Menuju konten utama

Kisah Jane Grant, Feminis & Jurnalis Perempuan Pendiri New Yorker

“Saya pikir sepanjang hidup istri saya, dia sudah menjadi salah satu pembebas sejati bagi perempuan."

Kisah Jane Grant, Feminis & Jurnalis Perempuan Pendiri New Yorker
Jane Grant. FOTO/en.wikipedia.org

tirto.id -

Pada musim semi di tahun 1892, Sophronia Persis Cole Grant merasakan kontraksi tak tertahankan di perutnya. Tak lama kemudian, perempuan yang tinggal di Joplin, Missouri itu melahirkan seorang bayi perempuan yang dinamainya Jeannette Colle Grant.

Tak seorang pun tahu bahwa si bayi yang lahir pada 29 Mei itu kelak menjadi salah satu tokoh yang membuka jalan bagi perempuan untuk menjadi jurnalis.

Jane Grant tumbuh menjadi gadis yang menyukai pelbagai aktivitas maskulin seperti memanjat pohon, menunggang kuda, hingga bergulat. Keahlian-keahlian tersebut diperoleh Grant kecil dari para sepupunya.

Seperti kebanyakan orang tua di masa tersebut, Robert T. Grant, sang ayah, mendidik Jane Grant dengan nilai-nilai religius bahwa perempuan sudah seharusnya patuh pada laki-laki. Akibat pola didik ini, Grant kecil sempat merasakan bagaimana ia tak bisa memaksimalkan potensinya.

Pada usia 16 tahun, Grant memutuskan mencari pekerjaan di New York. Di kota itu, dia sempat melatih keterampilan olah vokalnya di bawah pengawasan penyanyi Swedia Augusta Renard.

Keluarganya berharap setelah setahun belajar di sana, dia akan kembali ke tempat asalnya dan menjadi guru olah vokal sebelum menikah. Keinginan ayah dan ibunya tak pernah terwujud karena Grant sudah menentukan pilihan untuk masa depannya.

Beverly G. Merrick dalam tulisannya yang berjudul Jane Grant, The New Yorker, and Ross:A Lucy Stoner Practices Her Own Style of Journalism turut menceritakan perjalanan Grant di bidang seni hingga mengantarnya ke meja jurnalis. Ia menulis, perkenalan Grant dengan aktris Grace Griswold kian membuka wawasannya dalam dunia seni.

Didorong keinginan untuk berkembang, Grant memutuskan bekerja di majalah Collier’s Weekly sebagai penjawab telepon sejak 1912 - 1914. Selama dua tahun bekerja di majalah tersebut, Grant semakin tertarik pada dunia jurnalistik.

Minatnya mulai terwujud manakala dirinya bertemu Florence Williams, teman sekamarnya yang bekerja sebagai sekretaris Redaktur Pelaksana New York Times Carr Van Anda. Dari perkenalan itu, Grant mendapat kesempatan menjadi juru steno dengan bayaran 10 dolar AS per minggu.

Mengawali Karier Sebagai Jurnalis dan Feminis

Dari juru steno, Grant beralih menjadi penulis surat kabar untuk hari Minggu. Richard Purdy menjadi mentor menulisnya sebelum dia resmi diangkat menjadi jurnalis perempuan pertama New York Times.

Menjadi satu-satunya jurnalis perempuan membuat Grant kerap mendapat perlakuan khusus. Staf laki-laki lebih suka mendatanginya di ruangannya ketimbang membiarkan Grant yang mendatangi mereka.

Ketika Amerika Serikat disibukkan dengan Perang Dunia I, Grant memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk menjadi staf Asosiasi Pemuda Kristen. Di sanalah dia bertemu Harold Ross, jurnalis Stars and Stripes yang kemudian menjadi suaminya.

Saat Perang Dunia I usai, sepasang kekasih ini memutuskan menikah di Manhattan dan Grant kembali menjadi jurnalis New York Times.

Sebagai jurnalis, Grant mengangkat isu-isu perempuan secara serius. Wawancaranya dengan Charlie Chaplin menjadi wawancara yang berkesan baginya. Ini lantaran sang komposer menyatakan dukungannya agar para perempuan semakin terlibat dalam urusan publik. Chaplin juga menganggap perampasan rokok yang marak terjadi pada masa itu tidak seharusnya dilakukan karena merokok adalah hak semua orang, termasuk perempuan.

Melalui The Lucy Stone League, perserikatan yang memperjuangkan status perempuan, Grant dikenal sebagai salah satu feminis yang lantang memperjuangkan hak perempuan untuk tidak menggunakan nama suami.

Bersama Ishbell Rose, Emma Bugbee, Martha Coman, Theodora Bean, Jane Dixon, Mary Margaret McBride, Winifred Van Duzer, dan Lillian Lauferty, dirinya juga mendirikan Klub Koran Perempuan New York pada Mei 1924. Klub inilah yang menjadi salah satu wadah bagi perempuan untuk mengembangkan keterampilan jurnalistik mereka.

Pada tahun 1925, keterampilan berbisnis Grant dan selera humor Ross menjadi perpaduan yang pas untuk mendirikan New Yorker. Dalam waktu lima tahun, majalah tersebut bermetamorfosis menjadi salah satu majalah berprestise di Amerika Serikat, tempat di mana kontributor-kontributor kelas dunia bergabung.

Sayangnya, kegemaran berjudi Ross kemudian menggoyahkan neraca keuangan New Yorker. Di mata para koleganya, Ross tidak lagi menjadi atasan yang menyenangkan. Hal inilah yang kemudian mendorong Grant dan Ross untuk bercerai.

Grant kembali ke New York Times sebagai penulis lepas hingga tahun 1972. Bersama suami keduanya, William B. Harris, dia masih terus berupaya mendorong perempuan mengambil peran besar dalam jurnalistik. Perjuangannya bersama Klub Koran Perempuan New York mulai terlihat saat Katharine Graham berhasil menduduki posisi sebagai pemimpin redaksi Washington Post.

Selain mendorong perempuan untuk aktif dalam dunia jurnalistik, Grant juga tetap terlibat dalam sejumlah kegiatan The Lucy Stone League. Sebelum meninggal akibat kanker pada 1972, Grant dan The Lucy Stone League aktif mengkampanyekan pentingnya pendidikan untuk perempuan. Untuk menunjukkan kepeduliannya, dia kemudian mendonasikan kumpulan tulisannya serta meminta The Lucy Stone League untuk membantu menyediakan beasiswa.

Sumbangsih Grant untuk gerakan feminisme tak berhenti di situ. Pada 1981, melalui Harris, Grant kembali mendonasikan kekayaannya sebesar 3,5 juta dolar AS serta kumpulan tulisannya untuk Pusat Studi Perempuan University of Oregon.

“Saya pikir sepanjang hidup istri saya, dia sudah menjadi salah satu pembebas sejati bagi perempuan,” kata Harris bangga.

Baca juga artikel terkait TOKOH PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Artika Sari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Artika Sari
Editor: Yulaika Ramadhani