Menuju konten utama

Kisah di Balik Busana para Calon Pemimpin Jawa Barat

Busana bisa menyiratkan gaya berpolitik, juga visi dan misi seorang politisi.

Kisah di Balik Busana para Calon Pemimpin Jawa Barat
Empat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kiri) - Uu Ruzhanul Ulum (kedua kiri), TB Hasanudin (ketiga kiri) - Anton Charliyan (keempat kiri), Sudrajat (Keempat kanan) - Ahmad Syaikhu (ketiga kanan) dan Deddy Mizwar (kedua kanan) - Dedi Mulyadi (kanan) menghadiri Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat di Sabuga, Bandung, Jawa Barat, Senin (12/3/18). ANTARA/M. Agung Rajasa

tirto.id - Penulis Judith Martin pernah berkata, "bahasa busana adalah simbolisme tingkat tinggi. Dan kita, di momen-momen tertentu, paham itu."

Henry Navarro Delgado, asisten profesor mata kuliah fashion di Universitas Ryerson menyebut bahwa peradaban manusia, secara esensial, adalah peradaban berbusana. Apa yang dikenakan oleh seseorang, bagaimana seseorang mengenakannya, dan siapa yang mengenakan, tulis Delgado, mengekspresikan tingkat kebebasan sosial dan pengaruh.

Untuk menggambarkan hal itu, ada istilah political dressing. Politik berbusana. "Itu adalah usaha terencana sebuah kelompok atau seseorang, untuk menarik perhatian terhadap sebuah isu sosial," tulis Delgado.

Dalam pidato kenegaraan Amerika Serikat 2018, misalnya, kebanyakan hadirin mengenakan pakaian berwarna hitam. Itu menunjukkan bahwa mereka menunjukan solidaritas terhadap korban kekerasan seksual.

Upaya menunjukkan sesuatu lewat busana juga jelas muncul dari kalangan politisi. Maka, bukan tanpa alasan Jokowi kerap mengenakan kemeja warna putih dengan lengan digulung hingga siku. Selain kenyamanan, kemeja itu melambangkan sesuatu: ia jauh dari sikap formal seorang pejabat. Kemeja dengan lengan digulung menandakan ia siap bekerja, sama seperti rakyatnya. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah politisi muda yang berbeda dari pendahulu-pendahulunya yang kaku, kering, dan tak luwes.

Mengunyah ucapan Martin dan Delgado, semua orang paham: busana bisa menguarkan pesan, visi, dan juga misi seorang politisi.

Menengok Gaya Berpakaian Calon Pemimpin Jawa Barat

Dalam debat publik pertama pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2018, penonton bisa melihat jelas busana dan gaya berpakaian para politisi ini. Ditambah dengan gaya berbicara, publik harusnya sudah bisa menilai, atau setidaknya memperoleh gambaran kasar, apa yang berusaha ditunjukkan calon nakhoda Jawa Barat ini.

Dedi Mulyadi, calon Wakil Gubernur nomor urut empat, tampak santai dengan gaya busana sehari-hari. Ia mengenakan celana jeans, kemeja putih. Ini adalah upaya yang pernah digunakan Jokowi untuk mendeskripsikan diri. Dedi memang kerap mengenakan jeans dalam kegiatan berpolitik. Jeans dan kemeja yang digulung sampai di bawah siku jadi kode busana Dedi waktu blusukan ke sejumlah kecamatan di Jawa Barat. Busana blusukan ini akhirnya juga ia pilih sebagai busana untuk menghadiri debat pertama. Bedanya, malam tadi. Dedi mengenakan blazer hitam yang resletingnya ia biarkan terbuka, dan tak lupa: iket Sunda.

Di belahan bumi sebelah barat, jeans makin banyak digunakan oleh para pejabat politik. Busana tersebut digunakan untuk menyiratkan kesan bahwa mereka serius, tetapi tetap inovatif dan tidak kaku. Denim bisa membuat penggunanya merasa lebih modern dan percaya diri. Dalam konteks politik, penggunaan jeans menyiratkan kesiapan politikus untuk terjun langsung dan menggali permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Jeans muncul di abad ke 19. Lynn Downey, sejarawan Levi’s berkata kepada Wall Street Journal (WSJ), bahwa denim ibarat kode perlawanan terhadap kekakuan berbusana, sehingga para pria muda ingin menggunakannya. Seiring berjalannya waktu, makna jeans mengalami beberapa perubahan. Makna lain yang dibawa jeans adalah lambang kreativitias.

Mitt Romney, kandidat calon presiden Amerika Serikat pernah menggunakan jeans saat berkampanye di hadapan komunitas Hispanic, Florida. The Washington Post pernah menulis bahwa konsultan politik Romney menyarankannya menggunakan jeans untuk menyiratkan kesan kasual.

Nicolas Sarkozy mantan Presiden Prancis sempat menggunakan jeans saat ia menunggu hasil penghitungan suara pemilu Presiden. Dimitri Medvedev, mantan Perdana Menteri Rusia menyambut kunjungan kenegaraan Barack Obama dengan menggunakan paduan busana jeans, kemeja, dan blazer. Foto kebersamaan mereka sempat dimuat di artikel "The Relentless Rise of Power Jeans" yang ditayangkan WSJ.

AJ Agrawal, kontributor Forbes, menulis bahwa: terkadang penampilan kasual dalam konteks yang tepat dapat membuat politikus terkesan mampu mendengarkan rakyat dan mudah didekati. Ia lantas membagi gaya penampilan politikus dalam beberapa kategori. Mulai dari gaya berbusana konservatif, tradisional, hingga kasual.

Dedi dan Deddy yang mendapat nomor urut empat ini akan masuk dalam kategori penampilan kasual. Kesan ini ialah sebuah "gaya marketing" agar mereka terlihat sama dengan masyarakat. Deddy Mizwar mengimbangi penampilan Dedi dengan mengenakan kemeja putih yang dengan lengan digulung. Pada bagian dada terdapat aksen bendera Indonesia. Hal tersebut menyiratkan bahwa Deddy hendak dilihat sebagai sosok bersahabat. Sedangkan lengan yang digulung dapat dianggap bahwa politikus itu hendak meraup dukungan dari pemilih muda dan pekerja kelas menengah.

Gaya serupa juga dipakai oleh pasangan calon nomor urut tiga, Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Mereka berusaha tampil santai dengan menggunakan kemeja putih, dan visi mengembangkan industri kreatif di Jawa Barat. Gaya busana yang sama tentu punya tujuan sama: merebut hati para pemilih muda.

Infografik gaya busana paslon jabar 2018

Berpakaian selaras dengan visi juga dilakukan pasangan Ridwan Kamil dan UU Ruzhanul. Dalam debat, Ridwan berkata siap untuk menciptakan "1000 inovasi" untuk Jawa Barat. Kapabililitas untuk melakukan inovasi disiratkan dengan menggunakan busana semi formal yakni kemeja dan jas dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Gaya busana Ridwan Kamil selama ini memang mengesankan anak muda moderat, yang formal tapi lebih fleksibel.

Tren busana politikus menggunakan setelan jas tanpa dasi ini sudah terjadi di Amerika Serikat dan Inggris beberapa tahun terakhir. Tammy Haddad, konsultan media asal Washington menyatakan busana tersebut mengekspresikan bahwa politikus hendak membuat ranah politik terlihat lebih manusiawi.

Lewat busana yang menyerupai pakaian ulama, UU Ruzhanul mewakili visi mengedepankan kebenaran dengan menggunakan ilmu para ulama. Baju koko putih lengan panjang lengkap dengan peci dan sajadah hijau yang disampirkan di bahu kiri UU Ruzhanul, juga makin menegaskan bahwa pasangan calon nomor urut satu ini hendak meraih calon pemilih muslim.

Saat sebagian besar pasangan calon berlomba untuk terkesan kasual dan mudah didekati, TB Hasanuddin dan Anton Charliyan melakukan hal sebaliknya. Pasangan nomor dua ini mengenakan setelan jas lengkap, dasi merah, penjepit dasi, dan peci. Penampilannya persis dengan busana di foto resmi presiden- wakil presiden Indonesia. Dalam artikel "How Politicians Market Themselves Based on What They Wear", AJ Agrawal mengungkap bahwa setelan jas lengkap dan dasi merah mengesankan semangat patriotisme. Hal itu juga mengesankan rasa percaya diri. Menurut dia, busana tersebut bisa menghasilkan respons positif. Hal itu berlaku untuk publik Amerika Serikat.

Dari busana yang dipakai oleh para politisi ini, tampak betul bahwa mereka berupaya menerapkan apa yang disebutkan oleh John T. Molloy dalam Dress for Success (1975). Molloy menyarankan agar seseorang berpakaian sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan, bukan yang sedang dijalani.

Dan semua penonton debat kemarin paham pekerjaan apa yang diinginkan empat pasang politisi di atas panggung itu.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILGUB JABAR 2018 atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono