Menuju konten utama

Kiprah Para Pelatih Muda Mantan Pemain Sepak Bola

Beberapa pelatih muda sepak bola sebelumnya kita kenal sebagai pemain hebat. Ada yang telah menunjukkan bakat dan hasil, lainnya belum.

Kiprah Para Pelatih Muda Mantan Pemain Sepak Bola
Pelatih Barcelona Xavi melambai ke penggemar saat pengenalan resmi dirinya sebagai pelatih di Camp Nou, Barcelona, Spanyol, Senin (8/11/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Albert Gea /AWW/djo

tirto.id - FC Barcelona mendepak Ronald Koeman sebagai pelatih usai hanya mengumpulkan 17 dari maksimal 36 poin yang bisa diraih dalam 12 pekan La Liga 2021/2022. Klub asal Katalunya itu rela membayar klausul pelepasan (dikabarkan senilai 4,2 juta pound sterling). Sebagai gantinya, Barça menyewa jasa pelatih Al-Sadd yang juga mantan gelandang mereka, Xavi Hernández.

Xavi jelas bisa dibilang salah satu legenda Barcelona. Bersama Andrés Iniesta, kepiawaian pria berusia 41 tahun dalam mengorkestrasi lapangan tengah membuat Barça mengontrol nyaris setiap pertandingan. Ia mengemas lebih dari 500 pertandingan, menyabet 8 gelar La Liga, dan empat kali Champions League.

Sebagai pelatih, profesi yang ditekuni sejak pensiun sebagai pemain pada 2019, Xavi telah memberikan tujuh piala untuk Al-Sadd.

Menunjuk Xavi yang "hanya" meraih trofi di kancah persepakbolaan Qatar untuk menangani salah satu tim terbesar di dunia dalam berbagai kompetisi kelas wahid jelas berisiko. Namun menunjuk legenda seperti Xavi juga bisa dibilang langkah populis untuk mengatasi tren kemunduran klub, kepergian Lionel Messi, dan berbagai krisis internal. Semua demi "memenangkan" kembali para fans.

Kendati hanya meraih piala di Qatar, Xavi jelas punya potensi untuk menjadi salah satu pelatih terbaik dunia. Xavi punya modal yang cukup untuk tidak menjadi manajer yang gagal mengulangi prestasi sebagai pemain. Dia tahu bagaimana cara meraih gelar, baik ketika merumput atau mengamati dari pinggir lapangan. Dia tahu betul bagaimana bola sebaiknya dimainkan.

Para Pelatih Muda

Penunjukan Xavi mau tak mau mengingatkan pada penunjukan Ole Gunnar Solskjær sebagai pelatih Manchester United. Mereka sama-sama mantan pemain klub masing-masing dan sebelum itu sama-sama pernah meraih gelar di liga-liga yang lebih kecil. Bersama klub Norwegia, Molde, Ole telah meraih tiga gelar. Kesuksesan yang sejauh ini belum mampu ditranslasikannya di United, yang pencapaian tertingginya hanya menjadi finalis Europe League 2020/21.

Alih-alih dikenang sebagai penentu treble pada musim 1998/99, lelaki yang semasa bermain dijuluki The Baby Faced Assassin kini lebih disorot dengan tagar di media sosial #OleOut.

Selain Ole, mantan-mantan striker lain yang juga menjajal karier sebagai manajer adalah Andriy Shevchenko dan Simone Inzaghi.

Usai sebentar mencicipi dunia politik, Sheva mulai menjabat sebagai asisten manajer tim nasional Ukraina pada Februari 2016 dan ditunjuk menjadi pelatih kepala lima bulan kemudian. Timnas berjulukan Zbirna dibawanya melaju hingga perempat final Euro 2020, pencapaian terbaik negara itu sepanjang sejarah. Sheva kemudian kembali ke Italia untuk menukangi Genoa. Ia dan digadang-gadang bakal menjadi pelatih masa depan untuk klub yang membesarkannya, AC Milan.

Sementara Simone Inzaghi membuktikan diri mampu mengungguli Filippo Inzaghi dalam karier kepelatihan meski saat masih aktif bermain selalu berada di bawah bayang-bayang sang abang. Saat Filippo gagal menukangi Milan dan kini berpindah-pindah di klub-klub semenjana Italia, Simone berangkat dari Lazio menuju Internazionale. Usai membawa I Biancocelesti menjuarai Coppa Italia dan dua Supercoppa Italiana, Simone kini berpeluang untuk merebut scudetto pertamanya.

Jika mantan striker yang menjadi pelatih belum kelewat banyak jumlahnya, tidak demikian dengan mantan gelandang. Ujaran "midfielder make the best managers" lumrah keluar dari sungut para pundit atau dalam tulisan-tulisan sepak bola. Tradisi panjang gelandang yang menjadi pelatih hebat sepertinya menjadi salah satu preferensi klub-klub memilih mereka.

Di lini tengah, di mana pertandingan antartim sesungguhnya berlangsung, ada para gelandang yang melihat segalanya, memahami banyak aspek dalam serangan dan pertahanan, hingga bertransformasi menjadi manajer hebat. Hari ini kita mendapatinya pada nama-nama seperti Antonio Conte, Zinedine Zidane, dan Josep "Pep" Guardiola.

Ada pula Roberto De Zerbi yang dianggap mampu membuat tim kelas dua seperti Sassuolo tampil atraktif dan kini mulai mendapatkan gelar bersama Shakhtar Donetsk. Tentunya nama Mikel Arteta, Andrea Pirlo, serta Steven Gerrard yang telah merengkuh berbagai piala untuk klub masing-masing juga masuk hitungan.

Namun ada pula gelandang hebat seperti Frank Lampard dan Patrick Vieira yang sejauh ini belum menunjukkan kemahiran yang sama sebagai manajer.

Jumlah Gelar

Lantas, siapa yang layak disebut pelatih muda yang paling sukses?

Pelatih seperti De Zerbi tentu belum memenuhi kategori sukses jika dihitung dari jumlah gelar. Begitu juga Julian Nagelsmann yang telah melatih sejak usia 29. Keduanya baru sama-sama meraih gelar piala super di Ukraina dan Jerman. Tapi toh keduanya tetap dianggap sebagai pelatih muda terbaik. Saat ini, hingga pekan ke-14 Ukrainian Premier League, Shakhtar Donetsk arahan De Zerbi masih memuncaki klasemen bersama Dynamo Kyiv, sementara Nagelsmann dengan Bayern (masih) menguasai Bundesliga, begitu pula grup E Champions League yang dihuni Barça, Benfica, dan Dynamo Kyiv.

Lalu ada manajer macam Andrea Pirlo. Meski pada musim pertama kepelatihannya di Juventus harus merasakan akhir dari dominasi 9 tahun scudetto, ia tetap mampu meraih gelar-gelar lebih kecil seperti Coppa Italia dan Supercoppa, dengan tim yang menurut pelatih sebelumnya "untrainable". Demikian pula dengan Steven Gerrard. Kendati baru meraih satu trofi, gelar juara Scottish Premiership 2020/21 diraihnya dengan spektakuler: back-to-back mengalahkan rival bebuyutan Celtic, tak terkalahkan dalam 38 pertandingan, dan membawa Rangers juara liga untuk pertama kalinya dalam 10 musim.

Jika faktor kesuksesan dikembalikan ke jumlah gelar semata, di samping Xavi yang telah meraih tujuh gelar bersama Al-Sadd, ada dua nama lain yang bisa dijadikan acuan: Rúben Amorim dan Marcelo Gallardo. Keduanya juga mantan pemain yang berposisi sebagai gelandang. Amorim pernah memperkuat Benfica dan timnas Portugal, sedangkan Gallardo adalah mantan penggawa Argentina yang pernah memperkuat klub-klub seperti River Plate, Monaco, dan Paris Saint-Germain.

Rúben Amorim memang baru mulai melatih tim utama sejak 2019. Namun minimnya pengalaman tidak menghalanginya merebut gelar bersama Braga dan Sporting Lisbon. Pelatih berusia 36 tahun itu telah meraih empat gelar di kancah sepak bola Portugal selama menukangi dua klub.

Marcelo gallardo telah melatih sejak 2011 atau saat usianya 35 tahun. Pencapaiannya lebih dahsyat lagi: menjuarai liga di dua negara berbeda, di Uruguay bersama Nacional dan bersama River Plate di Argentina. Total 12 gelar telah diraihnya bersama River Plate, termasuk gelar-gelar internasional yang telah absen di lemari trofi salah satu klub terbesar Argentina itu dalam 17 tahun.

Dalam usia yang baru mencapai 45 tahun, Gallardo telah disebut-sebut sebagai pelatih tersukses dalam sejarah River Plate. Seolah tinggal menunggu waktu saja sebelum ia digamit klub-klub Eropa, meramaikan pentas utama sepak bola dunia yang telah sesak dipenuhi pelatih-pelatih muda yang lebih beken, yang bakal segera menggantikan para pelatih tua dengan taktik yang kerap dicap "dinosaurus".

Infografik Mild Gelandang Hebat Pelatih Hebat

Infografik Mild Gelandang Hebat Pelatih Hebat. (tirto.id/Quita)

Xavi dan juga pelatih-pelatih muda lain, mantan gelandang atau bukan, tentu bermimpi melanjutkan jejak Pep Guardiola yang dalam debutnya meraih treble sekaligus pelatih termuda yang menjuarai Champions League, atau Zidane yang merebut "Si Kuping Besar" tiga kali berturut-turut dalam dua setengah musim pertama sebagai pelatih tim utama. Perolehan yang sangat sulit ditiru, tentu saja, terlebih dengan banyaknya pelatih andal di tim rival dan berbagai aspek dalam perjalanan sebuah tim merebut juara.

Itu semua pertaruhan. Demi menjadi lebih melegenda atau gagal dan dikenang generasi kini sebagai pelatih medioker alih-alih pemain hebat.

Baca juga artikel terkait PELATIH SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Olahraga
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Rio Apinino