Menuju konten utama

Kisah Mantan Serdadu Kolonial yang Menjadi Murid Haji Ahmad Dahlan

Komandan pertama gerakan kepanduan Hizbul Wathan adalah mantan anggota KNIL.

Kisah Mantan Serdadu Kolonial yang Menjadi Murid Haji Ahmad Dahlan
Ilustrasi KH Ahmad Dahlan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pendiri Muhammadiyah, Haji Ahmad Dahlan, adalah orang yang berpikir panjang dan terbuka terhadap banyak hal. Dia dikenal sebagai pemuka agama yang peduli pada perkembangan zaman, dan menghendaki orang Islam maju dalam peradaban modern. Maka itu, dia tidak ragu meniru model sekolah Barat dan menerapkannya dalam lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah. Dia salah satunya tertarik pada gerakan kepanduan yang dipelopori Lord Boden Powell.

Suatu hari pada tahun 1918, dalam sebuah perjalanan di Surakarta, seperti ditulis Yusuf Abdullah Puar dalam Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah (1989:257), Ahmad Dahlan lewat di depan istana Mangkunegara. Dia melihat gerakan kepanduan JPO Mangkunegaran yang tampil rapi dan disiplin. JPO singkatan dari Javansche Padvinders Organisatie (JPO), yang artinya Organisasi Pandu Jawa. Ahmad Dahlan ingin agar putra-putri Muhammadiyah juga bisa disiplin dan tangguh.

Sebagaimana disebut dalam buku 1 Abad Muhammadiyah (2010:43), pada tahun yang sama Ahmad Dahlan pun kemudian membuat kepanduan Muhammadiyah dengan dibantu Soemiardjo, Sarbini, Raden Haji Hadjid, dan lain-lainnya.

Mulanya, organ pandu itu bernama Padvinders Muhammadiyah. Namun pada 1920 Raden Haji Hadjid mengusulkan agar namanya diganti menjadi Hizbul Wathan. Kepengurusan awal Hizbul Wathan seperti dicatat Abdul Munir Mulkhan dalam Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah (2007:13) terdiri dari: Haji Muhtar sebagai ketua; Raden Haji Hadjid sebagai wakil ketua; Sekretaris Soemadirdja; Keuangan Abdul Hamid; urusan organisasi oleh Siradj Dahlan; dan urusan komando dipegang Damiri serta Sarbini.

Sarbini yang dimaksud bukan Mas Sarbini Martodiharjo (1914-1977), jenderal Angkatan Darat yang pernah menjadi ketua kwartir nasional dan menteri veteran, meski ia juga pernah aktif di pandu Hizbul Wathan.

Sarbini merupakan mantan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Menurut Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan (1985:146) dan Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammidayah (1998:263), Sarbini adalah pemuda yang "ditampung" oleh Haji Ahmad Dahlan setelah keluar dari dinas militer Hindia Belanda pada 1915. Ia kemudian menjadi murid Ahmad Dahlan dan diperbolehkan tinggal di suraunya.

Menerima Sarbini yang mantan serdadu KNIL sebagai murid menunjukkan bahwa Ahmad Dahlan terbuka bagi siapa saja. Berkat Muhammadiyah pula, mantan presiden daripada Soeharto punya ijazah SD setelah tamat dari Schakel School (sekolah sambungan) milik Muhammadiyah.

Selain Sarbini, mantan serdadu KNIL lainnya yang jadi murid Ahmad Dahan adalah Turki. Ia dikenal bertubuh besar, kekar, dan jago berkelahi, seperti umumnya serdadu KNIL yang didominasi para jago kampung yang suka bertarung. Jika Sarbini aktif di Hizbul Wathan, maka Turki lebih suka menjadi pendakwah yang pemberani.

Infografik Eks KNIL dan Hizbul Wathan

Infografik Eks KNIL dan Hizbul Wathan. tirto.id/Fuad

Serdadu kolonial KNIL adalah golongan agak rumit bagi kebanyakan masyarakat pribumi. Mereka seperti tercerabut dari akarnya dan tidak jarang dianggap sebagai musuh kaum Bumiputra, termasuk di Jawa. Golongan santri atau Islam, terutama kelas bawah, adalah golongan yang agak sulit untuk dekat Belanda, termasuk dengan anggota KNIL. Maka itu, Sarbini sebetulnya akan sulit diterima oleh masyarakat pribumi sebelum akhirnya Muhammadiyah lewat Ahmad Dahlan merangkulnya.

Pada tahun 1915, Sarbini barangkali terlihat seperti murid yang biasa-biasa saja. Namun, setelah 1918, ketika Ahmad Dahlan mendirikan kepanduan, ia memperlihatkan kemampuannya yang belum diajarkan Muhammadiyah, melainkan kemampuan ia dapatkan di KNIL. Menurut Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (1998), sebagai bekas anggota KNIL, Sarbini setidaknya bisa baris-berbaris, memukul genderang, berkemah, dan menunggang kuda.

“Semua kegiatan itu amat penting bagi perkembangan kepanduan Hizbul Wathan,” imbuhnya.

Maka Muhammadiyah pun sadar bahwa Sarbini punya potensi untuk mengembangkan gerakan kepanduan tersebut. Tidak heran jika ia kemudian dijadikan komandan pasukan pandu Hizbul Wathan pada awal pendiriannya.

Sarbini melatih para pemuda Muhammadiyah dengan keterampilan baris berbaris, memukul genderang, meniup terompet, dan menunggang kuda: sejumlah keterampilan yang juga diajarkan KNIL kepada pemuda-pemuda Indonesia dalam dosis yang berbeda.

Dalam sejarahnya, kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah pernah menjadi tempat belajar para pemuda yang belakangan menjadi pemimpin tentara seperti Sudirman dan Mas Sarbini Martodiharjo. Namun sayang, eksistensi Hizbul Wathan menurun ketika gerakan kepanduan diseragamkan menjadi Pramuka (Praja Muda Karana) sejak awal 1960-an.

Baca juga artikel terkait PRAMUKA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh