Menuju konten utama

Kisah dan Pertarungan Politik di Balik Jenis Huruf

Memilih tipografi alat kampanye secara asal-asalan, Donald Trump malah menang.

Kisah dan Pertarungan Politik di Balik Jenis Huruf
Kampanye Obama. FOTO/AP

tirto.id - Apa yang tampak sepele, tak penting, dan hanya numpang lewat belaka, bisa jadi punya cerita dan dampak besar. Salah satunya adalah urusan pemilihan dan penataan huruf atau tipografi. Seorang seniman pada era Nazi bahkan dianggap sebagai pengkhianat negara gara-gara urusan font.

Saat itu, Nazi di bawah Hitler sedang getol-getolnya meluncurkan segala bentuk propaganda lewat media cetak hingga selebaran. Propaganda Nazi disusun dengan huruf warna hitam dan terlihat sangar bernama Blackletter—yang sudah ada sejak akhir abad ke-12. Seiring waktu, Blackletter menjadi identitas nasional Jerman yang wajib digunakan seluruh masyarakat Jerman.

Gencarnya penggunaan Blackletter dan Fraktur—penyempurnaan dari Blackletter yang diciptakan Johann Christian Bauer—tidak menghentikan pembuatan tipografi lainnya. Kala itu, seorang pemilik bisnis penerbitan dan percetakan bernama Jakob Hegner menugaskan seniman Paul Renner untuk menciptakan jenis huruf baru bergaya modern. Renner pun mengiyakan. Ia segera mengolah kreasinya dan jadilah font bernama Futura yang geometris, menggabungkan garis lurus dan lingkaran, serta mudah dibaca.

Seketika, Futura memperoleh popularitasnya di tengah masyarakat Jerman. Nazi yang mendengar kabar tersebut langsung mengambil sikap. Aparat lantas menciduk Renner dan melucuti jabatannya di pemerintahan dengan tuduhan pengkhianat sebab telah membuat tipografi lain yang dianggap “anti-Jerman.”

Ironisnya, upaya Nazi memberangus Futura malah seolah berbalik menjadi senjata makan tuan. Eksistensi Futura justru bertahan lebih lama dibanding Blackletter maupun Fraktur milik Nazi. Pada 1941, Nazi resmi memasukkan Blackletter maupun Fraktur ke dalam kategori Judenletter—atau huruf Yahudi—serta dilarang penggunaannya di kehidupan sehari-hari.

Alasan Nazi: terdapat campur tangan orang Yahudi dalam pembuatan huruf Blackletter di masa lampau.

Lain Blackletter, lain pula Helvetica. Tipografi ini dibuat oleh Max Miedinger dan Eduard Hoffman pada 1957 di Haas Type Foundry of Munchenstein, Swiss. Mulanya, Helvetica bernama Neue Haas Grotesk. Secara gaya, Helvetica tidak sekompleks Blackletter. Ia mirip Futura namun lebih disederhanakan lagi bentuknya.

Kesederhanaan bentuk Helvetica tak bisa dipisahkan pandangan si pembuat dari konteks sosial-politik pada masa itu. Tahun 1950an, Perang Dunia II telah berakhir. Masa penderitaan, kengerian, dan jatuhnya jutaan korban digantikan masa perbaikan ulang tatanan global serta rekonsiliasi. Atas dasar itu, Hoffman dan Miedinger ingin membuat huruf yang bebas dari ideologi apapun, apolitis, dan mengusung netralitas seperti halnya posisi Swiss saat perang berlangsung.

Kelahiran Helvetica tak luput dari kritik. Pihak yang kritis melontarkan serangan adalah seniman punk asal Inggris, Neville Brody. Menurut Brody, Helvetica merupakan wajah tipografi korporat yang penuh kesombongan. Brody kemudian membuat tipografi yang mencerminkan perlawanan itu. Dalam tipografi buatannya, Brody menonjolkan kultur budaya punk yang berlandaskan etos do-it-yourself, anti-kemapanan, dan menegaskan kesan “pemberontak.”

Selain menyerang kemapanan Helvetica serta tipografi-tipografi korporat lainnya, Brody turut pula menghajar pemerintahan konservatif Inggris yang saat itu dipimpin Margaret Thatcher. Bagi Brody, Thatcher adalah tirani yang musti diakhiri riwayatnya.

Karya-karya Brody pertama kali dikenal publik tatkala dirinya mengisi desain untuk majalah The Face yang moncer di kancah punk pada 1980an. Perlahan, nama Brody mulai menanjak. Puncak sepak terjang Brody terjadi kala ia merancang tipografi berentitas Arcadia untuk sampul majalah Arena pada 1986. Arcadia kelak dipandang sebagai kultus klasik tipografi yang dibentuk lewat perpaduan art-deco, budaya punk, dan semangat perlawanan.

Jenis huruf lahir juga di daratan Balkan, kawasan yang identik dengan fragmentasi wilayah. Kawasan ini telah menjadi saksi bagaimana kekerasan yang dipicu oleh ketegangan etnis hadir di tiap generasi. Hal tersebut turut mempengaruhi keberadaan tipografi di Balkan yang terdiri dari bermacam-macam bentuk: dari Latin, Blackletter, Cyrillic, sampai Arabic. Walaupun begitu, tipografi di Balkan memegang peran tersendiri sebagai alat komunikasi politik pasca-runtuhnya Uni Soviet.

Pada 2013 silam, perancang grafis asal Kroasia Nikola Djurek dan Marija Juza menciptakan tipografi Balkan Sans Hibribda yang menggabungkan elemen Barat dan Timur. Lewat tipografi Balksan Sans, duo Djurek-Juza hendak menyampaikan pesan “perdamaian untuk kepentingan pendidikan, toleransi, serta komunikasi.”

Jenis Font yang Menentukan Kemenangan Presiden

Lima tahun yang lalu, Monotype Imaging Inc. mengeluarkan hasil studi bersama Institut Teknologi Henrietta Selatan mengenai pilihan tipografi yang digunakan dalam kampanye politik pada 314.162 pemilihan kota dan negara bagian di seluruh wilayah Amerika Serikat.

Studi yang dilakukan sejak tahun 1990 tersebut menyatakan terdapat korelasi antara pemilihan tipografi tertentu dengan kemenangan pemilihan. Dalam studi itu, tipografi yang disusun dengan warna merah, putih, serta biru akan menghasilkan kemenangan dengan margin minimal 62,5 persen.

“Kami terkejut, tidak hanya karena banyaknya pilihan gaya tipografi yang digunakan dalam kampanye di seluruh negeri namun juga ada keuntungan dari font tertentu untuk membantu kandidat mereka memenangkan pemilihan,” jelas Idee Claire, Direktur Studi Grafis dan Politik Institut Teknologi Henrietta Selatan.

Mungkin sebagian pihak tak percaya bagaimana pemilihan font dan tipografi dapat menghasilkan kemenangan dalam pemilihan. Namun, Barack Obama sudah membuktikannya kala dirinya bertarung di ajang pemilihan presiden Amerika pada 2008 dan 2012.

Sepanjang pemilihan 2008, Obama datang dengan kampanye “Change: We Can Believe In.” Materi kampanye Obama tersebut ditopang dengan identitas visual dalam balut tipografi bernama Gotham, yang dirancang Hoefler dan Frere-Jones. Tipografi Gotham sendiri terinspirasi oleh tanda di Otoritas Pelabuhan New York yang lama.

Kehadiran Gotham dalam materi kampanye Obama nyatanya menarik atensi masyarakat Amerika Serikat. Gotham dianggap lebih baik dibanding tipografi Optima milik lawan Obama, John McCain yang nampak “sangat tahun 1950an.” Walhasil, Obama pun menang pemilihan berkat daya magis Gotham dan naik ke kursi kepresidenan. Tak cuma itu, Gotham—atau publik mengenalnya dengan “font Obama”—berkembang populer serta dipakai untuk merek produk sampai film.

Brian Collins mengatakan keberhasilan kampanye Obama dalam pemilihan 2008 disebabkan bukan hanya karena Gotham sendiri adalah tipografi yang bagus, tapi juga digunakan dengan maksimal. “Obama telah terkenal atas kefasihannya. Dan tipografi Gotham telah membantu penyampaian kata-katanya untuk menjadi lebih hidup,” ujarnya seperti dilansir The New York Times.

Collins menambahkan: “Obama menggunakan serta memanfaatkan strategi visual yang lebih besar dan menonjol guna menyampaikan pesan kampanye. Didukung konsistensi yang besar akibatnya pun juga besar: menarik lebih banyak kolektif.”

Kasus tipografi Gotham punya Obama bukan satu-satunya perkara. Pada 2004, pemilihan presiden Amerika diramaikan oleh pasangan George W. Bush-Dick Cheney dan John Kerry-John Edwards. Kedua pasangan sama-sama membuat logo kampanye. Jika pada 2008 tipografi McCain-lah yang dianggap buruk, maka di tahun 2004 tipografi Kerry dianggap menyedihkan. Pihak yang mengutarakan kritikannya kepada tipografi Kerry adalah perancang grafis Scott Dadich.

“Logo Kerry menunjukkan inkonsistensi, berbeda dengan milik Bush yang terlihat agresif. Pilihan Kerry yang beraneka ragam malah justru membuat buruk dan, tidak heran jika beberapa pemilih mengira dia adalah pengecut yang bimbang,” tulis Dadich di The New York Times. Meski demikian, tipografi Bush bukannya tanpa cela. Beberapa pihak menyebut desain yang dibuat Bush memiliki konotasi “kelesuan, kekakuan, dan wajah intoleransi.”

Lalu, siapa yang menang? Tentu saja Bush yang kemudian menghajar Irak lewat serangkaian invasi militernya.

Situasinya setali berbeda datang saat pemilihan presiden Amerika yang terbaru. Donald Trump datang dengan tipografi Times New Roman maupun Comic Sans yang dianggap tidak canggih, miskin pengalaman, serta mengutip pendapat Ismail Jadun—pendiri perusahaan konsultasi periklanan dan produk 614a—seperti “dibuat mahasiswa yang baru masuk kuliah.”

“Pencitraan mereknya begitu sederhana dan seolah mengatakan bahwa ‘Saya tidak terlalu peduli dengan detail yang tidak berguna,’” papar Jadun. “Kampanye Trump bisa saja menggunakan paduan yang lebih baik, tapi saya rasa itu [tipografi kampanye Trump] tidak menyakitkan.”

Sementara lawannya, Hillary Clinton, membawa materi kampanye yang lebih niat daripada Trump. Tipografi Hillary yang bernama Unity dibentuk atas rombak ulang gaya Sharp Sans dan dibumbui sedikit sentuhan avant-garde 1970an. Unity yang digambarkan “hangat, menarik, ulet, serta mencerminkan pribadi Hillary” digunakan di seluruh materi kampanyenya.

Sayangnya, tipografi Clinton yang dibuat serapi dan seniat mungkin tak bisa menghantarkannya ke kursi presiden Amerika. Pemenangnya justru Trump dengan tipografi kampanye yang menjadi bahan olok-olokan, nampak amatir di pandangan mata, serta seolah dibuat saat sedang tak sadar diri.

Baca juga artikel terkait NAZI atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Maulida Sri Handayani