Menuju konten utama

Kisah iPod, Produk Penanda Zaman yang Akhirnya Mati Juga

iPod disuntik mati. Produk ini hanya terjual 400 ribu unit di tahun pertama tapi perlahan digandrungi juga.

Kisah iPod, Produk Penanda Zaman yang Akhirnya Mati Juga
Ilustrasi Ipod. foto/Istockphoto

tirto.id - Josh Demmitt diseret ke penjara di Sheridan, Oregon, Amerika Serikat usai melakukan huru-hara di samping kampus Brigham Young University pada awal 2000-an. Pemuda berusia 19 tahun ini tak mengira di hari pertama dalam tahanan malah memperoleh sambutan hangat dari sesama napi. Ia diberi kopi, rokok, pelbagai saran untuk dapat menikmati makanan, serta--yang terpenting--sebuah radio AM/FM.

Radio tersebut adalah Sony SRF-39FP. Produk tersebut hanya dijual di penjara. Bahkan FP merupakan singkatan dari "Federal Prison".

SRF-39FP diizinkan dipakai di penjara karena dibuat dalam rupa yang unik. Cangkang radio transparan hingga sipir yakin benda ini tak akan bisa digunakan untuk menyembunyikan atau menyelundupkan benda-benda terlarang. Selain itu, penjara juga diuntungkan karena merekalah satu-satunya distributor tunggal produk ini. Sementara bagi Sony, meski harga jualnya murah, tetap saja berhasil menciptakan cukup keuntungan.

Radio ini, yang menyediakan musik dan kabar dari dunia luar, diyakini para tahanan dapat mendistraksi dari kesunyian jeruji besi sekaligus menciptakan ruang privat imajinatif. Manfaat ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Tiziano Bonini dalam "On and Off the Air: Radio-Listening Experiences in the San Vittore Prison" (Media, Culture & Society 2007).

Secara teknis, merujuk paparan Joshua Hunt di The New Yorker, SRF-39FP menggunakan teknologi premium untuk ukuran radio. Sony membenamkannya CXA1129N, suatu cip yang diyakini para antusias radio mampu menghasilkan suara lebih jernih dan dapat menerima gelombang lebih baik dibandingkan produk lain yang dijual di luar penjara--termasuk yang dibuat Sony sendiri.

Dengan modal satu unit baterai AA, seorang napi bisa mendengarkan musik selama 40 jam nonstop.

Atas segala keunggulannya ini, SRF-39FP bertransformasi menjadi cult, pujaan pencinta radio yang diburu. Namun, karena produk eksklusif penjara, SRF-39FP hanya dapat dibeli kalangan umum atas welas asih narapidana yang membawanya saat bebas. Masalahnya, dalam kultur penjara yang diimani para napi, pelbagai benda yang berhubungan dengan kehidupan mereka di balik jeruji besi dianggap membawa sial apabila dibawa pulang.

Alih-alih membawa pulang SRF-39FP, napi yang bebas umumnya mewariskannya kepada tahanan baru. Perangkat ini diharapkan membuat mental orang-orang seperti Demmitt lebih kuat dalam menjalani hukuman.

Tatkala akhirnya dibebaskan pada Mei 2007, Demmitt pun melakukan langkah serupa. Meskipun SRF-39FP berhasil memberikan kebebasan semu selama di dalam sel, ia tak berani melanggar pantangan ini.

Di dunia bebas, hanya dalam hitungan minggu, Demmitt berhasil memiliki pengganti SRF-39FP yang jauh lebih mutakhir; penyaji kebebasan semu untuk masyarakat umum. SRF-39FP versi dunia bebas itu adalah iPod buatan Apple.

iPod

Microsoft merilis Windows XP tak lama usai tragedi 9/11 dan didahului oleh versi beta yang tiba hampir setahun sebelumnya. Tak ingin penjualan versi termutakhir sistem operasi ini tergerus suasana muram Paman Sam, Bill Gates, sang penjaga gerbang House of Windows, mengadakan pesta makan malam bersama para jurnalis. Ia mencoba membuat para kuli tinta membuat ulasan positif agar produknya dapat merebut hati masyarakat.

Beruntunglah tak semua termakan buaian Gates. Salah satu orang yang tak mau reputasinya sebagai jurnalis tergadai adalah Steven Levy dari Newsweek, yang kelak menjadi salah satu pendiri Wired. Bahkan, tanpa diperkirakan sama sekali oleh Gates dan rombongan tim humas yang dibawanya, Levi membawa "oleh-oleh" khusus: iPod, produk ciptaan Apple--pesaing utama Microsoft--yang lahir beriringan dengan 9/11 serta Windows XP, persisnya pada Oktober 2001.

"Sudah pernah melihat ini?" tanya Levy kepada Gates, sebagaimana dikisahkan dalam memoarnya berjudul The Perfect Thing: How the iPod Shuffles Commerce, Culture, and Coolness (2016).

Levy menuturkan saat melihat benda itu "jiwa Gates seakan-akan terbang ke zona aneh." Ia terdiam beberapa menit dan kemudian memperhatikan iPod tersebut secara saksama. Gates kemudian buka suara dengan tempo pelan, seolah menerima kabar buruk bahwa iPod "terlihat sebagai produk hebat."

Jawaban Gates membuat Levy kaget karena biasanya ia merespons produk pesaing dengan dengan nada skeptis. "Produk sampah apaan, nih?" misalnya.

Kembali termenung sesaat, Gates melanjutkan komentarnya dengan pertanyaan: "Ini cuma bisa dipakai di Macintosh?" "Ya, hanya untuk Macintosh," jawab Levy.

Jawaban tersebut harus ia koreksi beberapa tahun kemudian. Suatu koreksi yang, uniknya, menentukan hidup-mati iPod.

Produk yang membuat Gates termenung sesaat tersebut merupakan pemutar musik digital yang dapat menampung lebih dari 1.000 lagu, berwarna putih, berukuran saku, dan berat 180 gram. Bentuk yang sedemikian kecil berhasil diciptakan Apple karena sebelumnya Toshiba sukses merancang hard-drive berukuran 1,8 inci.

User interface (UI) iPod terbilang revolusioner. Ia memanfaatkan roda putar (click wheel) untuk menavigasi pelbagai menu serta "shuffle" untuk mendelegasikan pemilihan lagu yang hendak didengar.

Bukan hanya itu, iPod pun tiba dengan konsep baru lain: jual-beli musik secara legal; 0,99 sen untuk setiap lagu yang dikehendaki. Disebut baru karena saat itu dunia tengah dibanjiri lagu bajakan karena kehadiran Napster.

Jutaan lagu dari pelbagai label dapat dibeli melalui iTunes untuk kemudian tersinkronisasi secara otomatis pada iPod. Saat itu iTunes hanya bisa digunakan di Macintosh. Mutualisme ini membuat iPod (dan iTunes) diyakini hanya sebagai produk akal-akalan semata, dianggap dirilis hanya untuk menggenjot penjualan lini komputer Mac yang kala itu kalah bersaing dengan PC (Windows).

Fred Vogelstein dalam Dogfight: How Apple and Google Went To War and Started a Revolution (2013) serta The One Device: The Secret History of the iPhone (2017) garapan Brian Merchant memaparkan, meskipun tak menampik tudingan tersebut, Steve Jobs juga mengatakan iPod dibuat untuk menjadikan Apple seperti Sony. Dan itu tak mengherankan mengingat Sony adalah perusahaan pujaan Jobs dan ia pun sangat menggilai Walkman.

Walkman, menurut pendiri Sony, "bagaikan obat-obatan terlarang. Di mana, tatkala Walkman dimainkan, seketika penggunanya terkurung (dalam konotasi menyenangkan) dalam dunia semu miliknya sendiri."

Karena keagungan Walkman tersebut, serta "semua orang cinta musik,"--klaim dari Jon Rubinstein, tangan kanan Jobs di bidang teknis--bukanlah suatu keanehan bagi Apple, Jobs, dan siapa pun untuk membuat alat pemutar musik. "Kamu tidak perlu melakukan riset pasar apa pun apabila hendak merilis alat pemutar musik," tegas Rubinstein.

Namun harapan yang menjulang tinggi tersebut ternyata tak sesuai dengan angka penjualan. Di tahun pertama, iPod hanya terjual 400 ribu unit, jumlah yang memalukan bagi produk yang dibanderol seharga 399 dolar AS. Penjualan iPod yang buruk membuat saham serta keuangan Apple terjun bebas tak keruan.

Infografik Ipod

Infografik Ipod. tirto.id/Sabit

Hancurnya penjualan terjadi karena iTunes, satu-satunya aplikasi (dalam bahasa Apple) atau software (dalam bahasa Microsoft) yang dapat mentransfer lagu/musik ke dalam iPod, hanya tersedia untuk sistem operasi Mac, Macintosh. Padahal, di dekade 2000-an itu, komputer berbasis Windows (PC) lah jawaranya. Ia digunakan hampir 90 persen masyarakat dunia pemilik komputer.

Awalnya, karena tak mau Microsoft kebagian berkah atas kehadiran iPod, Jobs tak memberi izin iTunes "diterjemahkan" untuk Windows. Namun, karena tak memperoleh hasil penjualan berarti selama hampir dua tahun pertama, Jobs kemudian memberi lampu hijau menerjemahkan iTunes untuk Windows pada April 2003.

Strategi ini terbukti berhasil. Berselang bulan sejak iTunes versi Windows tersedia, penjualan iPod akhirnya melonjak hingga membuatnya mendapat predikat "produk penanda zaman". Produk yang dipilih Josh Demmitt untuk menemaninya beraktivitas di dunia bebas guna menggantikan Sony SRF-39FP yang ditinggalkan di penjara.

Tapi tidak ada yang kekal di dunia ini. Beberapa waktu lalu, setelah hampir 21 tahun beredar di pasaran, Apple resmi mematikan iPod karena kian menjamurnya anak kandung iPod, iPhone, serta miliaran "tiruannya", Android.

Selamat jalan, iPod!

Baca juga artikel terkait IPOD atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino