Menuju konten utama
Roy Nicholas Mandey:

Ketua Aprindo: PD Pasar Jaya Harus Perbaiki Pasar Glodok

Pemangku pasar ritel, yang terkena imbas daya beli menurun, mendesak pemerintah bikin regulasi jelas terhadap pelaku pasar online.

Ketua Aprindo: PD Pasar Jaya Harus Perbaiki Pasar Glodok
Ilustrasi Roy Nicholas. tirto.id/Sabit

tirto.id - Indonesia dalam kondisi anomali ekonomi. Daya beli masyarakat lesu hingga ke pelosok daerah. Itu diungkapkan oleh Roy Nicholas Mandey, Ketua Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo). Mandey menegaskan, sejauh ini tak ada pengaruh sama sekali kebijakan paket ekonomi yang dirilis Presiden Joko Widodo.

“Tahun lalu, year-on-year, pertumbuhan kita bisa 11,6 sampai 12 persen dalam bulan Juni, yang libur dan Lebaran. Sekarang cuma 5 persen. Turun. Ini rata-rata secara keseluruhan. Bulan Juni biasanya 40 persen dari omset,” ujarnya.

Ia menilai, ada beberapa faktor soal terpuruknya daya beli, salah satunya perubahan karakter konsumen. Mereka lebih melek teknologi. Cenderung rela menahan belanja demi diskon.

Baca juga:

Berikut wawancaranya dengan Dieqy Hasbi Widhana dan Arbi Sumandoyo dari Tirto.

Faktor apa yang menyebabkan retail elektronik yang konvensional sepi?

Perubahan pertama, perilaku konsumen. Cara konsumen memandang suatu produk sudah berubah. Sekarang mereka mudah lihat di internet, banyak jenis yang sama tapi merek lain. Diskonnya pun beda-beda. Ini perubahan yang dulu tak pernah ada karena keterbatasan informasi.

Kedua, usia produktif jauh daripada usia mapan. Usia produkif ini kelihatannya tidak terserap pekerjaan formal. Sehingga mereka lulus sarjana atau apa pun tetapi terserap ke pekerjaan informal yang sifatnya komisi, asuransi, agen properti, dan sebagainya.

Ada lagi semakin meningkatnya transaksi online. Bukan hanya penjualan tapi juga transportasi online.

Tapi pengaruh munculnya penjualan online seberapa besar?

Tidak signifikan. Tapi online hanya menjadi supporting terhadap kemudahan.

Apa indikasi yang memperkuat menurunnya daya beli?

Jadi kalau saya pakai istilah yang dimaksud daya beli menurun itu karena usia produktif tidak terserap pekerjaan dan masyarakat miskin tidak terserap secara utuh. Tapi ada yang memiliki daya beli tapi menahan transaksi, mereka simpan di deposito.

Dalam catatan Aprindo, sepanjang dua tahun ke belakang ada penurunan drastis angka penjualan?

Ambil contoh saja Lebaran, biasanya berkontribusi 40 persen dari total penjualan. Jadi kalau kalau 100 persen selama satu tahun, 40 persen itu dari libur dan lebaran.

Soal Pasar Glodok, retail elektronik menjamur, apakah ada pengaruh terhadap daya beli melesu di Glodok?

Itu dampak dari sebagian yang punya uang dibelanjakan lewat online—ini untuk masalah yang elektronik. Di luar itu, beli baju, alat kosmetik, aksesoris, mesti di toko, jarang di online. Tapi kalau elektronik, malah ada diskon di online. Otomatis mendingan beli online daripada di Glodok.

Sekarang orang melek internet. Mereka cari perbandingan, lebih murah mana biaya ke lokasi, parkir, dan sebagainya. Mending tetap di rumah tapi barang dikirim.

Berapa persen angka pergeseran perilaku konsumen itu?

Saya belum observation, ya. Paling tidak shifting elektronik lebih besar dari yang lain. Jadi, kalau misalnya ambil angka 100 antara mereka yang beli di offline, ya sekitar 30 sampai 35 persen lari ke online.

Apa langkah Aprindo soal pembelian di retail elektronik?

Kami ada anggota retail elektronik. Kami mendorongnya, mesti kreatif dalam hal promosi, ada varian produk. Jadi bukan hanya menjual produk, harus ada survei apa produk itu disukai masyarakat atau tidak. Pasar offline harus unik.

Apa keluhan anggota Aprindo yang bergerak di sektor retail?

Keluhannya terjadi penurunan omset. Itu terlihat dari penurunan pembeli. Supaya bisa bersaing, mereka mengharapkan supaya online diperlakukan sama juga, dong. Penjual online dikenakan pajak. Barang mereka SNI atau ada SIUP. Supaya betul-betul bisa seimbang.

Selama ini tidak fair?

Kalau saya bilang sih bukan tidak fair tapi belum terakomodir. Karena masalah prioritas saja. Rancangan undang-undangnya baru dibuat. Itu mesti ada juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) terkait peraturan turunan.

Toko offline mengharapkan toko online harus sama. Setidaknya bayar pajak. Kemudian perusahaan yang dijual di internet itu terdaftar di Indonesia. Kalau tidak terdaftar, maka menjadi ilegal penjualannya. Itu kepastian hukum harus jelas supaya tidak ada black market masuk Indonesia.

Selain di Glodok, mana lagi pasar elektronik yang sepi?

Di daerah juga terasa. Di daerah, kan, ada sentra-sentra elektronik.

Bila daya beli turun, imbasnya pula pada pengurangan karyawan?

Itu keputusan akhir. Selalu. Pengurangan tenaga kerja. Biasanya efisiensi dulu ke pemakaian listrik, kendaraan. Baru efisiensi opening ekspansi, opening store. Terakhir, mau tidak mau, ya efisiensi pengurangan karyawan. PHK.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik apa berpengaruh terhadap penjualan elektronik?

Subsidi listrik, iya dong. Beban listrik itu lebih tinggi. Dengan ada kenaikan dua sampai tiga kali itu akan memberatkan pengusaha, memberatkan toko. Biaya listrik, kan, beda dengan rumah tangga. Cost jadi naik. Bagi konsumen, mereka akan membayar listrik lebih mahal. Bagi pelaku usaha, dengan subsidi ditarik, beban cost lebih gede.

Ini kebijakan yang kalau Aprindo katakan harus dipikirkan matang-matang oleh pemerintah. Energi, gas, air, minyak—itu sangat sensitif terhadap kemampuan belanja atau konsumsi masyarakat.

Soal perubahan karakter konsumen, siasat apa yang harus dilakukan pusat perbelanjaan, misalnya di Pasar Glodok yang terlihat kumuh dan sebagainya?

Mereka harus memperbaiki diri. Memperbarui pelayanannya, memperbarui fasilitasnya, memperbarui cara promosinya. Semua mesti diperbarui. Kalau tidak, bagi konsumen, buat apa ke sana tapi macet, parkir susah, AC enggak dingin, enggak nyaman? Mendingan buka internet, langsung pesan.

Sekarang, kan, kita lebih menikmati situasi atau lingkungan yang nyaman, tertata. Kalau berantakan, kita malas juga.

Kalau perlindungan terhadap pedagang seperti apa?

Dalam situasi anomali ekonomi sekarang, toko-toko itu mengharapkan ada peninjauan terhadap tarif listrik.

Upaya konkret apa agar daya beli masyarakat segera bergairah lagi?

Banyak hal. Mesti seimbang apa yang diharapkan pemerintah dan pelaku usaha serta masyarakat. Tidak bisa saling mendominasi. Usaha konkret itu misalnya ya menjaga ketersediaan pangan, kestabilan harga. Kompleks.

Catatan kami, upaya itu harus segera dilakukan. Tidak menunggu tahun politik dan sebagainya.

Baca juga artikel terkait GLODOK atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Arbi Sumandoyo
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam