Menuju konten utama

Kisah Edwin Marpaung, 'The Smiling Doctor', Meninggal karena Corona

Dokter Edwin adalah dokter ke-100 yang meninggal selama pandemi COVID-19. Teman-temannya mengingat dia sebagai dokter yang suka tersenyum.

Kisah Edwin Marpaung, 'The Smiling Doctor', Meninggal karena Corona
Dokter Relawan RSD COVID-19 Wisma Atlet

tirto.id - Edwin Marpaung, dokter ke-100 yang meninggal karena COVID-19 dalam usia 46 tahun, dikenal sebagai pribadi yang ramah, sangat dekat dengan pasien, hobi berolahraga, peduli dalam bencana, dan satu dari 10 mahasiswa paling cemerlang di angkatannya. Teman-temannya menjulukinya sebagai dokter yang suka tersenyum—‘The Smiling Doctor’.

Saida Sulastri Situmorang adalah salah satu pasiennya yang nyaris tak tertolong seandainya Indonesia tak memiliki dokter seperti Edwin Parlindungan Marpaung, dokter spesialis tulang di Medan, Sumatera Utara.

Satu pagi pada 10 Juni 2011, Saida, seorang pegawai negeri di Dinas Pariwisata Kabupaten Hubang Hasandutan, mengalami kecelakaan motor menuju tempat kerja. Bertabrakan dengan motor pengendara lain, motor yang dikendarainya lalu menabrak gundukan batu pelebaran jalan.

Itu bikin luka fatal. Terjadi fraktur pada tiga bagian di klavikula, tulang penghubung lengan dan tubuh. Rahangnya retak. Tulang hidung patah. Ada pendarahan di otak.

Saida dibawa ke RSUD Dolok Sanggul, lalu dirujuk ke RS Martha Friska di Kota Medan. Jarak keduanya sekitar 270 kilometer atau 7 jam dengan mobil. Demi memangkas waktu, Saida diterbangkan dari Bandara Silangit, Tapanuli Utara, menuju Bandara Polonia Medan—hanya 40 menit.

Gangguan sarafnya saat itu merusak ingatan Saida. Semenit berbicara. Semenit berikutnya lupa.

“Dokter syaraf saat itu bilang kalau sedikit lagi [benturan] hampir kena otak kecil,” katanya kepada saya via telepon.

Kondisi fisiknya masih labil sehingga ia mesti menunggu dua pekan untuk menjalani operasi tulang, serta operasi bedah mulut dan hidung. Dan dokter yang menangani operasinya adalah Edwin Parlindungan Marpaung.

Ingatan Saida pelan-pelan sempurna setelah operasi. Maka, ia bisa mengingat pertemuan-pertemuan berikutnya dengan dokter Edwin. Apa yang bulat dalam ingatannya, sembilan tahun kemudian kepada saya, adalah dokter Edwin orang yang peduli dan ramah dan selalu tersenyum.

Saida mengisahkannya dengan suara yang berat; ia minta maaf kepada saya. Di ujung telepon, saya mendengarnya menangis.

“Kalau ingat dokternya ngomong … dia lembut sekali,” kata Saida, kini 39 tahun. “Kalau mengingat dia menguatkan, menanyakan keluarga, kasih semangat … saya jadi sedih.”

Setelah operasi sukses, Saida memeriksa diri secara berkala, baik ke RS Martha Friska maupun ke RS Columbia Asia—keduanya di Kota Medan, tempat Edwin berpraktik. Pada 2014, pen pada tulang klavikulanya dilepas.

Satu ketika setelah lepas pen, Saida pergi ke luar kota. Ia harus memeriksa berkala ke dokter lain. Si dokter itu berkata kepada Saida bahwa operasi pada bekas lukanya begitu rapi. Kelak Saida mengetahui dokter Edwin menjahit luka operasi dengan benang terbaik, yang membuat bekas lukanya menjadi samar.

“Dan dokter Edwin tidak pernah bilang itu sama sekali,” katanya.

Saida mengingat perkataan dokter Edwin dalam pertemuan terakhirnya pada medio Agustus 2014 saat ia ganti perban usai melepas pen. Edwin berkata agar Saida selalu berdoa bersama suami dan anaknya sebelum berangkat bekerja.

“Dia bilang, ‘Kita jangan ketemu di rumah sakit lagi, ya, bu. Pokoknya kita harus ketemu saat ada acara suka cita’,” ujar Saida. “Dokter menyalami saya saat ke luar ruangan sambil tersenyum.”

Kini, Saida takkan pernah bertemu Edwin lagi. Dan, demi mengobati rasa menyesal serta penghormatannya atas jasa sang dokter menyelamatkan nyawanya, Saida menyimpan pen dan baut yang dulu dipasang di tubuhnya.

“Kalau dokter Edwin umurnya panjang, masih banyak orang yang bisa diselamatkan seperti saya,” kata Saida, yang menangis ketika mendengar kabar kematian dokter Edwin pada Minggu, 30 Agustus lalu.

‘The Smiling Doctor’

Edwin Marpaung menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) pada 1992 hingga 1998. Ia melanjutkan pendidikan spesialis tulang di universitas yang sama pada 2003 hingga 2008. Pada 2010 hingga 2011, ia mengikuti program residensi di Amerika Serikat dan ditempatkan di The Christ Hospital Cincinnati setelah lulus ujian Educational Commission for Foreign Medical Graduates (ECMFG). (Jenjang pendidikan Edwin ini telah mengalami revisi pada 2 September pukul 13.13).

Edwin menjadi tim dokter penanganan bencana saat gempa di Yogyakarta pada 2006 dan pasca-tsunami Aceh pada 2005.

Bram Kilapong, sahabat satu angkatannya, berkata Edwin adalah mahasiswa yang cerdas. Bram menyebut Edwin adalah putra terbaik Sumatera Utara yang masuk FK UI melalui jalur prestasi. Di antara sekitar 160 teman satu angkatan, Edwin masuk dalam 10 mahasiswa paling cemerlang, ujar Bram.

“Selama pendidikan dokter, kami selalu bersama-sama selama enam tahun, bahkan di dalam kelompok kecil pun kami selalu bersama,” kata Bram, yang mengambil pendidikan spesialis anestesi.

Bram berkata Edwin adalah orang yang baik hati dan ramah. Ia berkata teman-teman satu angkatannya menjuluki Edwin sebagai dokter yang suka tersenyum.

“Kalau zaman dulu, kita mengenal Presiden Soeharto sebagai ‘The Smiling General’. Kita mengenal Edwin] sebagai ‘The smiling Doctor’.”

“Dia selalu tersenyum meski dalam keadaan sulit,” katanya.

Bram berkata hobi Edwin adalah berolahraga.

“Beberapa kali [Edwin] mewakili kelas kami dalam pertandingan olahraga seperti tenis—dia jago sekali. Hampir semua cabang olahraga dia menguasai seperti basket dan sepakbola juga,” kata Bram, saat ini bekerja di salah satu rumah sakit di Batam.

‘Saya Hormat kepada Beliau’

Hubungan Syahrial Nasution dan Edwin Marpaung adalah keluarga pasien dan dokter.

Ibunda Syahrial, Habibah Nasution yang berumur 66 tahun, mengalami masalah tulang lutut dan tulang panggul. Itu membuat ibunya sulit berjalan. Syahrial berkata telah membawanya berobat ke mana-mana, termasuk ke Malaysia, tapi selalu disarankan untuk operasi.

Syahrial enggan mengambil pilihan berisiko bagi ibunya yang sudah tua itu. Ia lantas direkomendasikan untuk memeriksakan ibunya ke dokter spesialis tulang di Medan. Bertemulah mereka dengan dokter Edwin.

Syahrial, yang tinggal di Jakarta, mengantarkan tiga kali ibunya yang tinggal di Medan memeriksakan diri ke dokter Edwin. Itu meninggalkan kesan mendalam.

“Saya hormat sama beliau karena memperlakukan ibu saya seperti perlakuan anak sama ibunya,” ujar Syahrial. “Setiap kali ibu saya kontrol, dia menyambut seperti anak yang kangen sama ibunya.”

Saat Syahrial bercerita kepada saya via telepon, Selasa pekan ini, terdengar ia menahan tangis. Ia teringat pesan Edwin pada awal 2019.

“Bang, tolong jaga ibu, ya. Tolong rawat ibu yang baik.”

======

UPDATE - 31 Agustus

Edwin Parlindungan Marpaung adalah dokter ke-100 yang meninggal karena COVID-19, menurut data Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Per 31 Agustus, ada 102 dokter meninggal.

Per 31 Agustus, ada 8 dokter gigi meninggal karena COVID-19, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia Hananto Seno.

Per 31 Agustus, ada 59 perawat meninggal karena positif COVID-19, 6 perawat meninggal karena suspek, dan 5 perawat meninggal masih dalam investigasi, menurut Ketua Satgas COVID-19 DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jajat Sudrajat.

Baca juga artikel terkait DOKTER MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Fahri Salam