Menuju konten utama
28 November 1998

Kisah Ahmad Husein, "Anak" Sukarno yang Paling Nakal

Karena terlibat PRRI, Ahmad Husein pernah menjadi tahanan militer. Setelah bebas, ia menjadi pengusaha.

Kisah Ahmad Husein,
Ilustrasi Mozaik Kol. Ahmad Husein. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada Jumat di bulan Februari 1964--berstatus sebagai tahanan militer--Ahmad Husein dibawa ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno. Di sebuah ruangan, ia telah ditunggu presiden, para wakil perdana menteri, dan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku Kepala Staf Angkatan Darat. Begitu ia masuk, Sukarno memperkenalkannya kepada para pejabat tersebut.

”Husein ini anak saya yang paling nakal,” ujar Sukarno.

Mereka kemudian berbicara tentang masa lalu pada paruh kedua tahun 1950-an yang penuh pergolakan. Ahmad Husein adalah salah seorang pemimpin militer Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berontak kepada pemerintah pusat. Ia beralasan bahwa pusat kurang menyejahterakan daerah, dan itulah akar PRRI. Meski demikian, bagi Husein, Sukarno ternyata yang menginspirasinya.

”Saya menanggapi pidato yang bapak ucapkan sendiri. Waktu itu bapak pernah mengatakan, kalau saya pemuda, saya akan berontak kepada keadaan ini. Kalau semua yang saya dan kawan-kawan lakukan itu suatu kesalahan, katakanlah pemberontakan, tapi pemberontakan terhadap kekacauan di waktu itu…” kata Husein kepada Sukarno, sebagaimana ditulis Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein Perlawanan Seorang Pejuang (2001:383).

Mendengar penjelasan Husein, Sukarno tertawa. Ia dan jajarannya setengah memaafkan Husein atas keterlibatannya dalam PRRI dan berharap permusuhan di antara mereka diakhiri.

Penembak Jitu

Ahmad Husein lahir pada 1 April 1925. Ia sekolah di HIS dan MULO milik Taman Siswa. Ayahnya yang bernama Kahar Mak Uncu bekerja di rumah sakit KNIL di Padang sebagai asisten apoteker, dan salah seorang tokoh Muhammadiyan Padang. Sejak kecil, Ahmad Husein aktif di Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah.

Perang yang berkecamuk di Pasifik membuat sekolahnya berantakan. Tak lama kemudian Jepang menduduki Hindia Belanda dan Husein ikut dididik kemiliteran oleh para tentara fasis itu. Ia mengikuti pendidikan calon sersan tentara sukarela (Gyugun). Menurut Buchari Buchok, kawannya, sebagaimana ditulis Mestika Zed dan Hasril Chaniago (2001:28), ”Ia (Husein) kelihatan takut atau mungkin ragu-ragu untuk memungut kartu hijau bagi calon opsir.”

Setelah menyelesaikan pendidikan, ia ditempatkan di kompi artileri Pariaman. Dalam buku Profil 200 Tokoh Aktivis & Pemuka Masyarakat Minang (1995:223) disebutkan bahwa komandan kompinya adalah Ismael Lengah, dan regu yang dipimpin Husein ”merupakan penembak tepat nomor satu” dalam ujicoba tembak langsung maupun tembak melengkung.

Tak lama jadi sersan, Husein kemudian menjadi letnan sebelum akhirnya Jepang kalah pada tahun 1945. Husein kemudian dijadikan komandan pasukan meriam di sekitar pantai Padang.

Kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan mendorong rakyat Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005:139), Ahmad Husein adalah salah satu pembantu Jazid Abidin selaku pimpinan BKR Padang yang memimpin 800 anggota. Di front Padang, Husein menjadi salah satu komandannya.

Semasa revolusi, pasukan yang dipimpinnya dikenal sebagai Harimau Kuranji, dan ia menjadi salah satu legenda dalam revolusi kemerdekaan di Padang. Maka itu, ia dihormati hingga bertahun-tahun setelah revolusi usai.

Sekali waktu, Husein pernah lolos dari pemeriksaan tentara Belanda yang mengiranya anak sekolah karena ia bercelana pendek. Saat itu, usianya baru sekitar 20 tahun. Padahal menurut Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an (2007:200), kala itu Husein muda telah menjadi Komandan Resimen III dalam Divisi Banteng.

Sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda, pemuda Minangkabau adalah orang-orang yang enggan menjadi serdadu KNIL. Dalam catatan sejarah, hanya Kanido Rachman Masjur yang bisa jadi kadet di Akademi Militer Breda sebelum tahun 1942. Kehadiran Ahmad Husein di kalangan militer mengurangi kelangkaan itu.

Setelah pengakuan kedaulatan, pangkat Husein di TNI diturunkan dari letnan kolonel menjadi mayor. Dan pasukan yang dipimpinnya pun berubah, dari resimen menjadi batalion. Namun tak lama kemudian pangkatnya naik lagi menjadi Letnan Kolonel saat ia menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 di Sumatra Barat, yang menjadi bagian dari Tentara Teritorium (TT) Bukit Barisan.

Infografik Mozaik Ahmad Husein

Infografik Mozaik Ahmad Husein. tirto.id/Sabit

Diombang-ambing Politik

Pada era 1950-an, komandan tentara di daerah punya potensi menjadi warlord atau setidaknya menjadi orang yang ditakuti sipil, salah satunya Ahmad Husein. Gusti Asnan menyebutnya sering bertindak di luar kontrol.

“Parada Harahap menyaksikan kesebelasan Batalyon Harimau Kuranji pimpinan Ahmad Husein bertanding, dan bermain kasar, segera Harahap menulis ke surat kabarnya. Berita itu terbaca oleh Ahmad Husein dan membuatnya berang,” tulis Asnan. Harahap kemudian dihajar dan ditahan atas perintah Husein.

Sebagai komandan resimen di daerah bekas Divisi Banteng, Husein menjadi salah satu orang penting di Sumatra Barat. Namanya, seperti disebut Asnan, pernah muncul sebagai calon Gubernur Sumatra Tengah yang diusulkan oleh Nahdlatul Ulama (NU)--organisasi yang tidak mengakar di Sumatra Barat.

Husein yang sangat berpengaruh di kalangan tentara di Sumatra Barat, segera menjadi bagian dari tokoh oposisi yang tidak puas kepada pemerintah pusat. Ia pun identik dengan Dewan Banteng, yang seperti dewan-dewan lainnya, menuntut otonomi daerah.

Setelah Kolonel Maludin Simbolon berhenti sebagai Panglima TT Bukit Barisan, ia segera mendatangi Ahmad Husein untuk mengajaknya bergabung dengan PRRI.

Keterlibatannya dalam PRRI membuat Ahmad Husein dipecat dari ketentaraan. Ia selanjutnya menjadi tahanan militer hingga kejatuhan Sukarno. Ahmad Husein menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas tindakannya bergabung dengan PRRI.

Setelah bebas dari tahanan, ia menjadi pengusaha dan aktif sebagai Wakil Direktur PT Konsultasi Pembangunan. Selain itu, ia juga pernah menjadi Direktur PT Taliabu Timber, Direktur Utama PT Toarco dan PT Nusco. Ahmad Husein pernah tinggal di Jalan Pembangunan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Seperti banyak bekas tokoh PRRI dan Permesta, Ahmad Husein tampak tidak keberatan dengan pembangunan nasional yang dijalankan oleh Presiden daripada Soeharto.

Pada 28 November 1998, tepat hari ini 22 tahun lalu, Ahmad Husein wafat di Jakarta dan dimakamkan di kampung halamannya. Ia dimakamkan dengan upacara militer yang dipimpin oleh Panglima Kodam Bukit Barisan Mayor Jenderal Izmed Yuzairi Chaniago--kawan Prabowo Subianto dan Kivlan Zein, yang juga menantunya.

Baca juga artikel terkait PRRI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh