan

Mantan supermodel Nastasia Urbano ingin kembali ke masa jaya sebagai model. Mungkinkah?

Kisah Nastasia Urbano, dari Supermodel Jadi Gelandangan
Mantan supermodel Nastasia Urbano yang kini hidup menggelandang di Barcelona, Spanyol. El Pais/Massimiliano Minocri

tirto.id - Para perempuan Barcelona boleh jadi pernah punya impian hidup bak model Nastasia Urbano yang meneken kontrak kerja seharga 1 juta dolar untuk masa kerja 20 hari pada 1980-an, periode yang sangat menggiurkan bagi profesi model.

Tarif itu menyiratkan kepopuleran Urbano yang sempat tampil sebagai model kampanye produk kecantikan Yves Saint Laurent dan wajah sampul majalah Vogue edisi Spanyol. Ia juga sempat melakoni kegiatan modeling di kota-kota mode seperti Paris, Milan, dan New York, menjalani hidup jetset ala artis Hollywood, serta berpesta bersama pesohor semacam Andy Warhol, David Lynch, dan Jack Nicholson.

Tapi kehidupan ala pesohor memang tak abadi. Pada 8 Februari 2019, media Spanyol El Pais mengabarkan Urbano telah jadi gelandangan selama tiga bulan.

“Aku tidur di pinggir kali dan jalan kaki tanpa tujuan sepanjang hari. Aku tak mampu berpikir jernih karena yang terngiang di kepalaku cuma jeritan keputusasaan. Aku butuh pertolongan,” katanya kepada Alfonso L. Congostrina, jurnalis El Pais.

Pertolongan datang dari Carol Collins Miles, kolega Urbano yang memutuskan mengadakan kampanye crowdfunding GoFundMe agar Urbano bisa punya uang untuk menyewa tempat tinggal. Sampai 6 Februari lalu, dana yang terkumpul untuk Urbano mencapai 2.000 Euro.

Sebenarnya Urbano punya anak yang mungkin bisa membantunya. Tapi ia menolak menghubunginya. “Tidak seharusnya seorang ibu membebani anak. Dia kan sudah berkeluarga dan punya tanggungjawab sendiri. Selain itu, dia mengidap gangguan panic attack yang bisa kambuh kalau mendengar kabarku ini. Lagipula idealnya aku jadi nenek yang punya rumah dan bisa menyuguhi cucu dengan kue bikinanku,” lanjutnya.

Ia cukup lega lantaran media mengisahkan derita yang mesti ia tanggung kebangkrutan setelah menginvestasikan dana besar ke sebuah proyek yang gagal.

“Aku harap hidupku bisa berubah sebelum umur 60 tahun. Aku rasa aku masih mampu tampil bagus di depan kamera karena itu keahlianku yang selalu melekat,” kata perempuan berusia 57 tahun ini.

Zaman Keemasan Supermodel

Wajar bila Urbano ingin kembali ke masa-masa paling enak dalam hidupnya. Dan mungkin bukan hanya dia, model yang ingin kembali ke tahun 1980-an.

Masa itu adalah momen di mana industri mode dan kecantikan tengah gencar melakukan promosi lewat berbagai medium seperti papan iklan dan televisi. Dekade 1980-an adalah zaman kelahiran TV kabel. Dampaknya ke dunia fesyen luar biasa besar. Sebagaimana dicatat Maya Cohen dalam “Million Dollar Babies, The Rise and Fall of The Supermodel Phenomena”, TV kabel membuat industri fesyen membutuhkan model yang sesuai untuk ditampilkan dalam berbagai jenis iklan dan branding.

Waktu itu para model dituntut mampu tampil paripurna sebagai model foto dan model peragaan busana. Sebelumnya, para model hanya dituntut untuk terampil melakukan salah satunya, bukan dua-duanya. Contohnya Twiggy, model yang populer pada 1960-an ini direkrut untuk jadi foto model di katalog dan majalah fesyen.

Tuntutan itu bikin John Casablancas, pendiri agen model Elite Models, mencari sosok-sosok baru. Dari proses pencarian itu muncullah Cindy Crawford, Linda Evangelista, Naomi Campbell, Christy Turlington, Claudia Schiffer—yang kelak disebut The Big Five, merujuk pada para supermodel yang fenomenal sepanjang 1980-an hingga awal 1990-an.

Masing-masing dari mereka rata-rata punya penghasilan bersih $1 juta per tahun. Pada era itu, Evangelista pernah berkata sesumbar: “Aku enggak akan bangun dari tempat tidur tanpa kontrak kerja kurang dari $1.000 sehari.”

“Campbell adalah model kulit hitam Amerika pertama yang jadi sampul Vogue Perancis 1988. Schiffer jadi model pertama dengan nilai kontrak terbesar yaitu 10 juta dolar,” tulis Cohen.

“Aku dikontrak Omega selama 20 tahun dan jadi duta Revlon untuk 15 tahun,” kata Crawford yang pernah muncul di sampul ribuan majalah fesyen ternama.

Menurut catatan Forbes, Crawford juga jadi peragawati untuk setiap peragaan busana keluaran jenama premium, jadi presenter televisi, dan pebisnis produk dekorasi rumah yang memberinya pendapatan 250 juta dolar setahun.

“Hidupku berubah setelah dikontrak label busana Calvin Klein pada 1988,” kata Turlington yang mengaku dibanjiri tawaran pekerjaan setelah jadi model lini fesyen tersebut.

Selama satu dekade, publik seolah hanya disodorkan wajah lima model tersebut. Cohen berpendapat bahwa penampilan mereka mewakili kesan mewah, glamor, dan kaya—kesan yang diincar para selebritas Hollywood. Pada masa itu para model jadi panduan gaya penampilan para selebritas ternama.

Sayang, masa gemerlap supermodel itu hanya berlangsung sekitar satu dekade. Akibat resesi ekonomi di AS pada penghujung 1980-an, pelaku industri mode sekelas Dior dan Chanel mati-matian untuk membuat koleksi lebih murah dengan menciptakan baju yang lebih sederhana atau ready to wear serta ragam aksesori seperti perhiasan, tas, sepatu, dan parfum.

Model glamor sekelas The Big Five tidak laku lagi. Pemilik perusahaan mode menuntut penggunaan model yang lebih sederhana, populer, dan terkesan “dekat” dengan masyarakat. Hal sama juga berlaku pada industri kecantikan.

Infografik Supermodel

Infografik Supermodel

Sederhananya begini: posisi Crawford dan Claudia sebagai duta Revlon tergeser oleh Halle Berry, Salma Hayek, dan Jennifer Lopez.

“Di luar sana, ada 3 miliar perempuan yang tidak punya penampilan seperti supermodel. Yang penampilannya seperti mereka cuma delapan orang,” kata Anita Roddick, pendiri lini produk kecantikan The Body Shop yang menggagas "Honest Advertising", sebuah kampanye yang menampilkan model lebih dekat dengan kenyataan sehari-hari.

Kini, ketika dunia mode berjalan ke arah aktivisme yang menggaungkan wacana keragaman dan inklusivitas, supermodel semakin tak laku lagi. Para desainer muda yang menjadikan mode sebagai sarana aktivisme mencari orang-orang biasa yang dianggap sesuai visi mereka. Hari ini, model busana bisa saja berasal dari kaum difabel, transgender, perempuan gemuk, nenek-nenek, hingga orang dengan kesehatan mental.

“Modeling, unsur penting dalam mode kini bicara tentang ekspresi diri dan koneksi dengan orang sekitar,” kata Casting Director Gilleon Smith kepada Fashionista. Istilah supermodel sudah tak layak lagi digunakan.

Mungkin kelak Urbano dengan segala permasalahan hidup yang telah ia lalui bisa tampil sebagai duta gerakan aktivisme di ranah mode. Bukan sebagai supermodel glamor seperti yang ia inginkan.

Baca juga artikel terkait MODEL atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf