Menuju konten utama

Kisah Cinta BJ Habibie dan Ainun Berawal dari Obrolan di Teras

Hubungan Habibie dan Ainun makin dekat dan cinta membawa mereka menikah pada 12 Mei 1962 di Bandung.

Kisah Cinta BJ Habibie dan Ainun Berawal dari Obrolan di Teras
Presiden Indonesia B.J. Habibie, kiri, dan ibu negara Hasri Ainun melambai ketika mereka tiba untuk pembukaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat 1 Oktober 1999 di Jakarta. (AP Photo/Dita Alangkara)

tirto.id - Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang akrab disapa BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari adalah dua siswa yang termasuk cemerlang di kelasnya masing-masing saat SMA. Kebetulan guru pelajaran ilmu pasti mereka sama. Melalui candaan Gouw Keh Hong, si guru ilmu pasti, Habibie dan Ainun “dijodohkan”.

“Ini menarik kalau Hasri jadi dengan Habibie. Jika mereka jadi suami istri, anaknya bisa pintar-pintar,” kelakar Guru Gouw di kelas seperti diingat Habibie dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat (2012: 1-3) yang disusun A. Makmur Makka. Siapa sangka candaan sang guru ternyata menjadi kenyataan.

Namun ternyata hingga mereka lulus dan Habibie melanjutkan study ke Jerman keduanya tak pernah benar-benar dekat. Rudy sapaan akrab Habibie saat muda awalnya memang tak pernah punya perasaan apapun pada Ainun, namun sang ibu lah yang menginginkan keduanya menikah.

Rudy kala itu masih enggan dan kurang tertarik dengan urusan percintaan, ia lebih tertarik untuk segera menyelesaikan study doktoral sambil bekerja di Institut Konstruksi Ringan Aachen.

Cinta Tumbuh di Teras Rumah Ainun

Namun ternyata semua berubah, saat itu Rudy diantar Fanny, adiknya untuk bertamu ke rumah Ainun di Ranggamalela. Pertama kali bertemu muka dengan Ainun yang telah beranjak dewasa, seperti dituturkan Gina S. Noer, Rudy terkejut.

Ainun yang dulu pernah ia perolok dengan julukan “gula jawa”, karena menurutnya jelek, kini dibilangnya “gula pasir” karena kejelitaannya, dicatat Gina S. Noer dalam Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner (2016: 238).

Semangat Rudy kian menyala ketika keduanya bercakap di teras rumah Ainun. Saat makan malam bersama keluarga Besari, Rudy sempat bercerita tentang upaya mahasiswa Indonesia di Jerman untuk melakukan perubahan di tanah air. Lalu Ainun bertanya, “Apa yang sudah kalian kerjakan untuk menciptakan perubahan itu?”

Rudy kembali terkejut, baginya seumur hidup, belum pernah ada perempuan yang bertanya semacam itu kepadanya. Tak disangka, gadis itu punya perhatian pula pada peran mahasiswa bagi tanah air.

Ibunda Rudy pernah berpesan agar saat mencari pendamping harus mampu mengimbanginya. Barangkali memang Ainun lah pendamping itu. Dari obrolan di teras rumah Ainun itulah rasa saling suka tumbuh di antara mereka.

Rudy merasa Ainun adalah kawan bicara yang mampu mengimbanginya. Ainun selalu menunjukkan antusiasme dengan intensitas yang sama saat mengobrol dengan Rudy.

“Saya ingin membangun bangsa ini supaya kualitas hidupnya meningkat, bukan hanya pangan dan rumah, melainkan pendidikan. Rakyat bisa punya wawasan. Saya mau menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Rudy tentang cita-citanya kala mengajak Ainun jalan-jalan.

“Saya mau menyehatkan rakyat sebab hanya orang sehat yang bisa bekerja di tempat kamu. Saya sehatkan SDM biar bisa kamu pakai,” balas Ainun (hlm. 240).

Menikah dan Melanjutkan Hidup di Jerman

Hubungan keduanya makin dekat dan cinta membawa mereka menikah pada 12 Mei 1962 di Bandung. Sebulan kemudian, mereka terbang ke Jerman. Tiga tahun pertama pernikahan, Rudy fokus sebagai pencari nafkah dan membangun karier. Sedangkan Ainun mengurus rumah tangga.

Ainun pernah menulis surat kepada A. Makmur Makka untuk keperluan publikasi buku Kesan dan Kenangan Setengah Abad Prof.Dr.Ing. B.J. Habibie (1986). Versi lengkap surat ditampilkan pada Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-Orang Terdekat (2012). Di antara semua kejadian yang ia lalui puluhan tahun bersama Habibie, Ainun memilih untuk menulis tahun-tahun pertama pernikahan mereka.

Tiga setengah tahun pertama berumah tangga adalah waktu yang sangat menantang bagi Ainun. Ainun sempat didera kesepian di negeri orang dan itu sungguh bukan hal mudah. Ia tidak punya teman bicara. Habibie kerja sampai larut malam agar bisa lancar mendapat promosi pekerjaan.

“Penghasilan kami pas-pasan. Suami harus mencuri waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik kereta api. Ia pulang jam 11 malam dan lanjut menulis disertasi. Dua sampai tiga kali seminggu ia berjalan kaki sejauh 15 km ke tempat kerja. Sepatunya berlubang dan hanya ditambal ketika musim dingin. Ketika hamil anak pertama, saya belajar menjahit untuk menghemat biaya. Lama-lama jahitan saya tidak jelek. Saya bisa memperbaiki yang rusak, membuat pakaian bayi, dan menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin. Prioritas kami sebelum Ilham lahir ialah membeli mesin jahit. Tidak ada uang kecuali untuk membeli mesin jahit,” tulis Ainun.

Ia berkata harus melakukan segala sesuatu sendiri agar sang suami bisa memusatkan perhatian pada tugasnya. “Hidup berat, tetapi manis.” Kebahagiaan Ainun tiba di malam hari saat ia dan Habibie bisa menjalani aktivitas masing-masing di ruangan yang sama.

Tulisan itu ialah satu dari sedikit perkataan Ainun tentang kehidupan personal Ainun yang dimuat di media massa. Makmur berkata, Ainun bukan orang yang nyaman diwawancara tentang topik selain aktivitas organisasi yang didirikannya, semisal Orbit, lembaga penyedia beasiswa bagi murid-murid kurang mampu.

Akhirnya setelah anak-anak mereka cukup besar untuk bisa dititipkan kepada pengasuh, Ainun baru bisa ikut membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit di Hamburg.

Dengan pekerjaan itu, Ainun dapat mandiri dengan gaji yang hampir menyamai Rudy. “Saya bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck,” ungkap Ainun dalam memoarnya yang bertajuk “Tahun-tahun Pertama”, yang terhimpun dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat (hlm. 130).

Tapi dua tahun setelahnya Ainun justru memutuskan untuk berhenti bekerja. Keputusan itu ia ambil saat Thareq, anak bungsunya, sakit keras. Kala itu ada gejolak dalam dirinya, ia merasa bisa mengurus anak orang lain tapi lalai dalam mengurus anaknya sendiri.

Saat Badai Menghantam Habibie

Kekuatan cinta antara Habibie dan Ainun memang tak perlu diragukan, keduanya bisa saling mendukung dan melalui masa sulit bersama. Bahkan saat Ainun di vonis dokter menderita kanker ovarium kala itu.

Saat itu Hasri Ainun Besari menjalani pemeriksaan MRI dokter menyatakan Ainun menderita kanker ovarium stadium lanjut. Mendengar hal itu Habibie lantas menelepon Duta Besar Jerman di Jakarta.

Ia meminta agar dibuatkan visa untuk berkunjung ke Jerman dalam beberapa jam ke depan. “Harus jadi hari ini juga. Saya harus berangkat ke Jerman,” katanya mengulang perkataan kepada sang duta besar. Ia mengucap lagi kalimat tersebut saat menjadi bintang tamu acara bincang santai Rosi di Kompas TV.

Sang duta besar kebingungan. Habibie tetap memaksa. Ainun sakit keras dan Habibie baru saja mengetahui hal itu. Usai MRI, Ainun yang telah sadar mencoba menenangkan dengan berkata pada suaminya bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Namun Habibie menjawab dengan perkataan “ovarium stadium 3-4,” mendengar itu Ainun hanya terdiam, ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kondisi kesehatannya.

“Saya tidak mau mati di luar negeri,” kata Ainun kepada Habibie. Ainun bersedia pergi bila sang suami berjanji akan membawa dirinya kembali ke Jakarta pada Desember 2010 agar bisa menghadiri rapat Bank Mata, organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi para tunanetra. Ainun aktif di sana. Ia yang membuat lembaga ciptaan Tien Soeharto itu kembali berfungsi. Habibie siap memegang komitmen tersebut.

Namun janji itu urung ditepatinya, Ainun wafat pada 24 Maret 2010 di Jerman setelah menjalani sembilan kali operasi.

Selama sakit tak sedikitpun Habibie meninggalkan Ainun, begitu pula saat Ainun meninggal. Ini menjadi hantaman badai besar bagi kehidupan Habibie. Setiap hari selama 100 hari pertama, Habibie ziarah ke makam sang isteri. Setiap malam ia tidur ditemani anak dan cucu. Bahkan setelahnya selama seminggu sekali ia tetap berkunjung ke makam isterinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk mengganti bunga yang mulai layu di atas makam Ainun.

Kepedihan ditinggal istri membuat Habibie menderita penyakit psikosomatis. Dokter berkata, bila Habibie tidak melakukan apapun untuk tubuhnya, ia bisa menyusul Ainun dalam waktu tiga bulan.

“Bapak kehilangan orang yang bisa melindunginya. Ibu punya insting tajam. Dia bisa membisikkan Bapak, menjauhkannya dari hal-hal jahat yang muncul di sekitarnya. Pasangan ini bisa memberi nilai untuk satu sama lain. Pernikahan ialah kerja keras dan tidak semua berakhir baik. Ibu dan Bapak ialah dua orang cerdas dan dewasa sehingga mereka bisa melalui ini,” kata Gina S. Noer, penulis skenario film Habibie & Ainun.

Habibie memilih bangkit dan berupaya menyembuhkan diri dengan menulis kisahnya bersama Ainun. Buku berjudul Habibie & Ainun terbit pada November 2010.

Setelah melalui perjuangan panjang bertahan tanpa ada sang isteri yang mendampinginya, Rabu 11 September 2019 pukul 18.05 Habibie menghembuskan nafas terakhir, menyusul Ainun di keabadian.

Baca juga artikel terkait BJ HABIBIE atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Yantina Debora