Menuju konten utama
8 November 1984

Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak

Setelah peristiwa penyiksaan yang menewaskan Arie Hanggara, kekerasan orang tua terhadap anak masih terus terjadi.

Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak
Arie Hanggara. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - “Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?”

Rangkaian kalimat itu ditulis Tempo edisi Desember 1984 untuk artikel utama tentang seorang anak kecil yang dibunuh orang tuanya.

Arie Hanggara, bocah itu, terlahir sebagai anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Saat rumah tangga orang tuanya berantakan, Arie bersama dua orang saudaranya dibawa sang ayah untuk hidup bersama perempuan lain bernama Santi.

Perempuan ini banyak dikabarkan sebagai ibu tiri Arie dan saudara-saudaranya. Namun dalam laporan Tempo edisi 13 April 1985, ayahnya dan Santi belum resmi sebagai pasangan suami istri meski telah tinggal bersama. Masyarakat yang menganggap Santi sebagai ibu tirinya kelak akan menjadikan status “ibu tiri” sebagai mimpi buruk bagi anak-anak.

Arie bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Ayahnya menganggur selepas usahanya bangkrut dan Santi bekerja kantoran. Menurut Khadidjah, guru Arie, bocah kelas 1 sekolah dasar itu seorang periang dan mudah bergaul. Sementara Santi dan ayahnya menganggap Arie sebagai anak yang nakal. Konon, beberapa kali mereka mendapati Arie mencuri uang.

Karena kesal dengan perbuatan Arie, Ayahnya dan Santi kerap menyiksanya. Arie dipukul, ditendang, ditampar, disuruh jongkok dan berdiri secara terus-menerus sampai kelelahan, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan dikurung di dalam kamar mandi.

Meski Arie sering mendapat perlakuan seperti itu, menurut Khadidjah, Arie tidak memperlihatkan dirinya mengalami tekanan mental. Jika luka di tubuhnya ketahuan oleh guru, ia menjawabnya karena jatuh.

Tanggal 8 November 1984, tepat hari ini 35 tahun lalu, adalah hari terakhir dalam hidup Arie. Setelah disiksa sedari siang, pada malam hari ia disuruh menghadap tembok, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan tidak diperbolehkan makan serta minum.

Karena sudah tidak mampu lagi menanggung derita, Arie akhirnya roboh. Bocah berusia tujuh tahun itu tak berdaya. Saat ayahnya terbangun dan hendak ke kamar mandi, ia mendapati Arie telah terkapar dan membawanya ke rumah sakit. Di perjalanan, Arie meninggal dunia.

Jenazah Arie dipenuhi 40 luka yang menyebar di hampir sekujur tubuhnya: di punggung, pinggang, pantat, dada, tengkuk, dan yang terbanyak di kedua lengan. Arie Hanggara dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Di samping kanan dan kiri nisannya, terdapat tulisan “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama”. Penyesalan yang tentu saja sudah terlambat.

Duka Nasional

Peristiwa ini sontak mengundang banyak perhatian masyarakat. Sejumlah media menjadikannya sebagai kabar utama. Proses rekonstruksi yang digelar kepolisian dihadiri masyarakat yang berjubel dan mengutuk para pelaku.

Setelah menjalani proses persidangan, akhirnya vonis dijatuhkan. Machtino Eddiwan, ayah Arie, divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara Santi divonis 2 tahun penjara. Hukuman terhadap Santi yang lebih ringan karena ia dianggap hanya membantu Machtino Eddiwan dalam melakukan penganiayaan.

Gaung peristiwa ini begitu besar. Saat internet belum masuk ke Indonesia dan media informasi lain seperti televisi, radio, serta surat kabar belum tersebar merata ke pelbagai daerah, kabar tewasnya Arie Hanggara si bocah malang sampai juga ke pelosok yang jauh.

Pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang saat itu dijabat Nugroho Notosusanto, sempat hendak memasang patung Arie Hanggara di depan kantor kementerian tersebut. Patung yang dibuat Edhi Sunarso—pematung yang juga membuat Patung Pancoran—itu dimaksudkan sebagai pengingat agar peristiwa serupa tidak terulang.

Namun patung itu akhirnya batal dipasang karena diprotes pihak keluarga, terutama ibu kandungnya, yang menganggapnya hanya akan mengabadikan luka.

“Aduh, gemetar saya melihat foto patung Arie di koran-koran. Saya tak mau anakku dipatungkan begitu menyedihkan. Tolonglah, jangan bikin saya menangis lagi,” ucap Dahlia, ibu kandung Arie, seperti dikutip Kompas edisi Jumat, 11 Januari 1985.

Karena perhatian masyarakat kepada peristiwa ini begitu besar, insan perfilman nasional mengangkat kejadian ini ke layar lebar. Awal 1985, film berjudul “Arie Hanggara” menguras air mata ribuan penonton.

Selain lewat film, ingatan masyarakat terhadap peristiwa tewasnya Arie Hanggara karena siksaan orang tua ini juga dirawat lewat album tema film. Lagu sendu berjudul “Alam Bebas Yang Damai” ciptaan Idris Sardi ini menghantui ingatan masyarakat.

“Di malam ini hati terasa sunyi seorang diri/Menanti pagi yang riang membawa sepi di malam hari/Sedih terasa di malam dingin ini dalam rinduku/Menanti pagi tersenyum membawa harapan hati ini”

Arie Hanggara Bukan yang Terakhir

Kematian Arie Hanggara yang bergema amat kuat dan menjadi peringatan bagi masyarakat dan penegak hukum tentang kekerasan terhadap anak nyatanya tak bisa mencegah perkara serupa terulang.

Warsa 1987, di Desa Pantai Raja, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, seorang ibu tiri bernama Rosina Boru Siregar melakukan kekerasan terhadap anaknya, Imanwanto, yang berusia 3 tahun 2 bulan. Bocah tersebut akhirnya meregang nyawa.

Menurut laporan Tempo edisi 1 Agustus 1987, kemarahan Rosina tak terbendung karena Imanwanto kerap buang air besar di celana dan kotoran bocah itu berceceran di lantai.

Dalam kondisi tengah hamil muda, Rosina memukuli tubuh anaknya dengan gagang sapu ijuk berkali-kali. Imanwanto menangis dan badannya menegang karena deraan gagang sapu itu seolah tak mau berhenti. Ia kemudian tak sadarkan diri.

Karena kampung tempat Rosina dan keluarganya tinggal terbilang jauh dari keramaian, warga masih memercayai hal-hal mistis. Dengan alasan itulah Rosina menganggap Imanwanto yang pingsan karena diganggu setan.

Bocah itu kemudian dibawa ke dukun dan diguyur air santan yang dianggap sebagai penangkal gangguan makhluk gaib dan guna-guna. Namun, kondisinya justru semakin parah. Karena tak berangsur pulih, akhirnya sore hari Imanwanto dibawa ke Rumah Sakit Umum Pekanbaru. Tapi maut keburu menjemputnya.

Sejumlah kejanggalan pada jasad Imanwanto membuat curiga dokter rumah sakit. Jenazah bocah itu tak segera diizinkan dibawa pulang, tapi bersama polisi dilakukan pemeriksaan. Hasilnya diketahui bahwa kematian Imanwanto disebabkan benturan benda keras di belakang kepala.

Memasuki tahun 1990, tepatnya pada bulan Agustus, kejadian sama menimpa Yudha Arnoldi yang masih berusia 5 tahun setelah dianiaya ayahnya, Hermansyah Johan. Peristiwa kekerasan terhadap anak ini terjadi di Perum Pondok Rejeki, Kuta Bumi, Tangerang.

Karena tak mau berbicara dengan ibunya setelah dimarahi, Yudha disiksa ayahnya dengan cara ditampar, dipukul, dan diinjak-injak.

“Dengan bersemangat, ia meninju dada bocah kecil itu hingga terjengkang. Lantas lelaki itu menginjak punggung darah dagingnya itu,” tulis Tempo edisi 11 Agustus 1990.

Orang tua Yudha baru panik saat dirinya telah terkapar. Mereka kemudian membalur tubuh Yudha dengan kayu putih dan alkohol. Karena kondisinya semakin mengkhawatirkan, Hermansyah berniat membawanya ke rumah sakit, tapi dilarang oleh istrinya.

Pukul 02.30 dinihari, saat Hermansyah hendak ke kamar mandi, ia mendapati Yudha telah meninggal dunia. Pasangan ini semula berbohong kepada tetangganya bahwa anaknya meninggal karena sakit panas dan kejang. Namun, akhirnya ia mengaku dan dicokok aparat kepolisian.

Jenazah Yudha yang telah dikubur kemudian dibongkar. Dokter yang mengautopsinya melaporkan bahwa terdapat jejak kekerasan benda tumpul pada jenazah itu. Injakan kaki ayahnya mengakibatkan empat tulang iga punggung bagian kanan menusuk paru-paru Yudha hingga robek.

Akibat perbuatannya, Hermansyah dijatuhi hukuman selama 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan.

Enam tahun setelah kasus kekerasan yang menimpa Yudha, di Kampung Pusponjolo Selatan, Semarang, seorang bocah bernama Mathius Fernando hampir tewas karena didera siksaan oleh orang tuanya.

Dilansir dari Gatra edisi Januari 1996, bocah berusia tiga tahun itu ditemukan tak berdaya di bawah tempat tidur rumahnya. Bibirnya pecah, kaki kanannya memar, dan sebagian dadanya memutih bekas siraman air panas.

“Kalau sedetik saja terlambat, anak ini mungkin sudah tewas,” kata Mersia, nenek Fernando.

Oleh Partahi Sinaga (ayahnya) dan Wargiyanti (ibunya), Fernando dinilai bandel dan menjengkelkan. Tetangganya kerap melihat beberapa bagian tubuh bocah itu membiru dan lebam.

Semula, Partahi Sinaga selalu mengelak jika ditanya soal kondisi anaknya. Ia malah berang jika ada yang menanyakan hal itu. Para tetangganya kemudian melakukan pengamatan dan berhasil mengintip Partahi Sinaga dan istrinya tengah menyiksa Fernando.

Bocah itu disiksa dengan tendangan hingga kepalanya membentur tembok dan disuruh untuk meloncat, jongkok, dan berdiri dengan kedua tangannya di belakang kepala hingga dini hari. Sampai pada suatu hari Fernando diselamatkan neneknya dan akhirnya kasus ini diserahkan kepada aparat kepolisian.

Kasus demi kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua—sejak peristiwa terbunuhnya Arie Hanggara—seolah-olah jadi teror tak berkesudahan.

Belakangan, kasus serupa yang skala gegernya cukup besar adalah meninggalnya Angeline (8 tahun) di Bali pada 2015. Margriet Cristina Megawe, ibu angkat Angeline yang menjadi salah satu terdakwa, divonis hukuman seumur hidup. Lalu yang terbaru adalah kasus yang menimpa bocah berusia 1,5 tahun yang terjadi di Karawang.

Infografik Mozaik Arie Hanggara

Infografik Mozaik Arie Hanggara. tirto.id/Nauval

Masyarakat Harus Lebih Aktif Melindungi

Sepanjang 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya hingga bulan Mei terjadi 32 kasus kekerasan terhadap anak berupa kekerasan fisik seperti dipukul, disekap, disuluti rokok, ditanam hidup-hidup, hingga diracun. Sejumlah kasus ini menyebar di Jawa, Sumatra, Sulawesi, hingga Papua. Dan itu bisa jadi hanya fenomena gunung es.

Dari beberapa kasus yang telah disebutkan dalam artikel ini, relasi orang tua dan anak yang sangat otonom dan tindakan kekerasan yang terjadi di wilayah domestik rumah tangga kerap menyulitkan penegak hukum dan masyarakat untuk mencegahnya. Publik biasanya tahu setelah korban jatuh.

Namun, masyarakat juga sebetulnya bisa lebih aktif seperti yang dilakukan warga Kampung Pusponjolo Selatan, Semarang. Mereka langsung bergerak mengawasi jika ada kecurigaan kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang-orang terdekatnya, terutama orang tua.

Ya, peran aktif anggota sosial memang sangat diperlukan. Karena jika tidak, barangkali anak-anak kita tinggal menunggu giliran.

“If you tolerate this then your children will be next,” tulis Manic Street Preachers, band asal Blackwood, Wales.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Desember 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan