Menuju konten utama

Ketum PP Muhammadiyah Larang Pekik "Allahu Akbar" di Acara Internal

Menurut Haedar Nashir, kalimat Allahu Akbar tidak seharusnya dijadikan alat politik atau untuk kepentingan sendiri dan kelompok.

Ketum PP Muhammadiyah Larang Pekik
Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir melarang pekik “Allahu Akbar” dalam pertemuan-pertemuan internal Muhammadiyah di depan mahasiswa dan staf pengajar UQ, Rabu (21/02/2018). FOTO/Dok. UQISA

tirto.id - Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir melarang pekik “Allahu Akbar” saat pertemuan internal Muhammadiyah mengingat kalimat ini sering disalahgunakan.

Haedar menyatakan, tindakan tidak populis ini terpaksa diambilnya untuk melawan pihak-pihak yang sudah menyalahgunakan kalimat suci tersebut.

Menurut Haedar, dirinya ingin menunjukkan bahwa Muslim yang baik adalah Muslim yang berilmu dan berkontribusi positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakkan “Allahu Akbar” untuk sesuatu yang sebenarnya sangat politis dan bukannya religius.

“Allahu akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” kata Haedar di Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA) dilaporkan oleh kontributor Tirto, Achmad Supardi, yang hadir di acara.

Dalam pemaparannya di depan para mahasiswa dan staf pengajar UQ, Haedar juga mengakui adanya mahasiswa Indonesia yang justru menjadi radikal setelah kuliah di luar negeri. Menurutnya ini semacam fenomena “salah pergaulan”.

“Karena itu bila kita tidak bisa mempengaruhi, sebaiknya jangan bergaul dengan mereka yang sudah diketahui berpaham radikal,” katanya.

Fenomena ini pula yang menurutnya membuat posisi Muhammadiyah, NU, dan mayoritas Muslim Indonesia yang moderat menjadi sangat penting serta perlu memperkuat posisi Muslim moderat di masyarakat.

Muhammadiyah sendiri justru menawarkan pendekatan moderasi dalam berhadapan dengan kelompok radikal, bukan deradikalisasi.

Deradikalisasi, kata Haedar, adalah berusaha mengubah pihak radikal dengan cara yang juga radikal. Ia merasa pendekatan ini kurang pas, terutama untuk jangka panjang, karenanya Muhammadiyah mengedepankan moderasi.

"Kelompok radikal biasanya mereaksi pihak lain yang sama radikalnya. Misalnya, ada kelompok yang ngotot menolak LGBT sementara di ujung spektrum yang lain ada kelompok yang tak kalah radikalnya dalam mendorong pengakuan hak LGBT," ujar Haedar.

Aspek krusial lain yang dilihat Muhammadiyah adalah penegakan hukum. Masyarakat akan terus memantau bagaimana aparat, sebagai representasi negara, memperlakukan pihak-pihak yang dipersepsi melakukan hal yang sama.

Kelompok moderat seperti Muhammadiyah dan NU sangat penting dalam membendung pertumbuhan radikalisme. Bila negara secara tidak langsung ikut berkontribusi “menumbuhkan” kelompok radikal dengan kebijakannya yang tidak adil, maka peran yang diemban kelompok moderat menjadi makin berat.

Padahal, di saat yang sama, Muhammadiyah, NU, dan kelompok moderat lain juga harus bekerja keras membangun agar umat Islam maju dan mapan baik di ranah politik, ekonomi, pendidikan, bisnis, budaya dan lainnya.

“Umat Islam yang moderat ini takkan bisa menjalankan perannya dengan baik dalam menjaga stabilitas di masyarakat bila dirinya sendiri terbelakang,” kata Haedar.

=====

Koreksi, 26 Februari 2018, jam 12.50: Sebelumnya naskah ini disebutkan berasal dari rilis. Yang benar adalah Akhmad Supardi, salah seorang peserta diskusi, mengirim laporan/berita kepada redaksi dan editor memutuskan menaikkan laporan tersebut.

Baca juga artikel terkait KELOMPOK RADIKAL atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Supardi
Editor: Yandri Daniel Damaledo