Menuju konten utama
21 Agustus 1945

Kisah Bahariawan Indonesia Merebut Kantor Kelautan Jepang

Tanggal 21 Agustus 1945 adalah hari penting Ditjen Perhubungan Laut (HUBLA).

Kisah Bahariawan Indonesia Merebut Kantor Kelautan Jepang
Ilustrasi pemuda Republik mengambil alih angkatan laut Jepang. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Seingat Sudiro, Kepala Perhubungan zaman Jepang di Jakarta adalah pemilik mobil terbaik di Indonesia. Mereknya Buick, 7 kursi, berwarna hitam.

“Mobil tersebut oleh pemiliknya diparkir di kantor Perhubungan,” aku Sudiro dalam buku kumpulan tulisannya, Pelangi Kehidupan (1986:547).

Kantor Perhubungan yang dimaksud adalah Kantor Oeroesan Laoet, terletak di seberang stasiun Gambir. Mobil itulah yang diambil Sudiro dan kawan-kawan, sekitar tanggal 20 Agustus 1945, untuk dijadikan mobil presiden pertama Indonesia. Kisah Sudiro adalah peristiwa penting usai proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebelumnya, gedung tersebut adalah milik maskapai pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Arsitek Gedung itu, menurut buku Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2009:140) adalah Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882-1947). Setelah Hindia Belanda menyerah kalah, Jepang mengambil alih Gedung ini dan dijadikan Kantor Oeroesan Laoet pendudukan Jepang.

Kantor Oeroesan Laoet itu kelak didatangi orang-orang Indonesia—yang sehari-hari bergelut di pelabuhan dan pelayaran. Mereka ditemani oleh siswa-siswa dari Sekolah Pelayaran di Jakarta. Guru terkenal di sekolah tersebut antara lain: Raden Eddy Martadinata (1921-1966) dan Mas Pardi (1901-1968). Keduanya pernah jadi orang penting di Angkatan Laut. Martadinata adalah Menteri/Panglima Angkatan Laut (Menpangal) dari 1959 hingga 1966. Sementara Mas Pardi adalah Kepala Staf Umum TKR Laut, dari 1945—awal berdiri Angkatan Laut—hingga 1946.

Para bahariawan Indonesia itu, sukses mengambil-alih kantor tersebut dari tangan orang-orang Jepang. Peristiwa pengambil-alihan kantor kelautan Jepang ini sebetulnya peristiwa penting bagi dunia pelayaran Indonesia. Ini usaha penegakan kedaulatan kelautan Indonesia.

Namun, para bahariawan itu tak bisa bekerja dengan nyaman di kantor tersebut. Serdadu-serdadu NICA dari golongan KNIL punya markas yang tidak jauh dari kantor tersebut, yakni di bekas Batalyon Infanteri X sebelum Perang Dunia II yang terletak di sekitar Hotel Borobudur sekarang. Sejak awal 1946, ibukota RI sudah pindah ke Yogyakarta. Banyak para pelaut pro kemerdekaan Indonesia yang hijrah ke Yogyakarta.

“Dalam tahun 1946 di Yogyakarta didirikan Djawatan Oeroesan Laoet Seloeroeh Indonesia (DJOLSI) dalam lingkungan Kementerian Pertahanan Indonesia,” tulis IO Nanulaita dalam buku Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, Teknokrat Utama (2001:81).

Jawatan ini kemudian beralih ke Kementerian Perhubungan. Di tahun 1947 DJOLSI dihapuskan. Di Kementerian Perhubungan kemudian terdapat Djawatan Pelajaran (Jawatan Pelayaran), di bawah komando Ir Djuanda Kartawidjaja.

Di masa revolusi badan-badan ini tak bisa bekerja seperti saat perhubungan laut di masa sekarang. Sementara itu, di daerah pendudukan Belanda, terdapat Lembaga semacam ini, yakni Dienst van Scheepvaart (dinas pelayaran) yang berada di bawah Departemen van Marine (Departemen Kelautan).

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, di Indonesia hanya ada Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum—di bawah Herling Loah. Seperti dicatat, di dalam kementerian tersebut terdapat Departemen Pelajaran (Departemen Pelayaran)—yang terdiri dari bekas Dienst van Scheepvaart, dan Djawatan Pelajaran RI.

Di tahun 1954, berdasar Keppres No. 137 tanggal 10 April 1954, dibentuklah Direktorat Pelajaran (Direktorat Pelayaran) yang bertugas mengkoordinir pekerjaan jawatan-jawatan dan bagian dari Kementrian Perhubungan yang Menterinya Abikusno Tjokrosujoso.

Direktorat ini terdiri dari Djawatan Pengawasan Pelajaran, dan Kantor Pelajaran Niaga dan Djawatan Pelabuhan. Kemudian pada 1957 terbentuk Kementerian Pelayaran. Kementrian Pelayaran hanya berumur dua tahun. Berdasar Keputusan Presiden No. 153 tanggal 10 Juli 1959, muncul Departemen Perhubungan Laut yang dipimpin Menteri Muda Perhubungan Laut, yang terkoordinasi di bawah Menteri Perhubungan.

Raden Ir. Abdoelmoettalip Danoeningrat adalah salah satu orang yang pernah menjadi Menteri Muda Perhubungan Laut, antara 1960 hingga 1963—dalam tiga kabinet yang disebut Kabinet Kerja pimpinan Djuanda. Selain mengisi jabatan itu, pernah juga dia menjadi sekretaris jenderal di Kementerian Perhubungan. Departemen Perhubungan Laut ini sering diisi orang-orang dari Angkatan Laut. Laksamana Mohamad Nazir (1910-1982), antara 1957 hingga 1959 pernah menjadi Menteri Pelayaran.

Ali Sadikin, perwira dari Korps Komando (KKO) alias Marinir dan dikenal sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, juga pernah menjadi Menteri Perhubungan Laut. Ali mengisi jabatan ini dari 1963 hingga 1966, sebelum dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Nama jabatannya yang diemban Ali adalah Menteri Maritim.

Ali kemudian digantikan Jatidjan (1926-2008). Pengganti Jatidjan adalah Komodor Susatyo Mardhi, sebelum pensiun pernah menjadi Deputi Menteri merangkap Departemen Perhubungan Laut (Deparla). Pernah juga dia menjadi Pembantu Menteri Bidang Operasi di Perhubungan Laut. Pangkat terakhir Mardhi adalah Laksamana Madya. Mardhi orang terakhir pemimpin departemen perhubungan laut yang disebut maritim itu.

Infografik Mozaik Angkatan Laut

Infografik Mozaik Angkatan Laut Mengambil alih Jepang. tirto.d/Nauval

Orang lain yang pernah bekerja di Departemen Pelayaran atau Perhubungan Laut ini adalah: Abdul Rachman Atmosuridjo.

“Semenjak 1957 di Kementerian Pelayaran, selaku Sekretaris Kementerian. Kemudian berturut-turut Kepala Biro Materil,” aku Abdul Rachman—yang pernah jadi pelaut pemerintah kolonial dan kepala intel Kementerian Pertahanan Bagian V—kepada Tempo (28/01/1978).

Dalam buku Transactions of the Royal Institution of Naval Architects, Volume 105 (1963:153) Abdul Rachman disebut pernah menjadi Asisten Menteri Perhubungan Laut Republik Indonesia.

Nuansa angkatan laut di departemen ini lumayan kental juga. Abdul Rachman, yang pernah menjadi pelaut sipil pemerintah kolonial dan Kolonel Angkatan Laut, menyebut: para pelaut di Deparla yang golongannya F-6 lazim disebut komodor.

Jawatan Perhubungan Laut, setelah tak menjadi setingkat departemen lagi, kini berada sebagai bagian Departemen lalu Kementrian Perhubungan, dengan nama Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut (Hubla). Kantor yang terkenal itu masih terletak di seberang stasiun Gambir, yang dulu diambil-alih pemuda bahariawan Indonesia pada 21 Agustus 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono