Menuju konten utama

Ketimpangan Yogya Meningkat, Sultan: Jangan Dilihat Negatifnya Saja

Laporan BPS pada Maret 2019 soal ketimpangan pengeluaran penduduk Yogya menunjukkan peningkatan dibanding semester sebelumnya.

Ketimpangan Yogya Meningkat, Sultan: Jangan Dilihat Negatifnya Saja
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan keterangan kepada wartawan di kompleks kantor Gubernur DIY, Selasa (16/7/2019) (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan ketimpangan pengeluaran penduduk Yogyakarta yang diukur melalui rasio gini. Tetapi, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB meminta agar jangan menilai dari sisi negatifnya saja.

"Rasio gini [Yogyakarta] yang tertinggi di Indonesia jangan dilihat dari sisi negatifnya saja, tetapi juga ada positifnya. Dalam arti di Yogya ada pertumbuhan, kalau enggak tumbuh, enggak ada rasio gini meningkat," kata Sultan di Kantor Gubernur DIY, Selasa (16/7/2019).

Berdasarkan laporan BPS, pada Maret 2019 ketimpangan pengeluaran penduduk Yogya menunjukkan peningkatan dibanding pada semester sebelumnya. Kondisi tersebut tercermin dari angka rasio gini Maret 2019 sebesar 0,423 atau naik 0,001 poin dibandingkan September 2018 sebesar 0,422.

Sultan melihat, angka tersebut hanya mempresentasikan kondisi ketimpangan berdasarkan pengeluaran warga untuk konsumsi saja. Tetapi tidak menghitung soal akses kesehatan, pendidikan dan aset yang dimiliki warga.

Menurut Sultan, warga Yogya memiliki kultur yang tidak bisa ditangkap oleh BPS untuk dapat menggambarkan secara utuh kondisi ketimpangan di Yogyakarta. Misalnya, kata dia, sebagian besar warga pedesaan di Yogya masih memegang prinsip berhemat.

"Jadi ketika warga berpikir ‘saya ngirit (hemat), mau puasa terus untuk makan’ dan hanya mengeluarkan Rp430 ribu per bulan untuk makan, maka otomatis dia akan dikategorikan [oleh BPS] miskin. Walaupun pendapatan sebenarnya di atas itu,” kata Sultan.

Dari yang ia temui selama ini saat kunjungan di daerah-daerah, banyak di antara warganya yang masuk kategori miskin mengaku lebih mementingkan ternak. Saat ditanya, warga mengaku rela makan seadanya apa yang dimiliki, entah bergizi atau tidak asalkan ternaknya semua dalam kondisi sehat.

"Ini problem yang kami temukan di daerah-daerah, di kabupaten-kabupaten. Tapi persoalannya tidak di situ, kami tetap mengupayakan bagaimana masyarakat miskin ini terus berkurang," ujarnya.

Sultan mengatakan, adanya tingkat ketimpangan yang tinggi di Yogyakarta, di sisi lain, menurutnya, menunjukkan ada pertumbuhan. Pasalnya, jika tidak ada pertumbuhan maka tidak akan ada masalah ketimpangan.

Hanya saja pertumbuhan itu, kata dia, didapatkam oleh masyarakat dengan peluang yang berbeda-beda. Ada yang berpendidikan bisa menikmati pertumbuhan sementara yang kebetulan pendidikan rendah tidak dapat merasakan pertumbuhan itu.

Hal itu juga berimplikasi juga kepada ketimpangan wilayah. Ia mencontohkan seperti di Kulon Progo dengan adanya pembangunan bandara diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat yang yang telah terdaftar untuk dapat bekerja di bandara baru kemudian dididik agar memiliki kompetensi dan meningkatkan penghasilan dari situ.

Sebagai kota wisata, Yogyakarta banyak sektor informal yang berkembang, salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL). Orang yang bekerja untuk PKL ini, kata dia, pendapatannya lebih rendah dari pada PNS, karyawan atau sektor formal lainnya. Inilah yang turut mempengaruhi rasio gini.

Saat ini, pihaknya berupaya untuk meningkatkan penghasilan para pekerja bekerja di sektor informal. Hal itu dilakukan melalui pembangunan wilayah Kulon Progo dan Gunungkidul yang dinilai terjadi ketimpangan cukup tinggi di sana.

Salah satunya adalah melakukan penataan pantai untuk meningkatkan kunjungan pariwisata. Hal ini dimaksudkan agar PKL yang ada di sana juga dapat meningkatkan pelayanan sehingga pendapatannya meningkat dan juga meningkatkan pendapatan pekerjanya.

Namun, jika tidak ada peningkatan pendapatan untuk para pekerja PKL, maka ketimpangan itu akan terus terjadi di setiap kabupaten.

Menurutnya, tetap perlu rasio gini yang tinggi sebagai indikator adanya perkembangan ekonomi, namun kata Sultan jangan sampai terjadi ketimpangan yang tinggi.

"Tapi dengan perkembangan itu bagaimana kita bisa menstabilkan bahwa antara pertumbuhan orang berpendapatan tinggi dengan pendapatan rendah ini bisa kita korelasi sehingga mereka juga bisa menikmati pendapatan yang lebih baik," pungkas Sultan.

Baca juga artikel terkait KETIMPANGAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno