Menuju konten utama

Kisah Anak-Anak HIV/AIDS Berkawan dengan Hinaan dan Stigma

Edukasi yang minim soal penyebaran HIV/AID menjadi faktor tingginya stigma dan diskriminasi pada anak dengan HIV/AIDS.

Kisah Anak-Anak HIV/AIDS Berkawan dengan Hinaan dan Stigma
Ilustrasi HIV pada anak. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dua bocah berlarian di belakang panggung, saling lempar sobekan kertas yang diremas sekepalan tangan. Nampaknya mereka tak peduli kalau esok adalah hari Senin. Sekolah selalu jadi tempat yang tak membawa memori indah bagi keduanya.

Keceriaan mereka terlihat kontras dengan atmosfer sekitar. Malam itu orang-orang ingin merayakan patah hati, gandrung menunggu Didi Kempot menyanyikan lagi-lagu perpisahan. Tapi Ari dan Jibril cukup bahagia karena bisa main lebih malam daripada biasanya. Saya iseng mendekati mereka, hendak mengingatkan soal pekerjaan rumah, atau tugas apapun--yang mungkin tersisa dari minggu kemarin.

“Masih sekolah, kelas 2,” kata salah satu bocah yang bernama Ari, delapan tahun, menjawab basa-basi saya. Sambil malu-malu ia melirik ke arah kawannya.

Jibril tahu bahwa sekarang gilirannya bicara. Ia langsung mematikan gimbot dan membenarkan posisi duduk. Bocah sembilan tahun itu bercerita nanti ingin jadi petugas pemadam kebakaran. Dalam bayangannya petugas pemadam begitu keren dan heroik saat beraksi menerjang dan bergulat dengan si jago merah.

“Kalau aku mau jadi pemain basket, soalnya suka main basket,” samber Ari.

Ari memang lebih cerewet ketimbang Jibril. Selepas ngobrol singkat dengan saya, Jibril langsung pergi bermain gimbot. Sepertinya ia malas harus berteriak-teriak agar terdengar satu sama lain. Sementara Ari masih mondar-mandir mengajak saya main dan ngobrol, meski di luar sana konser makin riuh ketika Didi Kempot membawakan senandung “Suket Teki”.

Jibril dan Ari adalah salah satu anak asuh di Yayasan Lentera Surakarta. Rumah penampungan yang dibentuk Puger Mulyono dan kawan-kawannya untuk anak-anak dengan HIV/AIDS. Malam itu mereka ikut Puger ke Yogyakarta, menjadi salah satu tamu khusus di perayaan Hari AIDS Sedunia yang diadakan oleh DKT Indonesia.

“Ya Jibril sama Ari itu sudah puluhan kali keluar masuk sekolah. Mungkin lebih dari 20 kali,” ungkap Puger.

Nasib serupa tak cuma dirasakan kedua anak itu, tapi semua anak asuh di Lentera Surakarta. Mereka harus menyembunyikan identitas sebagai anak dengan HIV/AIDS selama bersekolah. Jika terbongkar, maka tak pelak diskriminasi mereka dapatkan. Setiap satu-dua minggu, Jibril, Ari, dan anak-anak lain terpaksa pindah sekolah lantaran mendapat penolakan.

Paling sedikit anak-anak itu sudah merasakan 4-5 kali sekolah yang berbeda di tahun-tahun hidupnya. Mereka dipaksa mengundurkan diri karena rasa takut para guru dan orangtua siswa. Pemikiran usang kelompok yang mendiskriminasi orang-orang dengan HIV/AIDS masih percaya bahwa virus human immunodeficiency bisa menular lewat interaksi sosial.

“Mereka sebetulnya sudah bosan sekolah karena keluar-masuk. Tapi saya selalu bujuk, bilang akan dapat sekolah yang lebih bagus.”

Diusir dari Sekolah dan Depresi

Air muka Puger terasa datar saja saat berkisah tentang dua anak asuhnya yang lain, yang meninggal karena tak kuat melawan infeksi virus. Mungkin ia sudah sering melewati hari-hari kehilangan yang berat sehingga energinya sudah terkuras saat harus merunut kembali cerita yang sama. Selama tujuh tahun dedikasinya merawat anak-anak dengan HIV/AIDS, dua belas anak asuhnya meninggal dunia.

“Sedih mereka karena dijauhi teman-temannya, berkali-kali harus adaptasi lingkungan baru, stres. Dua anak meninggal setelah dikeluarkan (sekolah),” ujarnya.

Kejadian itu belum lama berlangsung. Awal 2019 lalu, 14 anak asuh Lentera Surakarta dikeluarkan massal karena mendapat penolakan dari orangtua murid. Mereka mengancam akan memindahkan anaknya ke sekolah lain jika tuntutannya tidak digubris.

Meski pihak sekolah saat itu sudah memberikan sosialisasi soal penularan HIV, nyatanya usaha itu sia-sia belaka. Puger terpaksa menarik anak asuhnya dari SDN Purwotomo Surakarta. Berminggu-minggu anak-anak itu tidak bersekolah, sampai kemudian Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo turun tangan dan mencarikan sekolah untuk anak-anak tersebut.

“Ya mereka (anak-anak) bilang, ‘sudah tidak usah sekolah pak, capek begini terus’.”

Stigma, diskriminasi, bahkan perundungan sangat lekat dan diterima anak-anak dengan HIV/AIDS. Menurut penelitian yang terbit di Jurnal PLOS, anak-anak kelas 7 (1 SMP) sebagian besar (33-42 persen) percaya teman mereka yang HIV-positif tidak boleh melanjutkan sekolah. Lalu sebanyak 1-2 anak dari sepuluh siswa memilih menghindari anak yang memiliki HIV/AIDS.

“Anak-anak dari sekolah di wilayah pedesaan lebih diskriminatif dibanding mereka yang bersekolah di kota,” demikian kesimpulan peneliti.

Studi lain oleh Pamela Surkan, dkk (2011) juga mengungkap, stigma menjadi pemicu kuat gejala depresi pada anak dengan HIV/AIDS. Padahal, hubungan sosial seperti tinggal serumah/satu kelas dengan individu terinfeksi HIV, berenang, bermain bersama, berjabat tangan, makan bersama, berciuman, tergigit nyamuk, atau berpelukan, tidak menularkan HIV.

Pekerjaan rumah lain bagi Puger adalah menjelaskan kondisi kesehatan anak-anak asuhnya. Mereka yang berumur sepuluh tahun mulai menanyakan penyakitnya dan alasan harus minum obat setiap hari. Puger selalu berusaha mengulur waktu. Pelan-pelan ia menjelaskan bahwa ada makhluk hidup lain yang hidup berdampingan di dalam tubuh si anak.

“Pernah ada yang bilang, ‘Mending saya mati sekarang’. Tapi saya katakan kamu harus jadi dokter dulu untuk bisa memutuskan berhenti atau lanjut minum obat.”

Puger juga sudah pernah mendatangkan tenaga ahli untuk mengurangi gejala depresi akibat stigma yang didapat anak asuhnya. Tapi program tersebut terhenti di tengah jalan karena sesuatu hal. Akibatnya selepas mendapat konseling, Puger menuturkan luka lama anak asuhnya seperti dikorek kembali.

Mereka jadi mempertanyakan dari mana asal penyakitnya. Lalu berkesimpulan bahwa orangtua kandungnya tidak berperilaku baik. Bahkan ada yang sampai menyalahkan Tuhan atas hidup mereka.

“Kenapa harus saya yang mendapatkan ini? Lalu untuk apa saya beribadah?”

Infografik HIV pada anak

Infografik HIV pada anak. tirto.id/Fuadi

"Mahluk Gaib Lebih Manusiawi"

Pada 2012, Puger Mulyono, seorang tukang parkir di Solo pertama kali memutuskan merelakan sebagian hidupnya untuk merawat anak dengan HIV/AIDS. Sejak tahun 2006 ia sudah menjadi relawan pendamping di Yayasan Mitra Alam, Solo, yayasan nirlaba yang fokus memberikan edukasi HIV/AIDS, terutama kepada pecandu narkoba suntik.

Kala itu Puger baru saja menyelesaikan pendampingan ketika seorang temannya yang bertugas di rumah sakit membawa kabar duka. Seorang bayi berumur satu tahun dirujuk karena positif HIV, orangtuanya sudah meninggal, dan keluarga besarnya tak mau lagi merawat sang bayi. Puger akhirnya tergerak membayar semua biaya rumah sakit dan membawa pulang si bayi.

Semenjak itu hanya perlu hitungan bulan anak-anak asuh lain terus berdatangan. Dalam waktu setahun ia sudah menerima 16 anak dengan HIV/AIDS untuk diurus. Tak ada biaya yang diberikan keluarga atau dinas sosial setempat kepada Puger. Semua kebutuhan anak asuhnya ia cukupi dari hasil memarkirkan kendaraan.

“Ya rata-rata keluarganya tidak mau urus, karena jika sudah sampai tahap AIDS kondisi fisiknya tidak bagus, ada yang luka belatungan, macam-macam lah.”

Kini Puger mengasuh 32 anak dalam satu rumah. Karena rumahnya tak lagi muat, ia lalu menjual motor dan menyewa sebuah bangunan. Pada 2015 masyarakat sekitar mulai tahu bahwa Puger memelihara anak-anak dengan HIV/AIDS. Saat itulah warga mulai melakukan penolakan. Rumah Puger didemo, dilempari batu, akses jalan ditutup.

Bahkan perangkat desa dari Ketua RT hingga lurah setempat tak mau menandatangani dokumen legalitas yayasan. Padahal Puger membutuhkannya sebagai syarat mendapat bantuan dana dari pemerintah. Akhirnya dengan terpaksa mereka berpindah-pindah tempat hingga empat kali dalam kurun waktu empat tahun.

“Makanan kami itu hinaan dan cacian, kenyang. Tapi ya sudah pindah saja supaya tidak ribut.”

Puger bahkan kesulitan mendapat kendaraan umum untuk membawa anak-anak asuhnya berobat. Semua menolak dengan alasan takut tertular. Untungnya pemerintah daerah kemudian membantu pembangunan rumah singgah di area Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti.

Kini Puger juga telah memiliki mobil dari hasil sumbangan donatur. Anak-anak itu tak perlu lagi takut diusir atau mendapat diskriminasi. Puger kemudian berkelakar, makhluk gaib jadi terasa lebih manusiawi bagi mereka ketimbang manusia sendiri.

Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf