Menuju konten utama

Kiat Melawan Muram setelah Libur Lebaran

Malas bekerja setelah Lebaran? Ambil hari terakhir libur untuk persiapan bekerja lagi. Mulailah bekerja secara pelan-pelan, sesuai prioritas.

Kiat Melawan Muram setelah Libur Lebaran
Ilustrasi Post-vacation Blues. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Alih-alih fokus mengerjakan laporan yang diminta oleh pemimpin divisinya, Rizky Nuraeni (25) asyik membuka-buka folder foto-foto yang ia ambil sepanjang libur lebaran kemarin. Pada hari pertama kerja, Senin (25/6/2018), ia masih didera nostalgia.

Seharusnya Rizky sudah aktif sejak Kamis (21/6/2018). Namun, ia mengambil cuti hingga akhir pekan sebab beberapa hari sebelum lebaran ia masih bekerja di kantornya, di sebuah bank swasta di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan.

“Tanggung juga, ada rencana liburan bareng ponakan, sepupu, yang masih pada libur sekolah lama. Lama enggak mudik, jadi ya kayak pelampiasan,” katanya sambil terkekeh kepada Tirto.

Ia mengaku amat bahagia sebab sebelumnya tak pernah punya kesempatan berwisata bersama keluarga. Ia bersua dengan teman-teman satu geng di SMA, bergosip di rumah makan favoritnya dulu, diakhiri dengan karaoke bersama. Seluruhnya bisa ia jajaki sebab liburan kali ini berlangsung cukup lama, hampir dua minggu lamanya.

Lalu, di penghujung halalbihalal, kenyataan menampar Rizky: ia harus kembali ke ibukota, berhadapan dengan setumpuk email dan laporan pesanan bos yang menguras tenaga juga pikiran, dari pukul sembilan pagi hingga lima sore, dari Senin sampai Jum'at—kecuali saat piket bisa sampai Sabtu.

Perasaan malas menggelayut di pundaknya, juga rasa sedih sebab berpisah lagi dengan orang-orang terkasih. “Ya teman-teman kantor banyak merasakan yang sama, belum langsung 100 persen sama kerjaan ibaratnya,” imbuhnya.

Rizky sedang mengalami “post-vacation blues”—merujuk pada perubahan suasana hati secara signifikan yang dialami seseorang usai melakoni liburan panjang.

Istilah ini tidak baku. Ada yang menyebutnya “post-travel blues”, “post-holiday blues”, atau “post-travel depression”. Intinya sama saja, yakni rasa malas mengerjakan tugas harian dan sedih meninggalkan fase kebebasan temporer. Nostalgia atas kehangatan bersama orang-orang tersayang muncul melulu, seakan tak mau lepas.

Semakin lama berlibur, biasanya akan semakin parah kemalasan dan kesedihan yang dirasakan. Demikian juga jika liburan tersebut diisi oleh aktivitas yang intens dan menghasilkan kenikmatan yang langka.

Perubahan suasana hati disulut oleh kesadaran bahwa betapa membosankannya rutinitas harian di tempat kerja jika dibandingkan dengan aktivitas liburan, yang kerap diasosiasikan dengan udara segar, petualangan serta mencoba hal-hal baru.

Dana McMahan dari NBC News mengutip pendapat Dr. Gerhard Strauss-Blasche dari Departemen Fisiologi Universitas Wina yang menyebut lara pasca-liburan disebabkan oleh “efek kontras”. Suasana liburan dan tempat kerja cenderung berbeda hampir 180 derajat, sehingga melahirkan perasaan hati yang berbeda pula.

Pekerjaan harian dapat memicu stres, terutama yang tidak disenangi, dilakukan dalam kondisi yang buruk, tak digaji sesuai harapan, atau dalam durasi yang berlebihan. Di sisi lain, liburan membantu mereduksi stres tersebut.

Saat libur berakhir dan pekerja dihadapkan lagi pada pemicu stres, wajar jika ia akan malas-malasan, sedih, atau bahkan ada yang sampai depresi.

“Wisatawan yang tidak lagi berurusan dengan stres bereaksi kuat ketika dihadapkan kembali kepadanya,” kata Strauss-Blasche.

Sementara itu Chris Danfort selaku profesor Universitas Vermont menyebutnya sebagai “mabuk liburan”. Ia mempelajarinya secara ilmiah, dan menemukan bahwa kebahagiaan seseorang akan meningkat saat ia sedang jauh dari tempat di mana ia biasa berada, dalam soal liburan, adalah tempat kerja.

Mark King dari Guardian pernah meminta pendapat dari beberapa pemilik perusahaan dan menjelaskan kiat untuk melawan lara ini. Muaranya ada pada satu hari ekstra yang bisa diambil sebagai cuti tambahan usai liburan atau hari terakhir liburan itu sendiri, sebagai masa mempersiapkan diri menuju rutinitas.

Di masa tersebut Anda bisa melakukan beberapa hal. Pertama, membuka email. Mengerikan memang, melihat kotak masuk yang menumpuk banyak. Namun, proses akan lebih baik dilakukan sebelum bekerja untuk menyortir mana yang penting (merujuk ke pekerjaan selanjutnya), dan mana yang berstatus “spam”.

Liburan menghabiskan banyak baju bersih Anda. Maka, manfaatkanlah satu hari libur untuk mencucinya sendiri atau membawa ke fasilitas laundri. Rumah yang lama ditinggalkan juga pasti perlu dibersihkan. Jangan sampai Anda sibuk dengan urusan domestik yang besar saat rutinitas pekerjaan sudah berjalan.

Selanjutnya, hubungi teman kantor yang tidak liburan. Mereka biasanya tipikal pegawai yang mau berkorban tetap sibuk meski yang lain sudah berkumpul dengan keluarga, atau memang tidak merayakan lebaran. Tanyakan soal kondisi terkini agar nanti Anda terhindar dari segala kejutan yang merepotkan di hari pertama kerja.

Bikin daftar rencana kerja untuk menentukan mana yang harus diprioritaskan, mana yang bisa ditunda. Mana yang jadi proyek jangka pendek, mana yang masuk jangka panjang. Mana yang akan di-deadline segera, mana yang bisa disisipkan di lain waktu. Lebih penting lagi, kerjakan dengan pelan-pelan, serupa pemanasan olahraga.

Dr. Angelo Halaris, profesor psikiatri dan ilmu saraf tentang perilaku di Loyola University, Illinois, Amerika Serikat, berkata pada CNN Health bahwa memulai pekerjaan dengan tergesa-gesa bak mencemplungkan diri ke dalam air es.

Infografik Yak Liburannya selesai

“Kamu akan terkena serangan jantung. Pelan-pelan, jalani dengan penuh kesadaran. Ini lebih baik ketimbang merencakan satu ton pekerjaan dan berharap mampu menyelesaikannya dalam 24 jam berikutnya,” katanya.

Hilaris kemudian menegaskan agar jangan lemah terhadap nostalgia liburan. Kehangatan bersama keluarga di rumah, bertemu teman lama, atau betapa menyenangkannya main ke tempat wisata—sadari lah bahwa semua itu sudah berakhir. Tak perlu menyesal, apalagi sampai berlarut-larut, sebab rencana liburan panjang lain bisa direncakan lagi.

“Menguatkan diri sendiri dan bersikap optimis itu penting,” kata Hilaris.

Terakhir, jaga komunikasi dengan orang-orang. Kebersamaan dengan manusia lain adalah hal pokok yang bikin libur panjang berkesan, terutama libur Lebaran atau libur hari raya lain. Kebersamaan itu tetap bisa terjalin melalui komunikasi sekunder. Jika memang memungkinkan, tak ada salahnya mudik sebentar tanpa perlu menunggu cuti panjang.

Sebagaimana saran Hilaris, “dorong dirimu untuk berinteraksi meskipun kau tak terlalu menyukainya, tentu saja tanpa perlu begadang atau makan terlalu banyak, agar Anda menyadari bahwa meski liburan sudah berakhir, tapi Anda bisa bersenang-senang lagi dengan segera.”

Baca juga artikel terkait LIBUR LEBARAN 2018 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani