Menuju konten utama

Kisah Hendrik Pomantow Terapung Berhari-hari di Lautan Pasifik

Pengalaman menegangkan Aldi Adilang yang hanyut di Samudera Pasifik selama 49 hari, mengingatkan cerita terapung di lautan yang pernah ada, termasuk kisah Hendrik Pomantow.

Kisah Hendrik Pomantow Terapung Berhari-hari di Lautan Pasifik
Hendrik Pomantow. FOTO/Traceofwar.com

tirto.id - Ini bukan kisah Louis Zamperini mantan atlet olimpiade AS yang jadi tentara lalu mengalami kesialan saat pesawatnya jatuh di lautan dan terapung 47 hari ditemani hiu-hiu lapar dalam film Unbroken. Juga bukan kisah film USS Indianapolis, yang berkisah para tentara AS nahas terombang-ambing empat hari di lautan karena kapalnya diterpedo Jepang setelah membawa bom atom.

Ini adalah kisah Hendrik Pomantow yang pernah hanyut di lautan Pasifik berhari-hari tepatnya di wilayah Negara Palau untuk sebuah misi pelarian. Babeldaop adalah pulau terbesar di Palau. Di masa Perang Pasifik (Perang Dunia II di Pasifik), kawasan ini termasuk yang dikuasai oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Di Babeldaop, tak hanya ada tangsi militer Jepang beserta gudang-gudang perbekalan militer Jepang, tapi juga kamp tawanan militer dengan penjagaan yang ketat.

Gambaran umum kondisi kamp tawanan Jepang cukuplah mengerikan. Para tawanan tak hanya kurang makan, tapi para penjaganya juga kejam. Mereka yang menjadi tawanan perang di kamp Babeldaop adalah orang-orang yang bekerja kepada negara-negara yang menjadi musuh Jepang. Bisa tentara atau pelaut yang mengabdi kepada Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Australia dan lainnya.

Negara Palau, tidak jauh dari Papua, yang di masa sebelum Perang Pasifik terbelah menjadi dua koloni. Wilayah Barat dikuasai oleh Belanda dan timur menjadi mandat dari Australia. Di antara tawanan yang bekerja kepada Belanda itu, tentunya terdapat orang-orang Indonesia. Satu di antara mereka adalah: Hendrik Pomantow. Dari nama belakangnya, ia berdarah Minahasa (Manado).

Hendrik Pomantow tak lahir di kampung nenek moyangnya, Sulawesi Utara. Pomantow, dalam bahasa di Sulawesi Utara, diartikan sebagai pembawa kabar.

Hendrik Pomantow lahir pada 1 November 1919 di Rantepao. Salah satu kota penting di dataran tinggi Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Orang Manado yang berada di Tana Toraja di awal-awal agama Kristen berkembang, biasanya bila tak menjadi pendeta, guru, pegawai sipil, pilihan lainnya adalah jadi serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) alias tentara kolonial Hindia Belanda. Suatu angkatan bersenjata kolonial yang dikalahkan balatentara Jepang di awal Maret 1942.

Hendrik Pomantow seperti banyak orang Jawa, Ambon dan Manado, ia menjadi serdadu bawahan di KNIL. Nomor stamboeknya: 40676. Orang Manado adalah orang-orang yang diberkahi kemampuan bertahan hidup. Dengan itu, mereka cocok menjadi tentara. Itu yang membuatnya bisa hidup lama sebagai tawanan militer Jepang nan kejam.

Infografik Hendrik Pomantow

Pada 1945, kekuatan militer Jepang di Pasifik melemah. Terbatasnya logistik dan gerak maju militer sekutu (Amerika dan lainnya) membuat militer Jepang berlaku lebih keras terhadap para tawanan macam Pomantow. Pengalaman Pomantow. yang lama ditahan di kamp tawanan Babeldaop yang mengerikan membuat ia berpikir untuk kabur.

Setelah Kota Hiroshima dibom atom oleh Amerika Serikat pada 6 Agustus 1945, menurut keterangan Kerajaan Belanda dalam Koninklijk Besluit No. 68 yang ditulis 1 April 1947, terungkap laporan bahwa pada 7 Agustus 1945, Pomantow melarikan diri dari kamp tawanan Babeldaop.”

Pomantow menyeberang ke arah Peleliu, yang dikuasai militer Amerika. Jaraknya sekitar 50 mil dari Palau. Ia menempuh sebagian perjalanannya dengan naik rakit bambu, dan sebagian lagi dengan berenang. Ia terapung di lautan selama enam hari. Laporan itu memang tak menceritakan detail bagaimana perjalanan terombang-ambing di lautan selama enam hari yang dialami oleh Pomantow.

Apa yang dilakukannya mirip yang dilakukan orang Manado lain saat kabur dari Boven Digoel ke Australia dengan naik perahu sekitar 1929, termasuk Thomas Najoan yang sampai di Australia.

Risiko Pomantow sangat besar saat kabur bila tertangkap militer Jepang yang memburunya. Nyawanya bisa hilang. Sementara itu, ketika Najoan tertangkap kembali karena ada perjanjian ekstradisi antara Australia dengan pemerintah kolonial Belanda, Najoan hanya dikurung tanpa siksa keji.

Keberuntungan yang dimiliki Pomantow tapi tidak dimiliki Najoan adalah: tidak bertemu para pemburu yang mengirimnya lagi. Apa yang ditemui Pomantow kemudian adalah kapal perusak Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang melintas. Pomantow tentu saja diperiksa dengan mengedepankan praduga tak bersalah.

Berdasarkan informasi dari Pomantow, data militer Jepang tentang gudang amunisi, gudang makanan dan kamp tawanan di Palau didapat militer Amerika. Militer Amerika juga tahu para tawanan sekutu terancam dibunuh oleh serdadu Jepang yang makin terpuruk dan kalut. Militer Amerika pun bergerak, agar pembunuhan atas tawanan perang itu bisa dihindari.

Pomantow bukan satu-satunya tawanan bekas serdadu KNIL yang kabur dari militer Jepang. Di sekitar Filipina ada Adolf Lembong—serdadu dengan nomor stamboek: 41642—dan belasan orang Manado lain.

Menurut Arsip NEFIS berjudul Laporan kegiatan gerilya Adolf Lembong (Letnan Satu LGAF USAFFE) Agustus 1943 hingga April 1945, Lembong kabur pada 1943 dan bergabung dengan gerilyawan Filipina dan militer Amerika untuk melawan militer Jepang. Buku Het Koninklijk der Nerdelanden in de Tweede Wareldoorlog 1939-1945 (1985: 609) menyebut orang Manado lain bernama HD Pitoi, ia juga menjalin kontak dengan tentara Amerika.

Pada 14 Agustus 1945, setelah 9 Agustus 1945 Kota Nagasaki juga dibom-atom, kekaisaran Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat. Perang Pasifik pun selesai. Pomantow pun dikembalikan ke tempat dinas lamanya yang selama Perang Pasifik bertahan ala kadarnya di Australia, KNIL.

Ia kembali menyandang pangkat Fuselier (serdadu penembak). Pangkat yang tergolong rendah, yang di masa sebelum perang, gajinya sekitar dua gulden seminggu. Nasibnya sebagai serdadu bawahan tentu tak banyak orang tahu kemudian.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra