Menuju konten utama

Kisah Hidup Hadely Hasibuan, si Calon Menteri Penurunan Harga

Pada 1966, Hadely Hasibuan menerima tantangan Sukarno untuk menurunkan harga. Rekomendasinya ditolak lantaran tak sejalan dengan haluan politik Bung Besar.

Kisah Hidup Hadely Hasibuan, si Calon Menteri Penurunan Harga
Header Hadely Hasibuan. tirto.id/Fuad

tirto.id - Mata Johannes Leimena terbelalak saat baru membaca setengah dari tiga lembar kertas yang diserahkan kepadanya. Kertas itu berisi garis besar pemulihan ekonomi Indonesia yang morat-marit sejak empat bulan terakhir 1965. Leimena—saat itu menjabat Wakil Perdana Menteri II Kabinet Dwikora I—tak habis pikir dan berseru, “Ini konsep gila!”

Dalam konsep itu terbaca: rekomendasi pemulihan ekonomi bagi Indonesia antara lain dengan menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB, memangkas jumlah menteri, hingga membuka keran investasi asing. Pendek kata, rekomendasi itu bertolak belakang dengan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan Sukarno sejak 1959.

“Konsep seperti ini gila, tidak masuk akal, dan ini menjurus kontrarevolusi. Dengan konsep ini, Saudara pasti dijebloskan ke penjara. Di sini, Saudara menganjurkan Bung Karno membubarkan PKI. Itu tidak mungkin!” Kata Leimena.

Sang konseptor yang duduk berhadapan dengan Leimena berusaha menjaga pembawaannya tetap tenang dan mantap.

“Pak Leimena, saya bukan ahli politik, hanya ahli hukum. Sebagai ahli hukum, saya berkeyakinan, saya tidak mungkin dituduh melakukan subversi, sebab dalam konsep itu jelas dinyatakan bahwa konsep itu hanya akan dijalankan bila Bung Karno menyetujui dan aktif memimpin pelaksanaannya,” jawab sang konseptor yang ternyata seorang pengacara berpengalaman.

Leimena tak dapat menerima jawaban itu. Dengan sopan, diserahkannya kembali kertas rekomendasi itu seraya menggeleng, “Ide saudara ini tidak masuk akal. Ide yang gila. Tidak mungkin Bung Karno menerimanya. Saya merasa kasihan pada Saudara. Saudara masih muda dan masih punya hari depan yang cerah. Sayang, konsep saudara itu gila....”

Konseptor ekonomi serba dadakan itu hanya tertawa kecil dan segera meminta diri. Dia gagal mengajukan rekomendasinya dan bahkan tak bisa bertatap muka dengan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Namun, setidaknya dia menunjukkan keberanian: menjawab tantangan Bung Karno.

Hadely Hasibuan, demikianlah nama sang konseptor ekonomi yang “gila” itu. Dia dikenal sebagai advokat profesional sekaligus pemimpin majalah hiburan Varia.

Dalam beberapa minggu, namanya kontan melejit. Di kalangan demonstran yang telah berhari-hari menuntut penurunan harga bahan pokok, dia dijuluki Abu Nawas—tamsil seorang yang cerdik, jenaka, dan tidak gentar ketika meladeni tantangan “Raja Harun Al-Rasyid” dalam hikayat 1001 malam. Mereka bahkan menciptakan lagu khusus untuk sang konseptor yang berani itu.

Lirik lagu itu hanya lima baris panjangnya dan sering dinyanyikan mahasiswa saat berdemonstrasi untuk membangkitkan semangat:

Dalam Berita Yudha tersebut kisah

Hasibuan namanya menghadap Raja

Tiga bulan lamanya turunkan harga

Jika tak berhasil penggal kepala

Hasibuuaann.... Hasibuuaan....

Demonstrasi Mahasiswa 1966

Cerita tentang aksi Hadely Hasibuan tak bisa dilepas dari konteks politik 1965-1966. Sehebat-hebatnya citra dan kekuatan politiknya, Sukarno tetap gagal mengelola krisis. Itu terlihat pada bulan-bulan usai meletusnya G30S 1965. Sukarno terlalu memandang enteng persoalan dengan pernyataannya bahwa peristiwa itu laiknya “Een rimpeltje in de oceaan”—riak-riak kecil di tengah lautan.

Sukarno bisa beralasan itulah caranya menenangkan rakyat dan menunjukkan dirinya masih mampu pegang kendali. Namun, desas-desus liar soal G30S terlanjur merebak di mana-mana.

Masyarakat jelas gelisah, tapi Sukarno tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah ini. Ditambah lagi, seperti diungkap Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008), keadaan sosial-ekonomi negara sedang terguncang akibat konfrontasi dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat.

Kekacauan politik yang demikian berlarut-larut itu jadi makin runyam lagi karena pemerintah tiba-tiba menerbitkan kebijakan menaikkan harga. Harga sembako meroket hingga 300 sampai 500 persen.

Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang,” tulis Soe Hok Gie dalam bunga rampai esai Zaman Peralihan (2005, hlm. 4).

Muak dengan ketidakbecusan rezim mengelola krisis, para mahasiswa lantas menggalang demonstrasi pada awal Januari 1966. Demonstrasi itu datang dalam beberapa gelombang hingga mencapai puncaknya pada 12 Januari 1966. Ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga dan mendesak pemerintah agar meninjau kembali aturan baru terkait ekonomi yang justru menimbulkan dampak buruk bagi rakyat.

Beberapa elemen gerakan mahasiswa yang turut serta dalam demonstrasi itu antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.

Dalam setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan: bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Kini buku sejarah mencatat namanya sebagai Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat.

Namun, pemerintah bergeming dan berdalih butuh waktu untuk memenuhi tuntutan itu, terutama soal penurunan harga kebutuhan pokok.

Lalu, pada 15 Januari, di Istana Bogor yang tengah dikepung massa, Sukarno melayangkan tantangan kepada para mahasiswa.

Tantangan tersebut, sebagaimana dikenang Yozar Anwar di dalam pengantar memoar Hadely Hasibuan Pengalamanku sebagai Calon Menteri Penurunan Harga (1985) disampaikan oleh Bung Karno dengan perasaan naik pitam, “Siapa yang sanggup menurunkan harga yang dihebohkan kini, ia akan segera diangkat sebagai menteri. Apabila dalam tempo 3 bulan, yakni sampai 15 April 1966, keadaan ekonomi bertambah buruk, ia akan ditembak mati. Apabila keadaan sama saja, ia akan saya masukkan dalam penjara selama 10 tahun!”

Menerima Tantangan Sukarno

Saat itulah, Hadely Hasibuan muncul untuk menjawab tantangan Sukarno. Hadely mengaku mendengar sendiri pidato itu dari televisi. Pikiran yang pertama kali terlintas di benaknya adalah, “Apa susahnya?”

Dia pun segera menulis surat untuk Bung Karno dan dia antarkan sendiri ke Istana Negara.

“Setelah menyerahkan surat itu di Istana Negara, saya pulang dengan perasaan tidak menentu,” kenang Hasibuan terus-terang (1985, hlm. 22).

Dia tidak yakin apakah surat itu akan sampai atau dibalas. Keraguannya baru terjawab beberapa hari kemudian kala Sekretariat Negara menelepon dan memintanya menghadap Leimena, siang hari, 2 Februari 1966. Namun, ada satu masalah.

“Ilmu ekonomi ialah salah satu ilmu yang tak menarik perhatian saya dari dulu sampai sekarang. Dan sekarang saya harus menyusun konsep mengenai usaha perbaikan ekonomi negara dalam tempo 3 bulan!” tutur Hadely dalam memoarnya.

Hadely tak bisa mundur lagi sekarang. Maka dia pun menghubungi semua kawannya untuk meminta bantuan. Namun, tak ada satu pun yang bisa memberi jawaban pasti dan mendalam. Satu-satunya jalan, dia mencoba bikin rencana sendiri dan meminta penilaian dari orang yang dianggapnya memahami ekonomi Indonesia sampai ke akar-akarnya: Mohammad Hatta.

Hadely menemui Hatta langsung di kediamannya dua hari sebelum jadwal pertemuan dengan Leimena. Hatta pun menerima baik konsep bikinan Hadely dan menyatakan gembira atas gagasannya itu. Hatta, yang diharapkan dapat memberi masukan teoretis bagi saran-sarannya, justru mencurahkan keprihatinannya kepada Hadely—terutama soal kemerosotan ekonomi dan moral serta kenaikan harga-harga yang mencekik rakyat.

Pesan Hatta sebelum Hadely pulang hanya satu: jangan sampai konsep itu macet di Leimena. Jika memungkinkan, ia harus sampai pada Bung Karno sendiri. Seribu sayang, yang terjadi selanjutnya adalah debat antara Hadely dan Leimena sebagaimana telah diceritakan di awal naskah ini. Pesan Hatta pun tidak kesampaian, karena Leimena menolak mentah-mentah semua konsep yang disusun Hadely.

Meski begitu, berita terkait pertemuan dan konsep ekonomi bikinan Hadely jadi sensasi di berbagai surat kabar. Hadely pun jadi selebritas dalam sesaat.

Meski konsepnya ditolak, Hadely segera kebanjiran undangan ceramah di berbagai forum, mulai dari seminar di Universitas Padjadjaran sampai pertemuan para ulama di Malang. Tidak terkira pujian yang diterima Hadely secara langsung maupun melalui surat-menyurat dan telepon. Bahkan, dia kemudian diangkat jadi Ketua Umum Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia (KAPNI).

Tidak ada penugasan resmi yang dia terima, selain menghadiri berbagai rapat dan memberi pendapat yang diakuinya bermanfaat lebih banyak dalam menambah relasi dan kenalan.

Di luar kegiatan barunya itu, Hadely tetap menjalankan tugas profesionalnya sebagai advokat dan pemimpin umum majalah Varia sampai bangkrut pada 1976. Setelah itu, nama Hadely pun segera surut dari ingatan orang.

Karenanya, Yozar Anwar menamsilkannya sebagai koboi dalam film—jagoan yang muncul saat terjadi krisis dan pulang saat masalah selesai. Meski Hadely sendiri membencinya, sejarah akan tetap mencatatnya sebagai si Abu Nawas di tengah gelombang demonstrasi Tritura 1966.

Bermula sebagai Wartawan

Siapa sebenarnya Hadely Hasibuan? Seperti sudah disebut, dia sejatinya bukan ekonom atau sarjana ekonomi. Dia adalah seorang advokat profesional yang ikut menjadi pemimpin umum majalah hiburan Varia yang mempunyai oplah cukup besar pada 1960-an. Lain itu, Hasibuan adalah seorang autodidak dengan pengalaman kerja panjang, mulai dari wartawan hingga tokoh politik terkemuka di era revolusi.

Hasibuan lahir di Arnhemia, kota kecil berjarak sekitar 20 kilometer dari Medan, pada 20 Januari 1920. Sejak 1945, kota kelahirannya itu berganti nama jadi Pancur Batu dan kini menjadi salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Hadely merupakan anak ketiga dari Berani Hasibuan, kepala sekolah dasar yang dipanggil Guru Berani oleh penduduk setempat. Seturut pengakuannya dalam Hadely Hasibuan: Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga (1995), Hadely menghabiskan masa kecilnya di lingkungan perkebunan tembakau, di antara keluarga elite Eropa dan pegawai perkebunan bumiputra.

Usai lulus Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hadely gagal melanjutkan sekolah ke Jawa karena kondisi krisis yang melanda Hindia Belanda. Tak mau berlama-lama menyesali keadaan, Hadely berusaha mencari kerja ke Medan. Dia ingin meniti karier sebagai wartawan.

Semula, Hadely bergabung menjadi redaktur majalah bulanan Doenia Baroe yang didirikan oleh jurnalis kawakan Hasan Nul Arifin dan Andjar Asmara.

Hadely sangat bangga dengan pekerjaannya. Namun sayang sekali, Doenia Baroe tidak berumur panjang. Hasan Nul Arifin boleh saja terkenal sebagai wartawan genial, tapi perjudian membuatnya tersungkur. Dia sampai menyelewengkan uang perusahaan hingga Doenia Baroe gulung tikar.

Mujur, Hadely sudah cukup memupuk reputasi sehingga dapat segera pindah perahu ke koran Pewarta Deli yang dipimpin wartawan senior Adinegoro. Kebetulan, kualifikasi bahasa Belanda yang dimiliki Hadely cocok dengan tuntutan harian Pewarta Deli.

“Dia [Adinegoro] lebih senang menerima wartawan baru yang bahasa Belanda-nya perfect daripada wartawan yang bahasa Belanda-nya serampangan,” terang Hasibuan.

Di era pendudukan Jepang, Pewarta Deli berubah nama menjadi Sumatra Shinbun. Sehari-hari, Hadely bertugas “jaga kantor” dengan menyusun berita-berita mengenai Perang Asia Timur Raya menurut siaran Jepang, dan sekali-sekali meliput sidang-sidang pengadilan dan rapat-rapat instansi resmi.

“Tapi pada umumnya, saya setiap hari dapat menyediakan cukup waktu untuk membaca santai isi buku-buku perpustakaan Adinegoro yang jumlahnya lebih dari 2.000 judul itu,” tukas Hasibuan (1995, hlm. 56).

Nama Hadely mulai dikenal luas publik Sumatra di masa awal kemerdekaan. Pasalnya, dia ditunjuk menjadi utusan resmi untuk menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatra. Hadely kemudian berkitar di kota-kota penting Sumatra, dimulai dari Tarutung, Bukittinggi, Sibolga, Deli, hingga kembali ke Medan.

Dari daerah satu ke daerah lain, ia mengumandangkan naskah proklamasi yang dia ketik ulang, berikut daftar susunan kabinet, instruksi pendirian Komite Nasional Indonesia, nama-nama gubernur, hingga pernyataan Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal.

Tak lama sesudah “tugas negara” itu rampung, Hadely memperoleh pekerjaan baru sebagai wakil pemimpin redaksi harian Berdjoang yang diakuinya sebagai “harian paling kiri dan paling radikal revolusioner di seluruh Sumatra Utara pada masa itu.”

Melalui pemberitaannya yang provokatif dan prorepublik, Berdjoang ditengarai sebagai katalis pecahnya Revolusi Sosial Sumatra Timur antara akhir 1945 hingga awal 1946. Hadely terus-terang mengakuinya, meski dia memberi catatan bahwa tugasnya ketika itu hanya menerima dan meneruskan tulisan yang persklaar ke percetakan. Seluruh isi berita Berdjoang diatur oleh Usman Effendi, pemimpin umum harian itu.

Di masa revolusi itu, Hadely pertama kali mencicipi peran sebagai orang politik. Meski awalnya enggan, dia sempat menerima penunjukan sebagai Ketua Partai Sosialis Cabang Sumatra Timur sekaligus Wakil Partai Sosialis di KNI Daerah Sumatra Timur.

Hadely hanya seminggu saja jadi senator daerah karena kemudian ditunjuk jadi anggota baru KNIP oleh pemerintah pusat.

Tidak selamanya jalan politik Hadely mulus dan lancar-lancar saja. Sebagai eksponen Partai Sosialis, Hadely secara pribadi mengaku pro-Sjahrir. Kali lain, pendiriannya ditantang ketika Tapanuli terjebak pilihan bertahan sebagai bagian Republik Indonesia pimpinan Sukarno-Hatta atau turut menjadi negara federal bentukan Belanda.

Terkait hal itu, Hadely mengetengahkan ide jalan tengah yang tidak umum yang dikenal dengan jargon “100 persen Republiken dan 100 persen Federalis”.

“Saya 100% federalis karena ia adalah ‘negara republik’ dan bukan ‘monarki’. Pun saya adalah 100% republiken karena menghendaki ‘negara rakyat’,” terangnya.

Tak ayal, pilihan yang tak lazim ini membuatnya dicemooh dalam surat kabar yang memelesetkan nama Hadely menjadi halode (alias “keledai”).

Infografik Hadely Hasibuan

Infografik Hadely Hasibuan. tirto.id/Fuad

Jadi Advokat

Sesudah Pengakuan Kedaulatan, Hadely mengadu nasib ke Jakarta. Berkat bantuan istri kawan lamanya, Hadely beroleh pekerjaan sebagai konsultan politik di koran Preanger Bode. Namun, sementara itu bukan berkantor di Jakarta, melainkan di Bandung.

Tentu saja, Hadely mengarahkan agar harian berbahasa Belanda itu menjadi proponen pemerintah Indonesia. Pilihan strategis itu terbukti jitu karena Preanger Bode kemudian dikenal sebagai koran yang bersahabat dengan pemerintah.

Masa-masa tinggal di Bandung ini dikenang Hadely sebagai masa terindah dalam hidupnya. Dia punya pekerjaan dengan fasilitas lengkap dan mewah, punya banyak relasi, dan—yang paling penting—dia punya kesempatan meneruskan pendidikan tinggi.

Di Kota Kembang, Hadely berhasil memperoleh ijazah sarjana hukum lewat proses colloquium doctum dari Universitas Merdeka. Dia kemudian melengkapinya dengan ikut ujian tambahan di Universitas Padjadjaran pada 1958 sehingga berhak menyandang titel Meester in de Rechten. Sejak itu, dia punya segala syarat untuk berpraktik sebagai advokat.

Usai lima tahun mukim di Bandung, Hadely dimutasi ke harian Java Bode yang berkantor di Jakarta. Hadely tak lama bekerja untuk Java Bode karena pada 1956, dia berpindah ke surat kabar Nieuwsgier sebagai Wakil Pemimpin Redaksi.

Dua tahun berikutnya—menyusul repatriasi orang-orang Belanda di Indonesia dan aksi penghentian semua penerbitan bahasa Belanda di Indonesia, Hadely menerima tawaran Andjar Asmara untuk menjadi Pemimpin Umum Varia.

Varia merupakan bagian dari PT Pers Dagang dan Pertjetakan Keng Po yang pernah menerbitkan harian bercorak sosialis Keng Po dan mingguan Star Weekly. Saat Star Weekly dibredel pada 1961, Varia selamat dan oplahnya justru terus menanjak.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi