Menuju konten utama

Keunikan Cina Benteng di Tengah Arus Zaman

Etnis Cina Benteng mengalami tempaan sejarah cukup panjang. Sedari era kolonial hingga kini, mereka diduga terus terpinggirkan.

Keunikan Cina Benteng di Tengah Arus Zaman
Sejumlah warga Cina Benteng generasi ke-3 menari di atas panggung di salah satu pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, Jumat (24/1). Warga Cina Benteng khususnya perempuan sampai saat ini masih mempertahankan cara berpakaian dengan menggunakan kebaya khas Indonesia. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Seperti etnis-etnis Tionghoa lain di Indonesia, masyarakat "Cina Benteng"--merujuk istilah umum yang digunakan masyarakat--mengalami sejarah yang panjang dari masa Kolonial, pra-kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan hingga era Reformasi. Hal ini yang membuat etnis Tionghoa di Indonesia berbeda dengan di negara lain.

Paparan tentang rentang panjang sejarah Cina Benteng itu disampaikan Jenni Anggita, saat menjadi panelis dalam acara International Conference, Reviving Benedict Anderson, Imagined (Cosmopolitan) Communities,” di kompleks Auditorium kampus Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat 13 Januari 2017.

Dalam paparannya yang berjudul "Aku, Cina Benteng," Jenni mengungkap bahwa stereotip dan sentimen anti-Cina telah ditanam sejak masa Kolonial, terutama Orde Baru, dan sampai sekarang.

"Misalnya saja persoalan identitas berupa generasi tua Cina Benteng yang tak memiliki KTP merupakan dampak dari aturan kewarganegaraan (berupa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) pada masa Orde Lama yang dilanjutkan pada masa Orde Baru," ujarnya.

Menurut Jenni, etnis Cina Benteng sendiri memiliki beberapa keunikan, secara fisik mereka tidak tampak seperti Tionghoa totok, kulitnya gelap, dan tidak sipit, bahasa yang mereka gunakan pun tidak bisa bahasa Mandarin, melainkan bahasa Indonesia, beberapa fasih berbahasa Sunda, atau logat Betawi, namun masih menjalankan tradisi sembahyang kepada leluhur.

Mayoritas dari mereka adalah masyarakat kelas menengah dan menengah bawah. Ada yang berprofesi sebagai petani, peternak, serabutan, atau pedagang. Mereka juga berasimilasi dengan penduduk lokal dan hidup berdampingan dengan rukun.

Dalam perkembangan sejarahnya, etnis Cina Benteng di Tangerang ini keberadaannya erat kaitannya juga dengan tempat-tempat Pecinan di Tangerang seperti Pasar Lama, Klenteng Boen Tek Bio, lalu di Jakarta yaitu Glodok dan Pasar Baroe.

"Ada sejumlah persamaan dan perbedaan antara Pecinan di Tangerang (sekitar Pasar Lama, Klenteng Boen Tek Bio) dan di Jakarta (Glodok dan Pasar Baroe) jika ditelusuri sejarahnya. Tempat-tempat tersebut menunjukkan warisan Kolonial dan tempat terjadinya interaksi berbagai macam orang yang berbeda kelas, etnis, agama, ras. Maka dapat disebut sebagai cosmopolitan hybrid modernity yang bertujuan untuk menyuplai kebutuhan Kolonial," jelasnya.

Catatan Redaksi:

Berita ini merupakan ralat atas berita sebelumnya berjudul "Teknologi Dorong Kapitalisme Ubah Masyarakat". Pada artikel tersebut terdapat kekeliruan dalam pemaparan data yang disampaikan Jenni Anggita saat menjadi pembicara dalam "International Conference, Reviving Benedict Anderson, Imagined (Cosmopolitan) Communities,” di kompleks Auditorium kampus Sanata Dharma, pada tanggal 13-14 Januari 2017. Ralat ini menjadi pelurusan atas kekeliruan pada berita tersebut. Terima kasih.

Baca juga artikel terkait KOMUNITAS atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh