Menuju konten utama
31 Juli 1950

K.H. Ahmad Sanusi, Ulama Sukabumi Penengah Kebuntuan Sidang BPUPKI

Dalam kebuntuan sidang BPUPKI yang membahas pelaksanaan syariat Islam, Ahmad Sanusi tampil sebagai penengah.

K.H. Ahmad Sanusi, Ulama Sukabumi Penengah Kebuntuan Sidang BPUPKI
K.H. Ahmad Sanusi. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada era Revolusi, Sukabumi menorehkan jejak pertempuran dahsyat, yaitu Palagan Bojongkokosan. Pertempuran ini disebut-sebut sebagai perang konvoi pertama yang banyak menelan korban di pihak Belanda.

Jauh sebelum pertempuran itu berlangsung, Sukabumi juga telah melahirkan seorang pejuang yang disegani pemerintah kolonial. Ia adalah Ajengan Ahmad Sanusi yang lahir di Cantayan, Cikembar pada 1888.

Setelah belajar di sejumlah pesantren dan menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya. Ia membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan.

“Dari pesantrenlah Sanusi mulai menapak karir keulamaan dan terlibat dalam pelbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan,” tulis Yayan Suryana dalam Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia: Kajian atas Pemikiran Keagamaan Haji Ahmad Sanusi 1889-1950 (2012).

Incaran Belanda

Pada 1915, di tengah kesibukannya sebagai dai, Ahmad Sanusi menerima permintaan seorang koleganya untuk menjadi penasihat Sarekat Islam Sukabumi. Namun, menurut Yayan Suryana, hal tersebut tidak berlangsung lama karena Ahmad Sanusi tidak setuju dengan sistem sentralisasi khas Sarekat Islam.

Ahmad Sanusi menginginkan uang kontribusi dari anggota Sarekat Islam tidak semuanya diserahkan ke pusat, melainkan dibagi dengan daerah. Tapi usulannya tak diterima.

Meski tidak lagi menjadi penasihat Sarekat Islam, ia masih berhubungan dengan organisasi pergerakan tersebut lewat sejumlah santrinya yang aktif di Sarekat Islam. Hal ini juga yang akhirnya menyeret namanya pada peristiwa Cimareme atau Sarekat Islam Afdeling B yang dipimpin Haji Hasan.

“Dia dituduh telah menyembunyikan Kiai Adra’i tokoh utama Afdelling B, yang saat itu masih buron,” imbuh Suryana.

Memasuki 1922, Ahmad Sanusi kembali fokus kepada dakwah dan pendidikan. Pada tahun tersebut ia mendirikan pesantren di Kampung Genteng, Babakan Sirna, tidak terlalu jauh dari pesantren Cantayan yang didirikan ayahnya. Ia pun kemudian dipanggil “Ajengan Genteng”.

Pengaruh Ahmad Sanusi di masyarakat kembali menarik perhatian pemerintah kolonial, apalagi ketika ia menjadi anggota Sarekat Islam. Ceramah-ceramahnya dianggap menjadi inspirasi anggota Sarekat Islam wilayah Priangan Barat untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda.

Pemerintah kolonial mendapat laporan bahwa sejumlah penduduk desa di wilayah Priangan Barat tak menaati perintah pamong desa setelah mengikuti pengajian Ahmad Sanusi. Ia pun segera dianggap sebagai ajengan yang anti-pemerintah.

Dan sebagaimana dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam bagian akhir Tetralogi Buru, pelbagai organisasi pergerakan nasional segera “dirumahkacakan”, diawasi gerak-geriknya, dan para pentolannya ditangkap. Ahmad Sanusi, sebagai anggota Sarekat Islam Priangan Barat, pun terkena "efek rumah kaca" ini.

Ia difitnah dan dipenjara di Sukabumi dan Cianjur, masing-masing selama selama enam dan tujuh bulan. Pada 1927, atas perintah Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff, ia dipindahkan ke Tanah Tinggi, Batavia.

Dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Ahmad Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Ia bahkan membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali.

Setelah dibebaskan, Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi, tapi tak lagi menetap di tempat tinggalnya semula. Ia pindah ke Gunung Puyuh dan mendirikan Pesantren Syamsul Ulum pada 1934.

Menjadi Penengah di BPUPKI

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Ahmad Sanusi Diangkat menjadi Foku Shuchohan (Wakil Residen) wilayah Bogor pada 1944. Dan saat perang di Pasifik membuat Jepang semakin tertekan, ia menjadi anggota BPUPKI.

Di badan tersebut, Ahmad Sanusi menyampaikan pelbagai pemikirannya mengenai negara Indonesia yang akan didirikan. Mengutip dari Risalah Persidangan BPUPKI-PPKI, Lukman Hakiem dalam Merawat Indonesia: Belajar dari Tokoh dan Peristiwa (2017) menerangkan salah satu pemikiran Ahmad Sanusi adalah mengusulkan bentuk negara jumhuriyah alias republik.

Salah satu hal yang dianggap prestasi Ahmad Sanusi ketika menjadi anggota BPUPKI adalah dalam perdebatan mengenai rumusan pasal ketuhanan. Saat itu hasil kerja Panitia Sembilan menghasilkan salah satu rumusan yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Hal ini kontan mendapat penolakan dari kubu Kebangsaan yang menganggap rumusan tersebut terlalu berpihak pada kubu Islam. Salah satu yang menolaknya adalah Latuharhary.

Kubu Islam lewat H. Agus Salim dan K.H. Wahid Hasyim mengatakan kepada Latuharhary dan pihak-pihak yang keberatan bahwa rumusan tersebut adalah hasil komporomi yang bisa dicapai.

Wahid Hasyim, seperti dikutip Lukman Hakiem, bahkan mengatakan jika pihak-pihak yang menolak rumusan tersebut menganggapnya terlalu tajam, maka ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa rumusan tersebut terlampau tumpul.

“Apakah dengan rumusan lunak seperti ini orang Islam sudah boleh berjuang menceburkan jiwanya untuk negara Indonesia yang akan didirikan ini?” tanya seseorang kepada Wahid Hasyim sebagai respons atas rumusan tersebut.

Perdebatan belum selesai. Kali ini giliran Ki Bagoes Hadikusumo angkat bicara. Wakil dari Muhammadiyah itu meminta kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus, sehingga rumusan tersebut berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”.

Hal ini tentu saja semakin mengencangkan penolakan Latuharhary dan kawan-kawan. Namun, dari kubu Islam pun semakin keras. K.H. Abdul Kahar Moedzakkir yang sepemikiran dengan Ki Bagoes Hadikusumo sampai menggebrak meja.

“Ki Bagoes sendiri bahkan memulai salah satu pembicaraannya dengan kata-kata, ‘Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak’,” tulis Lukman Hakiem.

Infografik Mozaik KH Ahmad Sanusi

Infografik Mozaik K.H. Ahmad Sanusi. tirto.id/Nauval

Suasana rapat yang panas akhirnya buntu. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua sidang menawarkan pemungutan suara untuk mendobrak kemacetan sidang. Ketika para peserta hampir menerima usul tersebut, di sinilah Ahmad Sanusi tampil sebagai penengah. Ia meminta rapat ditunda sampai hari berganti esok.

“Supaya permusyawaratan berjalan tenang, dengan memancarkan pikiran ke sebelah kanan dan sebelah kiri, ke luar dan kembali,” ujarnya.

Rehat tersebut membuat Sukarno, sebagai Ketua Panitia Sembilan yang hasil kerjanya diperdebatkan, mempunyai waktu untuk melakukan pendekatan kepada kedua kubu yang berseteru, yakni kalangan Islam dan nasionalis.

Esoknya, rapat berjalan lancar dan semua pihak menerima apa yang diputuskan di rapat tersebut. Di sela keberhasilan mencairkan kebuntuan itulah nama Ahmad Sanusi hadir. Perannya bisa jadi dianggap kecil dan namanya tergilas sejarah, namun catatan sejarah tentang kiprah ajengan asal Sukabumi di BPUPKI itu tak mungkin terhapus.

Ketika revolusi berkecamuk, Ahmad Sanusi menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan ikut pindah ke Yogyakarta pada 1946. Saat perang usai, usianya telah senja. Ia kembali ke Sukabumi dengan sisa tenaga dan kesempatan. Pada 31 Juli 1950, tepat hari ini 69 tahun lalu, Ahmad Sanusi meninggal di Gunung Puyuh, Sukabumi.

“Ia dikuburkan di Gunungpuyuh di atas bukit, kira-kira 100 meter sebelah utara pesantren yang didirikannya,” tulis Lukman Hakiem.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan