Menuju konten utama

Kisah Debitur P2P Lending: Kena PHK Karena Utang Rp1,2 Juta

Seorang debitur salah satu Fintech P2P Lending mengaku harus mengalami PHK karena desk collector menagih utangnya ke atasan dia di tempat kerja.

Kisah Debitur P2P Lending: Kena PHK Karena Utang Rp1,2 Juta
Ilustrasi fintech lending. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Salah seorang debitur sebuah Fintech Peer to Peer (P2P) Lending, Donna mengaku mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena desk collector menagih utang ke atasannya. Padahal, kata Donna, utangnya cuma senilai Rp1,2 juta.

"Enggak banyak, pinjamnya hanya Rp1,2 juta buat bayar sekolah anak, tapi perlakuan mereka seperti itu," kata Donna kepada reporter Tirto di Jakarta pada Senin (4/2/2019).

Donna mengaku semula meminjam uang senilai Rp1,2 juta ke perusahaan penyedia pinjaman online, bernama Rupiah Plus pada April 2018.

"Batasnya [pembayaran] dua minggu kan sampai gajian. Nah baru tanggal berapa gitu, sudah disebar SMS ke teman-teman saya. Termasuk bos saya, tanggal 25 April itu. Sampai akhirnya tanggal 27 April [2018] karena bos saya tidak bisa paham kondisi ini, dia meminta saya untuk keluar," ujar Donna.

Menurut Donna, atasannya itu berang karena menerima tagihan pembayaran utang dari desk collector melalui pesan whatsapp dan sms. "Bos saya malam-malam diteror seperti itu. Kan setiap bos berbeda-beda, ada yang bisa toleransi ada yang enggak," kata dia.

Donna mengaku bekerja selama 1,5 tahun dan menjadi karyawan tetap di salah satu perusahaan retail di kawasan Jakarta sebelum dipecat. Setelah terkena PHK, hingga saat ini ia belum memiliki pekerjaan lagi.

Sebenarnya dia pernah berupaya melaporkan hal ini ke otoritas jasa keuangan (OJK), tapi cuma dibalas pesan melalui email. "Saya lapor karena saya kehilangan pekerjaan. Saya kontak OJK balasannya hanya basa-basi, bilang perusahan ini tidak terdaftar," kata Donna.

Setelah dipecat, Donna juga sempat mencari kantor perusahaan pinjaman online tempat ia berutang untuk meminta konfirmasi soal kasusnya. Namun, dia tidak pernah menemukan kantor perusahaan itu.

"Rupiah plus, kantornya enggak jelas. Saya cuma minta satu keringanan karena merasa mendapat SMS fitnah. [ketika penagihan] saya katanya sudah didatangi, padahal tidak pernah," kata Donna.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah lebih ketat dalam mengawasi aktivitas perusahaan-perusahaan penyedia fasilitas pinjaman online.

"Saya harapkan perusahaan itu ada kantornya saja. Yang jelas mencantumkan kantornya. Jangan hanya menelepon dengan menggunakan ratusan nomor dan ketika ditelepon balik orangnya enggak tahu siapa," kata dia.

Menurut Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing, keluhan banyak debitur pinjaman online belakangan terus mengemuka. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus lebih ketat dalam membatasi aktivitas fintech P2P lending.

Dia mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) lebih tegas menerapkan pemblokiran terhadap situs maupun aplikasi pinjaman online yang melanggar aturan.

"Menkominfo harus tertibkan ini," kata dia dalam diskusi tentang “Peran Negara Melindungi Pengguna Aplikasi Pinjaman Online,” di Kantor LBH Jakarta Pusat pada Senin (4/1/2019).

David berpendapat selama ini sejumlah perusahaan P2P Lending memanfaatkan pengetahuan minim konsumen soal teknologi informasi. Akibatnya, banyak konsumen tidak mengetahui risiko ketika data pribadi mereka sudah diserahkan ke perusahaan P2P Lending.

“Saya tidak bilang gaptek [gagap teknologi], tapi [banyak konsumen] pas-pasan mengetahui teknologi. Kalau sudah memperbolehkan platform itu akses soal lokasi, jangan kaget [diketahui] di mana dan jangan kaget kalau kontak dan foto tersebar," ujar dia.

Baca juga artikel terkait P2P LENDING atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom