Menuju konten utama

Kisah Kedekatan Wiranto dan Rizieq Shihab

Kedekatan Wiranto dan Rizieq Shihab diakui oleh keduanya.

Kisah Kedekatan Wiranto dan Rizieq Shihab
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (23/1). Habib Rizieq menjalani pemeriksaan selama empat jam sebagai saksi terkait dugaan kasus penghinaan rectoverso di lembaran uang baru dari Bank Indonesia, yang disebutnya mirip logo palu arit. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/17.

tirto.id - Kedatangan Rizieq Shihab ke rumah dinas Menkopolhukam Wiranto di Jalan Denpasar Raya C3/9, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017) sebenarnya bukan hal mengejutkan. Keduanya memang memiliki relasi yang bisa dilacak hingga nyaris dua dekade silam. Dan hal itu tidak disembunyikan oleh keduanya.

Di hadapan para wartawan, Wiranto mengaku telah mengenal dekat Rizieq Shihab sejak sebelum tahun 2000. Lebih dari sekadar kenal, keduanya mengaku pernah berjuang bersama menjaga negara saat reformasi terjadi.

“Saya kira waktu itu secara faktual kita bersama-sama ikut mengamankan negeri ini supaya tetap selamat menghadapi satu gelombang memburuknya ekonomi dunia disusul satu gerakan reformasi luar biasa,” ujar Wiranto di kediamannya, Kamis (9/2/2017).

Rizieq Shihab juga membenarkan bahwa keduanya adalah teman karib. Pertemuan dengan Wiranto, menurutnya, merupakan usaha untuk memperbaiki komunikasi yang putus sejak lama.

“Apa yang tadi disampaikan oleh Bapak Haji Wiranto itu sangat luar biasa dan itu merupakan hasil silaturahmi kami yang mana perlu saya tegaskan di sini, betul yang beliau katakan bahwa kami ini sudah bersahabat cukup lama. Selama ini kami saling membantu, berkomunikasi, berdiskusi, berdialog,” tutur Rizieq.

Wiranto dan Rizieq Shihab di Era Reformasi

Wiranto bukan satu-satunya pejabat negara di masa transisi era reformasi yang pernah mendukung dan membela Front Pembela Islam. Salah dua yang lain adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman. Keduanya disebut Robert W. Hefner, dalam artikel "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia", sebagai orang yang mendirikan FPI.

Meski dibantah, Hefner menunjukkan beberapa indikasi. Misalnya atas undangan Wiranto pada November 1999, FPI membantu melakukan mobilisasi masa hingga 100.000 orang yang disebut sebagai Pam Swakarsa untuk melindungi DPR dan pemerintah dari para demonstran yang menolak transisi dari Soeharto kepada Habibie.

Kivlan Zein, orang yang ada dalam gelombang yang sama dengan Rizieq Shihab selama beberapa bulan terakhir ini, secara terbuka pernah memberi kesaksian bahwa memang Wiranto yang membentuk PAM Swakarsa. Pada 2004, dalam atmosfer Pilpres 2004, Kivlan mengaku diperintahkan oleh Wiranto, yang saat itu menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, untuk menggalang massa pada Sidang Istimewa (SI) 1998.

Pada Juni 2000, FPI memprotes pemeriksaan terhadap Wiranto oleh Komnas HAM atas dugaan keterlibatan dalam pelanggaran HAM di kasus Mei 1998 dan kekerasan di Timor Leste. Saat itu FPI datang ke Kantor Komnas HAM untuk membela Wiranto. Mereka datang membawa pedang dan golok dan menuntut Komnas HAM dibubarkan karena lancang memeriksa sang Jenderal.

Peristiwa ini diabadikan dalam banyak surat kabar pada masanya. Juga bisa dilacak dalam beberapa buku, misalnya Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (hlm. 16), Genealogi Islam radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (hlm. 239), dan Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria (hlm. 74).

Bahkan Sri Bintang Pamungkas, yang belakangan menjadi sekutu kelompok Islam politik dalam isu anti-Ahok dan anti-Jokowi, terang-terangan menyerang aksi-aksi FPI ini. Serangan FPI kepada Komnas HAM yang memeriksa Wiranto juga dicatat dengan nada pedas oleh Sri Bintang dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara (hlm. 105-106).

Djaja Suparman menolak anggapan menggerakkan FPI. Namun ia tidak membantah adanya komunikasi dan relasi dengan FPI. Dalam memoar Jejak Kudeta (1997-2005): Catatan Harian Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman, ia menyatakan bahwa relasi itu dilakukan "[...] semata-mata hanya untuk kepentingan terwujudnya situasi dan keamanan yang kondusif." (hlm. 288)

Hubungan Wiranto dan FPI memang mengalami pasang surut. Dalam riset Robert Hefner, setelah tahun 2000, FPI sempat agak renggang dengan Wiranto tapi merapat ke Golkar dan kelompok konservatif militer untuk memainkan isu anti-komunis. Mereka menargetkan aktivis pro-demokrasi dan melabeli musuh-musuh mereka, yang kebanyakan mengadvokasi isu sosial, sebagai "komunis gaya baru." FPI bahkan menyerukan agar kelompok yang sejalan dengan mereka, seperti Gerakan pemuda Islam, untuk melakukan razia buku-buku Kiri pada akhir 2000.

Langgam serupa terus dilakukan oleh FPI hingga hari ini. Memainkan isu komunis dalam pecahan uang baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, misalnya, dengan lantang disuarakan langsung oleh Rizieq Shihab.

Infografik Front Pembela Islam

FPI dan Wiranto Hari Ini

Wiranto menyebut pertemuan dengan Rizieq Shihab di kediamannya sebagai memperbaiki komunikasi satu sama lain, juga untuk menjelaskan perihal aksi 112.

"Tadi saya mendapatkan penjelasan langsung dari Habib Rizieq dan teman-teman dari GNPF, bahwa sebenarnya yang dilakukan semata-mata adalah satu kesatuan umat Islam yang memiliki satu niat dan tekad untuk membantu negeri, membantu pemerintah, untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita nasional," kata Wiranto.

Dalam kesempatan itu Wiranto mengatakan FPI dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI ternyata punya visi untuk membantu pemerintah dan membangun negeri agar tetap aman. Ia menilai visi Rizieq dan sejawatnya sebagai kawan lama ternyata tidak berubah sehingga pemerintah perlu kembali merajut hubungan dengan ormas Islam tersebut. Dalam kesempatan itu Rizieq menegaskan GNPF-MUI maupun FPI punya komitmen kuat tentang kebangsaan dan kenegaraan. Mereka tetap bertekad utntuk menjaga konstitusi negara.

Rizieq menggunakan kesempatan itu untuk membantah tudingan yang memposisikan mereka sebagai kelompok anti-Pancasila dan anti-kebangsaan.

"Mudah-mudahan ke depan hubungan ini semakin baik, komunikasi ini juga bisa semakin baik, agar tidak terjadi misunderstanding. Tidak terjadi konflik yang bisa membahayakan daripada keamanan stabilitas politik kita punya negeri ini," tutur Rizieq.

Pernyataan Rizieq ini menarik untuk diuji. Dalam sejarahnya, FPI pernah melakukan demonstrasi di depan DPR untuk mengubah konstitusi negara. Pada 1 November 2001, FPI melakukan aksi saat pembukaan sidang tahunan DPR/MPR. Mereka menyampaikan lima tuntutan, tiga di antaranya mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, memasukkan kembali Syariat Islam dalam UUD 1945, dan membuat undang-undang anti-maksiat.

Hal serupa dilakukan kembali pada Agustus 2002 bersama 14 organisasi Islam lain seperti Front Hizbullah, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia. FPI menyampaikan petisi umat Islam tentang pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945.

Hubungan Wiranto dan FPI pernah ditulis sekilas oleh laporan Tirto sebelumnya (Lihat: "Aksi 112: Semula Pawai, Berubah Jadi Istigasah"). Dalam artikel itu, salah satunya, menggambarkan FPI mendukung pencalonan Wiranto dalam pemilihan presiden 2009, yang mendampingi Jusuf Kalla (kini wakil presiden). FPI mengeluarkan maklumat dukungan dengan menitipkan amanat yang berbau piagam Jakarta kepada pasangan tersebut, sebab mereka memberikan: “Jaminan kebebasan menjalankan ibadah dan syariat bagi tiap agama sesuai dengan ajaran masing-masing dan pelarangan segala bentuk penistaan dan penodaan terhadap agama apa pun."

Mengapa kelompok vigilante (main hakim sendiri) seperti FPI bisa berkembang dan memiliki cabang di hampir seluruh provinsi di Indonesia?

“Hingga sekarang FPI bisa terus hidup tak hanya karena toleransi dari aparat dan pemilihan sasaran pemerasannya, tapi juga lantaran masyarakat melihat tujuannya yang ingin melindungi moralitas, walaupun dengan cara-cara kekerasan,” tulis sebuah laporan yang menggambarkan dampak aturan diskriminatif terhadap minoritas keyakinan di Indonesia.

Baca juga artikel terkait RIZIEQ SHIHAB atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS