Menuju konten utama

Kisah Kaum Muda Minahasa Membangun IPPHOS & Mengabadikan Proklamasi

Selain Mendur Bersaudara, sejarah IPPHOS juga tak lepas dari Umbas Bersaudara. Mereka berempat berasal dari distrik yang sama di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara.

Kisah Kaum Muda Minahasa Membangun IPPHOS & Mengabadikan Proklamasi
Frans Mendur dan Alex Mendur di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56, tahun 1946. FOTO/IPPHOS, Indonesian Press Photo Service, Remastered Edition. Galeri Foto Jurnalistik Antara

tirto.id - Dua orang pemuda dengan tustel berdiri gagah di depan rumah berwarna putih, dekat sebuah tugu di Talikuran, Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Letaknya tidak jauh dari sebuah pertigaan. Itulah Tugu Pers Mendur, yang terinspirasi dari dua pemuda: Mendur bersaudara. Dua orang pemuda dengan tustel berdiri gagah di depan rumah berwarna putih, dekat sebuah tugu di Talikuran, Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Itulah Tugu Pers Mendur, yang terinspirasi dari dua pemuda: Mendur bersaudara.

Marga-marga di sekitar Danau Tondano memang banyak melahirkan jurnalis. Tak hanya Mendur, tapi juga F.D.J. Pangemanann (1870–1910). Mendur satu kampung dengan juru foto dan pendiri IPPHOS lainnya, di antaranya Umbas bersaudara.

Alexius Impurung Mendur tak berbeda dari bocah Minahasa kebanyakan. Pendidikan tertingginya adalah sekolah dasar, alias Volkschool (Sekolah Rakyat), di Kawangkoan. Di tengah-tengah kegiatan masa kecilnya membantu orang tua di ladang, dia belajar fotografi pada Anton Najoan. Tak hanya menjepret kamera untuk mengambil gambar, Alex juga belajar mengafdruk (cetak) foto. Tiga tahun kemudian, pada 1922, Alex yang masih 15 tahun itu merantau ke Jawa bersama Najoan. Dalam hitungan tahun, Alex pun jadi fotografer untuk sejumlah surat kabar, salah satunya Java Bode.

Selama bekerja di Java Bode, Alex sudah jadi mentor bagi Frans Sumarto Mendur, adik kandung yang enam tahun lebih muda darinya.

“Pada zaman Belanda juru potret dihargai. Mereka diberi semacam tanda atau press pending oleh polisi sehingga juru potret itu bisa bebas pergi kemana saja. Alex pernah mengabadikan suatu peristiwa yang lucu yaitu ketika seorang tentara Belanda akan memberi hormat dengan pedangnya, begitu pedangnya akan dicabut macet. Dia marah-marah kepada ajudannya, ternyata pedangnya karatan. Kejadian tersebut sempat diabadikan Alex,” tulis Wiwi dalam Alexius Impurung Mendur (1986:17). Selama bekerja di perusahaan pelayaran KPM, hidup Alex cukup sejahtera, bahkan bisa punya mobil.

Selain duo Mendur bersaudara itu, ada juga pemuda Kawangkoan lain yang tinggal di Jawa sebelum Perang Dunia II. Mereka adalah anak-anak Zeth Umbas. Yang paling terkenal adalah Ferdinand Frans Umbas—biasa dipanggil Nyong Umbas. Menurut Asia Who's Who (1958:248), Nyong Umbas lahir pada 25 Juli 1916. Belakangan dikenal sebagai pendiri Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan pegiat Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Dia pernah menjadi Menteri Muda Perekonomian era Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956–9 April 1957). Nyong Umbas punya abang bernama Justus Kopit Umbas yang lahir pada 1905.

Duo Umbas ini juga seperti Mendur bersaudara. Berbeda dari banyak pemuda Minahasa, Ambon, dan Jawa lainnya, mereka tak jadi serdadu KNIL. Dari Umbas bersaudara, Jus lebih dulu merantau ke Jawa. “Begitu dia berhasil dia pulang membawa adik-adiknya termasuk si bungsu Nyong Umbas,” aku Wendy Armunando Umbas, salah satu cucu Jus, kepada Tirto.

Sebagai orang berpendidikan lumayan di zaman kolonial, Jus Umbas dan saudara-saudaranya kerap berbahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Amat jarang mereka bicara dalam bahasa nenek moyang. Di Jawa, mereka tak hanya bekerja demi penghidupan yang lebih baik, tapi juga menemukan jodoh.

Justus menemukan jodohnya dalam pesta dansa muda-mudi, seorang siswi sekolah calon guru yang akan mengajar di Minahasa. “Saat berkenalan opa memperkenalkan diri dia bilang namanya Jus Karl Umbas... belakangan baru Oma tau nama tengahnya Kopit... dia malu sama nama tengahnya,” cerita Wendy Armunando Umbas kepada Tirto. Sementara itu, Alex Mendur menemukan Emma Agustina Wowor. Mereka menikah tahun 1929 di Jakarta.

Mengabadikan Proklamasi

Pada zaman pendudukan Jepang, Alex bekerja di kantor berita Domei. Di masa sulit itu, ia dan Adam Malik Batubara mencari penghasilan tambahan dengan bisnis jam dan kamera. Menurut majalah Pers Indonesia (1977:47), Alex dan Adam Malik berteman sejak zaman Jepang. Waktu itu, Alex menjadi Kepala Bagian Foto di Domei, sementara Adam Malik menjabat Kepala Bagian Berita Indonesia di kantor berita yang sama. Pada saat bersamaan, Frans Mendur bekerja di Jawa Shimbun Sha dan harian Asia Raja.

“Bung Adam dan saya bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Dia sebagai kepala bagian News Indonesia, saya mengepalai bagian foto. Kami sangat erat hubungannya, samasama hidup serba kurang,” aku Alex Mendur dalam buku 30 Th. Kemerdekaan R.I. 17-8-75: Mengungkapkan Kembali Semangat Perjuangan 1945(1975:191)

Alex mendapat info rencana proklamasi kemerdekaan dari Zahrudi, rekan kerjanya di Domei. Bersama adiknya, Frans Mendur, pada pagi 17 Agustus 1945, Alex berangkat ke Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, seraya menenteng kamera Leica. Mereka berdua berhasil memotret kejadian bersejarah itu.

Namun, Alex bernasib apes. Total 36 gambar yang dijepretnya disita militer Jepang. Untungnya, Frans berhasil menyembunyikan hasil jepretannya yang akhirnya dipublikasikan di koran Merdeka pada 19 Februari 1946.

Alex mengabadikan banyak peristiwa di awal-awal kemerdekaan. Tak sedikit wartawan asing, bahkan pemerintah Indonesia sendiri, yang meminta hasil jepretannya. Alex pun berpikir untuk mendirikan kantor berita foto.

Awalnya dia seorang diri. Lalu, bergabunglah Nyong Umbas, Frans Mendur, dan Justus Ubas untuk membantu Alex mewujudkan mimpinya sebagai penyalur foto-foto bersejarah Indonesia.

“Karena seringnya datang wartawan-wartawan asing seperti United Press, Frans Agency [Agence France-Presse], duta-duta lain dari Amerika Serikat seperti FBI, juga pemimpin bangsa Indonesia yang menginginkan foto perjuangan, maka kantor berita foto itu makin dikenal. Dan Wartawan asing itulah yang menyebut Indonesian Press Photo atau Indonesia Press, maka timbulah ide dari Frans Umbas untuk memberi nama Indonesia Press Photo Service atau IPPHOS,” tulis Wiwi.

Infografik IPPHOS

IPPHOS resmi berdiri pada 2 Oktober 1946 dengan nama NV IPPHOS Coy Ltd. Selain Duo Mendur dan Duo Umbas, ada juga Alex Mamusung yang terlibat mencuci foto di kamar gelap. Belakangan, mereka kedatangan personel baru seperti Melvin Jacob dan Aniem Abdul Rachman. Adik Justus dan Frans Umbas, Jan, juga bekerja di IPPHOS. Markas mereka semula terletak di bekas gedung Fermount & Cuipers di Jalan Molenvliet Oost (kini Jalan Hayam Wuruk) nomor 30, Jakarta.

“Kami waktu itu belum memikirkan apa-apa, seperti kedudukan, pembagian keuntungan dan sebagainya,” aku Alex Mendur dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia(1981:320). Hanya terpikir di kepala Alex “menyebarkan berita-berita perjuangan secara visual ke seluruh tanah air.”

Berbagai upaya mereka lakukan agar IPPHOS terus eksis dan, jika perlu, bisa menghidupi para karyawannya. IPPHOS pernah melakukan bisnis sampingan, misalnya menjadi importir film dan penyalur kertas. Secara bergantian para pendiri asal Kawangkoan itu memimpin IPPHOS yang tak selamanya berjalan mulus. IPPHOS pernah ditinggal Nyong Umbas yang jadi menteri pada era Sukarno.

Pada tahun 1960-an, para pendiri IPPHOS memasuki usia senja. Menurut berita dari Bulletin Djembatan Kawanua (1969), Justus meninggal pada 5 April 1969. Ia tak lagi menerima uang pensiun sejak 1965. Frans Mendur meninggal pada 24 April 1971 dalam kondisi tidak sejahtera, meski berjasa pada negara.

“Ia [Frans] kemudian memeluk agama Islam dan mengimbuhi namanya dengan nama Jawa, Sumarto,” catat buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981:320). Alex Mamusung, yang pernah lupa pakai masker sewaktu mencari foto lawas tahun 1947, mengalami sakit-sakitan di masa tuanya. Alex Mendur sendiri meninggal dunia pada 31 Desember 1984. Di antara para pemuda Kawangkoan itu, Nyong Umbas-lah yang terakhir menutup mata.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf