Menuju konten utama

Kisah Kudeta Lokal Supremasi Kulit Putih di AS Sebelum Trump

Kaum supremasi kulit putih tak suka menyaksikan kemajuan orang kulit hitam. Hasilnya? Kudeta.

Kisah Kudeta Lokal Supremasi Kulit Putih di AS Sebelum Trump
Sebuah bendera Amerika terbang di luar deretan toko kosong yang rusak akibat banjir Hurricane Matthew dua tahun lalu di Nichols, SC, Kamis, 13 September 2018. (Foto AP / David Goldman)

tirto.id - Menjelang akhir abad ke-19, orang Amerika keturunan Afrika di Kota Wilimington, North Carolina sempat mengecap kebebasan dan hak-hak sipil sebagai warga negara—kenikmatan yang tiada taranya bagi khalayak kulit hitam di kawasan Selatan. Namun demikian, pencapaian tersebut dinilai sebagai ancaman oleh kalangan pro-supremasi kulit putih, termasuk para politisi Demokrat dan elite bisnis. Mereka pun melancarkan berbagai kampanye rasis menjelang pemilu 1898 yang berujung pada kekerasan kolektif dan kudeta.

Pada 1868, North Carolina kembali bergabung dengan Union setelah memberontak selama Perang Saudara. Kala itu, pemerintahan baru North Carolina dikuasai oleh Partai Republikan di bawah pimpinan gubernur kulit putih, William Holden. Sedikitnya 30 legislator dalam administrasi Holden adalah orang kulit hitam, ditambah dengan seorang anggota kongres mantan budak.

Mereka sukses merajut jaring perlindungan hukum bagi orang Afrika-Amerika, termasuk meratifikasi Amandemen ke-15 yang melarang negara bagian untuk menolak hak pilih seorang warga hanya karena warna kulit atau masa lalunya sebagai budak. Perjuangan rezim Holden untuk mendorong kesetaraan politik bagi orang kulit hitam membuat Partai Republikan lokal menjadi lebih radikal. Akibatnya, panggilan ”Republikan Radikal” kerap disematkan kepada mereka.

Tak butuh waktu lama sampai pemerintahan Republikan ditentang, terutama oleh kelompok supremasi kulit putih Ku Klux Klan (KKK). Mereka dilaporkan suka berbondong-bondong keluyuran ke perkampungan warga lewat tengah malam dan memukuli orang kulit hitam. Sampai 1870, sedikitnya 5 orang kulit hitam dibunuh oleh KKK. Tak satu pelaku pun diadili.

Gubernur Holden meminta kerjasama tokoh-tokoh masyarakat untuk ikut mengawasi gerak-gerik. Miris, banyak tokoh masyarakat diam-diam menjadi anggota KKK atau setidaknya bersimpati. Holden pun menyatakan darurat militer di dua kabupaten (county) dan berhasil menahan 100 orang tersangka KKK. Langkah keras inilah yang kelak membuatnya dimakzulkan—pertama kali dalam sejarah kepemimpinan gubernur di Amerika—oleh elemen-elemen Konservatif di pemerintahannya. Merujuk pada studi (PDF) Lowell Young pada 1965, pemakzulan Holden oleh para politisi Konservatif terutama disebabkan oleh “serangan Republikan terhadap supremasi kulit putih”.

Sebenarnya, kubu Konservatif di North Carolina lebih tampak seperti koalisi, alih-alih partai. Pada 1876, barulah namanya berganti jadi Partai Demokrat seperti yang kita kenal sekarang. Dikutip dari tulisan Ronnie Faulkner di laman Encyclopedia of North Carolina, isu-isu yang diangkat dalam kampanye mereka berpusar pada “supremasi kulit putih, ekonomi di pemerintahan, dan perlawanan terhadap Konstitusi 1868” yang sudah diperjuangkan Republikan. Setelah memakzulkan Gubernur Holden pada 1871, kaum konservatif perlahan mulai berjaya.

Pemerintahan konservatif/Demokrat memangkas banyak anggaran belanja negara. Salah satunya berdampak pada keterbatasan fasilitas pendidikan, sampai-sampai University of North Carolina harus ditutup selama lima tahun. Pada 1875, mereka juga merevisi konstitusi demi mengurangi jumlah politisi Republikan dan orang kulit hitam yang bisa menjabat di pemerintahan. Selain itu, kebijakan partainya yang pro-bisnis membuat para Demokrat disokong kuat oleh elite pengusaha dari Selatan.

Tragedi Wilmington 1898

Pertengahan dekade 1890-an, kedudukan Partai Demokrat agak goyah akibat taktik perlawanan “politik Fusi”. Kala itu, petani-petani miskin kulit putih dari Partai Populis dan Republikan (yang didukung basis pemilih kulit hitamnya) bekerja sama untuk menantang para Demokrat yang rasis dan pro-elite bisnis. Pada pemilu 1894, koalisi Fusi ini sukses mengirim sejumlah perwakilannya, termasuk yang berkulit hitam, ke Kongres dan mengisi kursi-kursi jabatan negara bagian dan daerah.

Kemajuan terutama dirasakan oleh komunitas kulit hitam di kota pelabuhan Wilmington. Seorang anggota dari American Baptist Publication Society sampai menyebut Wilmington sebagai “kota paling merdeka” untuk orang kulit hitam di AS. Kelas menengah Wilmington mulai tumbuh dengan adanya dokter, pengacara, angkatan kepolisian, sampai anggota dewan, dan hakim pengadilan rendah.

Sayangnya, progres politik dan kemapanan mereka dirasakan sebagai ancaman bagi supremasis kulit putih Wilmington. Dari kacamata para politisi Demokrat dan elite bisnis, semakin banyak orang kulit hitam terpilih sebagai pemimpin, semakin besar peluang komunitasnya merebut lapangan kerja orang kulit putih.

Dalam buku berjudul Wilmington’s Lie: The Murderous Coup of 1898 and the Rise of White Supremacy (2020), pemenang Pulitzer David Zucchino mengulas secara detil bagaimana supremasi kulit putih berkomplot melawan para pemimpin kulit hitam, terlepas jumlah pejabat kulit hitam jauh lebih sedikit daripada politisi kulit putih.

Sejak musim semi 1898, politisi Demokrat Furnifold Simmons mulai menyusun pesan-pesan rasis yang kelak dipromosikan oleh kubu Demokrat sebagai “kampanye supremasi kulit putih”. Simmons merilis buklet 200 halaman berjudul Democratic Party Hand Book. Di dalamnya, ia berpesan bahwa negeri mereka dimiliki oleh orang kulit putih, sehingga “orang kulit putih harus mengontrol dan memerintah” (2020: 153).

Strategi kampanye Simmons didukung oleh Josephus Daniels, editor koran News and Observer. Ia ditugaskan menuturkan keburukan orang-orang kulit hitam di media untuk menggiring opini massa agar tidak memilih wakil rakyat dari kalangan keturunan Afrika. Pemberitaan Daniels terutama menyoroti 'kebuasan seksual' laki-laki kulit hitam terhadap perempuan kulit putih (2020: 159-161).

Pesan dari Daniels mulai menyebar luas. Sampai akhirnya, seorang perempuan yang kelak jadi senator Demokrat, Rebecca Felton, menyuarakan dukungan terhadap lynching—hukuman mati tanpa melalui proses pengadilan—pada pria kulit hitam. Tujuannya agar perempuan kulit putih terlindungi dari mereka.

Infografik Kudeta di Kota Wilmington

Infografik Kudeta di Kota Wilmington. tirto.id/Quita

Alexander Manly, seorang kulit hitam editor koran Daily Record di Wilmington, berusaha menangkal pemberitaan yang menjelek-jelekkan komunitasnya. Selama ini, korannya mewartakan berita-berita untuk kemajuan dan pemberdayaan orang kulit hitam. Sebagai respons terhadap gerakan lynching, Daily Record menyindir pria kulit putih agar melindungi perempuan mereka dengan baik, alih-alih menyalahkan atau menghukum pria kulit hitam (2020: 172-4). Daily Record juga memandang bahwa hubungan konsensual berbasis kasih sayang bisa terjalin antara perempuan kulit putih dan pria kulit hitam, tanpa dilabeli sebagai aksi kriminal.

Seperti disambar geledek, orang-orang kulit putih dikejutkan dengan “kelancangan” editorial Daily Record. Naskah tersebut sampai dicetak ulang oleh koran-koran lain supaya memicu emosi lebih banyak pembaca. Sementara itu, politisi demokrat Simmons merasa publikasi Manly justru memuluskan kampanye busuknya. Sampai menjelang hari pemilu pada bulan November, orang-orang kulit hitam terus menerima intimidasi supaya tidak menggunakan hak pilihnya. Sebagian diancam bakal dipecat dari pekerjaannya jika tetap mau memberikan suara.

Situasi semakin menegangkan dengan keterlibatan serdadu-serdadu sangar dari organisasi paramiliter seperti White Government Unions dan Red Shirts. Pada akhir Oktober, orator Demokrat kecintaan para supremasis, Kolonel Alfred Moore Waddell, menyuruh mereka untuk mengusir orang-orang kulit hitam yang datang ke bilik suara. “Apabila ada yang menolak pergi, bunuh dia! Tembak dia di situ juga!” seru Kolonel Waddell (2020: 290).

Kampanye dan intimidasi dari gerakan supremasi kulit putih terbukti sukses. Pada pemilu 8 November 1898, Partai Demokrat menang telak di tingkat federal, negara bagian, dan kabupaten. “White Declaration of Independence” segera diproklamasikan oleh warga Kota Wilmington dan kabupaten New Hanover. Isinya menyatakan bahwa mereka tak mau lagi “dipimpin” oleh orang kulit hitam. Mereka juga meminta koran Daily Record berhenti beroperasi dan mengusir editornya, Manly, dari komunitas mereka.

Belum puas dengan pencapaian tersebut, pada pagi hari

10 November, Kolonel Waddell bersama tokoh-tokoh sipremasi kulit putih lainnya menggiring militer dan seribu lebih perusuh menuju kantor Daily Record. Dalam waktu singkat, bangunan koran itu dihancurkan dan atapnya roboh dilahap kobaran api.

Aksi tersebut diteruskan ke Balai Kota. Silas Wright, wali kota kulit putih pilihan Partai Republikan, dipaksa mengundurkan diri bersama anggota dewan lainnya. Kolonel Waddell diangkat sebagai wali kota Wilmington dan menjabat sampai 1906.

Kebengisan para supremasis masih berlanjut dengan aksi penembakan terhadap orang-orang kulit hitam. Sebagaimana dideskripsikan dalam buku karya Zucchino, mayat-mayat orang kulit hitam dibiarkan terbaring di jalur rel kereta, dibuang ke sungai dan selokan (2020: 384-86). Dilansir dari situs History, sedikitnya 60 orang kulit hitam meninggal dalam tragedi tersebut.

Masih dikutip dari History, jumlah orang kulit hitam yang terdaftar sebagai pemilih suara di Wilmington menyusut dari awalnya 126 ribu menjadi 6 ribuan orang pada tahun 1902. Penyusutan tersebut tak lain merupakan dampak dari amandemen UU yang diloloskan oleh pemerintahan Demokrat di North Carolina 1900. Isinya melarang orang buta huruf memilih dalam pemilu. Otomatis, hak pilih mayoritas orang kulit hitam. Perlu campur tangan pemerintah federal, sampai akhirnya hak pilih itu kembali dipulihkan pada 1965.

Hingga 1972, tidak ada orang kulit hitam yang jadi pejabat di Kota Wilmington. Kemudian. Baru pada 1992, negara bagian North Carolina mengirimkan wakilnya yang berkulit hitam ke Kongres AS.

Baca juga artikel terkait POLITIK AS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf