Menuju konten utama

Kisah Mary Bell dan Kenapa Seorang Anak Bisa menjadi Pembunuh

Bagaimana menghadapi kekejian yang muncul dari seorang anak-anak?

Kisah Mary Bell dan Kenapa Seorang Anak Bisa menjadi Pembunuh
Ilustrasi anak dan hukum. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada 25 Mei 1968, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-11, Mary Bell mencekik Martin Brown, bocah berusia empat tahun, hingga tewas, di sebuah rumah kosong yang terletak di Scotswood, Newcastle, Inggris.

Mary tidak berusaha menutupi perbuatannya tersebut. Untuk itulah ia kemudian mengajak seorang teman sekolahnya, Norma Joyce (13 tahun), agar menemaninya menerobos masuk ke sebuah rumah penitipan bayi di daerah yang sama. Di atas kasur di dalam salah satu kamar, Mary meninggalkan dua lembar kertas yang berisi pengakuan bahwa ia adalah pelaku pembunuhan Brown.

Kertas pertama bertuliskan: “Fuck of, we murder, watch out, Fanny and Faggot!”. Sedangkan kertas kedua: “We did murder Martain brown, fuck of you Bastard!”. Kertas tersebut sempat dilaporkan kepada polisi, tapi mereka justru menganggap isinya hanyalah lelucon dan menertawakannya. Kelak, para polisi itu akan menyesali sikap tersebut.

Sekitar dua bulan kemudian, Mary kembali menghasut Norma untuk melakukan kejahatan. Namun kali ini levelnya berbeda: pembunuhan. Norma memahami hasutan tersebut sebagai bentuk bakti seorang penggemar kepada idola. Ia pun menurut saja turut serta dalam ide gila Mary. Mereka lalu segera menentukan korbannya: Brian Howe, bayi berusia tiga tahun, anak dari salah seorang keluarga di area perumahan mereka di Scotswood.

Syahdan, pada 31 Juli 1968, Howe dibunuh oleh Mary di sebuah lapangan kosong juga dengan cara dicekik. Mayat Howe lantas mereka tinggalkan begitu saja dan kedua anak perempuan itu pulang ke rumah masing-masing. Namun, berselang jam kemudian, diam-diam Mary kembali menyambangi mayat Howe sendirian dengan membawa sebilah gunting dari rumahnya.

Dengan sikap tenang yang luar biasa, ia mulai melakukan kegilaan yang muskil dibayangkan siapapun: mengukir huruf “M” di perut Howe, memotong sebagian rambutnya, menyayat kakinya, lalu memotong penis bayi tersebut.

Kematian Howe dengan cepat membuat gempar semua orang di Scotswood. Polisi berusaha keras mencari siapa pelakunya, tapi mereka kesulitan. Titik terang pencarian bermula ketika polisi mencurigai perilaku aneh Mary saat pemakaman Howe. Ketika itu Mary kedapatan bersembunyi di luar rumah Howe sambil tertawa dan menggosok-gosok tangannya saat peti mati diturunkan ke liang lahat. Namun, kendati mencurigai Mary, polisi jelas tidak bisa langsung menarik kesimpulan.

Setelah melakukan penyelidikan selama beberapa bulan, polisi akhirnya berhasil membuktikan kecurigaan mereka terhadap Mary berdasarkan pengakuan Norma. Persidangan pun digelar pada 17 Desember 1968. Ketika itu, kedua anak ini saling menyalahkan satu sama lain.

Norma mengungkap bahwa ia sempat memohon agar Mary berhenti menyakiti Howe. Sementara Mary berdalih ia hanya menyaksikan pembunuhan tersebut dan mengatakan bahwa seluruh rencana pembunuhan merupakan ide Norma. Namun setelah menjalani sidang yang cukup alot, Mary akhirnya mengakui seluruh tindakannya. Ketika ditanya apa motif melakukan dua pembunuhan tersebut, ia hanya menjawab: “semata-mata demi kepuasan dan kenikmatan.”

Mary akhirnya diputuskan bersalah dan dijebloskan ke penjara anak di Red Bank Community Home untuk menjalani hukuman 12 tahun bui. Ia dibebaskan pada 1980. Usianya 23 tahun ketika itu. Dan karena pembunuhan yang dilakukannya termasuk dalam kategori "di bawah umur", pihak pengadilan memberikan Mary identitas baru setelah bebas.

Siapa Mary Bell?

Mary Bell lahir dalam keluarga yang berperilaku seperti iblis. Bahkan sejak hari pertama ia menghirup oksigen di dunia, ibunya telah berucap: “Jauhkan benda ini dari saya!”

Betty McCrickett, nama ibu Mary, berprofesi sebagai prostitusi spesialis sadomasokis, seorang dominatriks BDSM (Bondage, Discipline/Domination, Sadism, Masochism). Ia seringkali pergi meninggalkan rumah untuk bekerja hingga ke Glasgow, Skotlandia. Ketika mengandung Mary, ia tidak tahu siapa bapak biologis anak tersebut.

Mary sempat bertanya kepada Betty apakah ia dihamili oleh ayah kandungnya sendiri. Betty tidak menyangkalnya, lalu berbisik kepada Mary: “Kamu adalah bibit setan.” Namun, sejak usianya bertambah, Mary percaya bahwa bapak biologisnya adalah Billy Bell. Ia seorang kriminal kambuhan yang menikahi Betty ketika Mary masih bayi.

Kebengisan Betty amat sulit diterima akal sehat siapapun. Ia seorang alkoholik ekstrem dengan kondisi emosional yang tidak stabil. Salah seorang kerabat dekat keluarga mereka bahkan memberi kesaksian: Betty beberapa kali mencoba membunuh Mary. Tercatat ada dua percobaan pembunuhan berdasarkan kesaksian tersebut. Pertama ketika Mary “terjatuh” dari jendela dan kedua, ketika Betty memberikan obat tidur kepada putrinya itu yang ia sebut sebagai “permen”.

Sadar ia selalu gagal membunuh Mary, Bety akhirnya memanfaatkan anaknya tersebut untuk menambah pemasukan. Ia menjual Mary kepada para kliennya yang pedofil, berkali-kali. Mary menyebut sejak usianya empat tahun, ia sudah dipaksa ibunya melakukan kegiatan seksual dengan laki-laki dewasa.

Dengan segala bentuk penganiayaan, baik secara psikis maupun fisik yang diterima Mary sejak kanak, ia disebut mengalami kerusakan prefrontal cortex: sebuah area krusial di dalam otak yang mengatur perencanaan perilaku kognitif, ekspresi kepribadian, serta pengambilan keputusan, termasuk cara memahami berperilaku sosial. Ini kerusakan umum yang jamak ditemui psikopat manapun di seluruh dunia.

Teman-teman Mary di sekolah sering melihat dirinya mencekik berbagai hewan yang ia tangkap. Tak hanya itu, Mary juga kerap menyakiti teman-temannya yang lain, juga dengan cara dicekik. Hal tersebut amat mungkin terjadi karena sejak kanak ia selalu melihat ibunya dicekik oleh kliennya ketika sedang melakukan pekerjaannya sebagai prostitusi sadomasokis, namun bisa jadi pula merupakan bentuk pelampiasan kemarahannya.

Ketika masa hukuman buinya usai, Mary masih diwajibkan untuk mengikuti rehabilitasi selama satu tahun di Askham Grange, sebuah penjara terbuka tempat orang-orang yang memiliki masalah seperti Mary disembuhkan. Mary tinggal di asrama di dekat Askham Grange dan diberikan pekerjaan untuk merakit peralatan listrik di rumah sakit di Remploy, Leeds. Pada masa-masa ini ia juga berkenalan dengan seorang laki-laki yang kelak menjadi pasangannya hingga sekarang.

Suatu hari, Mary diberikan cuti kerja. Ia memutuskan menggunakan cuti tersebut untuk menemui ibunya pertama kali sejak ia dibui. Mary menceritakan pertemuan emosional tersebut kepada beberapa teman dekatnya, termasuk bagaimana kikuknya ia hingga saban pagi setiap bangun, Mary selalu menumpuk spreinya di tempat tidur, seperti ketika ia masih menjadi tahanan.

Mary sesungguhnya tak pernah mau keluar dari penjara. Pada malam terakhir ia di sana, seorang temannya memberi kesaksian: “Mary merasa aman di dalam penjara. Ia tahu kapan lampu akan dimatikan dan dibangunkan pada pagi hari. Dia merasakan kesedihan luar biasa akibat berbagai penghianatan yang ia terima. Mary menyesali apa yang terjadi masa lalu, untuk teman-temannya, segala kehilangan dan kesia-siaan, hidupnya, semua yang pernah ia lakukan.”

Hingga kini, di usianya yang ke-61 tahun, Mary masih hidup bersama pasangannya yang tidak diketahui identitasnya. Dari pasangannya tersebut Mary juga memiliki putri, yang kini juga telah memberikannya seorang cucu. Mereka menamakannya “Z” sebagai upaya melindungi identitas bayi tersebut.

Infografik Anak Anak yang Membunuh

Infografik Anak Anak yang Membunuh

Kenapa Anak Kecil (Bisa) Membunuh?

Camilla Batmanghelidjh, direktur dari Kids Company, sebuah lembaga di London, tempat rehabilitasi anak-anak yang menjadi korban kekerasan, memberi penjelasan mengapa mereka dapat berperilaku keji.

"Sejak kasus Bell, kami telah belajar banyak tentang bagaimana sistem otak bereaksi terhadap pelecehan, namun hal ini belum dapat dipahami oleh sistem peradilan. Jika Anda mengalami situasi yang sangat buruk di masa kanak-kanak, prefrontal cortex Anda tidak berkembang dengan baik. Maka mustahil bagi anak-anak untuk tenang dan memikirkan situasi. Otak mereka belum berkembang seperti itu.

“Memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang wajib bertanggung jawab secara moral adalah keputusan buruk. Hal ini terkait dengan efek neurologis. Ketika reaksi kimia dalam otak terganggu akibat kekerasan dan perkosaan, (kekejian) anak-anak dapat menjadi bom waktu. Sebab mereka telah diajari untuk melihat dunia hanya melalui satu desain: Anda adalah korban atau pelaku kekerasan.”

“Pada awalnya mereka dilecehkan, dan pada titik tertentu, mereka bertekad untuk menjadi pelaku, karena dengan demikian mereka dapat memiliki kekuatan dan memegang kendali. Bagi mereka, dengan begitu hidup akan berubah menjadi lebih baik.”

Johan Harri dalam laporannya di Independent yang berjudul ‘The Child Who Kills Is The Child Who Never Had a Chance’, menuliskan pengalamannya ketika ia bertemu dengan anak-anak korban perang di Afrika.

“Saya ingat para tentara anak di Afrika Tengah yang menodongkan senjata ke wajah saya sambil menyeringai. Keluarga mereka dibantai dengan bayonet di hadapan mata kepala sendiri, dan mereka pula yang menguburkan mayat-mayatnya. Dalam peperangan Kongo, saya bertemu dengan bocah usia 11 dan 12 tahun yang melihat langsung bagaimana ibu dan saudara perempuan mereka dibunuh. Oleh milisi, anak-anak itu lantas dilatih pula sebagai pembunuh dan pemerkosa. Seperti Mary, mereka melakukan kekerasan untuk berganti peran: kali ini, mereka adalah pria dewasa.”

Ada banyak anak seperti Mary Bell: mendapati kekerasan, merasakan pelecehan, disia-siakan orang terdekat, lalu tidak tahu harus mengadu ke siapa dan berbuat apa agar lepas segala kutukan. Hingga kemudian mereka berubah jadi sosok yang menakutkan: meniru pelaku yang melukai mereka dulu. Penting untuk memahami dengan jelas kasus kekerasan pada anak.

Penting untuk memahami dengan jelas kasus kekerasan pada anak, termasuk tidak segera menghakimi segala bentuk kekejian mereka. Sebab, sebagaimana yang turut diingatkan Harri: “Anak-anak yang membunuh adalah bagian masalah kesehatan mental, bukan moralitas. Mereka adalah anak-anak yang kejiwaannya hancur, bukan setan.”

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti