Menuju konten utama

Ketika "Rush Money" Menyergap India

Penarikan mata uang 500 dan 1000 rupee di India beberapa waktu lalu akhirnya berbuah kepanikan. Ratusan ribu warga India berbondong-bondong menyerbu bank untuk menarik atau menukarkan uangnya. Bagaimana kondisi India saat ini?

Ketika
Warga Kolkata, India mengatre menarik uang di ATM. REUTERS

tirto.id - Rumor "rush money" sedang hangat di Indonesia. Di India, "rush money" benar-benar sedang terjadi. Rakyat negeri Bollywood ini ramai-ramai menyatroni bank, ATM, dan tempat-tempat lainnya untuk menarik atau menukarkan uangnya. Kepanikan ini berpangkal dari satu hal: pemerintah India memutuskan untuk menarik seluruh pecahan uang 500 rupee dan 1000 rupee dari peredaran.

Langkah drastis itu diambil Perdana Menteri Narendra Modi sebagai cara untuk memerangi korupsi yang telah mengakar di negaranya. Di sisi lain, metode ini dijalankan guna mengeluarkan uang-uang “gelap” yang disimpan orang-orang kaya India ke pasar sehingga bisa dipantau sekaligus dipajaki.

Kebijakan “brutal” ala Modi itu kini sudah berusia hampir sebulan. Pro kontra sempat terdengar, meskipun tidak kencang. Keputusan Modi untuk menerapkan kebijakannya secara cepat dan tanpa kompromi mampu meredam polemik dan kegaduhan politik yang tidak perlu. Para pengusaha tidak sempat memprotes keputusan ini karena perhatian mereka sudah tersita untuk mengurusi aset-asetnya.

Di sisi lain, kebijakan ini ternyata memukul rakyat kecil. Berdasarkan laporan dari berbagai media, antrean panjang tampak di depan lokasi-lokasi penarikan atau penukaran uang di berbagai penjuru India. Bank-bank dan anjungan tunai mandiri (ATM) pun kehabisan uang. Sementara itu, bank sentral India, Reserve Bank of India (RBI), bekerja keras mencetak jutaan lembar uang baru dan mendistribusikannya ke seluruh pelosok India yang terkenal sangat luas.

Munculnya potensi kerusuhan

Pelaksanaan kebijakan Modi awalnya berjalan cenderung lancar. Antrean warga masih tampak tertib dan belum ada keributan berarti. Pemerintah juga masih mampu menambah jumlah uang di masyarakat untuk memenuhi permintaan masyarakat. Namun, situasi tenang itu tidak berjalan lama. Kondisi mulai kisruh ketika pemerintah India mulai kesulitan mencetak dan mendistribusikan uang ke masyarakat. Hasilnya, pasokan uang tunai di bank dan ATM mulai menipis.

Aljazeera melaporkan, pada Selasa, (15/11/2016) lalu, puluhan nasabah menumpahkan kekesalannya di depan sebuah kantor cabang Standard Chartered di ibukota New Delhi. Mereka terlibat adu mulut dengan petugas pengamanan. Beberapa di antaranya bahkan memukuli pintu kaca di depan bank.

Seorang mahasiswa yang ikut antre di lokasi itu, Prabhat Kumar, melancarkan kritikannya kepada Perdana Menteri Narendra Modi. Kebetulan pada hari yang sama, sang perdana menteri justru melakukan kunjungan kerja ke Jepang.

“Ia justru sedang menikmati naik Shinkansen di Jepang sementara di sini anda bisa lihat para manula harus antri di depan bank untuk mengambil uang,” sindirnya. “Modi membuat kesalahan yang sangat besar!” imbuh Kumar.

Kepanikan warga India semakin menjadi karena pada Jumat, (10/11/2016), sejumlah 202.000 ATM di seluruh India tidak beroperasi akibat kehabisan uang. ATM-ATM yang masih berfungsi pun seketika diserbu oleh warga sehingga tak berapa lama kemudian juga kehabisan uang. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketentuan rekalibrasi ATM yang akan memakan waktu dua minggu terhitung dari 8 November 2016.

Padatnya antrean di depan bank juga terjadi karena proses penukaran dan penarikan uang yang membutuhkan verifikasi kartu identitas. Padahal masih ada jutaan rakyat India yang belum memiliki kartu identitas yang layak.

“Keributan terjadi di mana-mana,” ujarnya Menteri Kepala negara bagian Delhi, Arvind Kejriwal. Ia memperingatkan pemerintah bahwa kebijakan ini akan sangat memukul rakyat kecil.

Peringatan serupa juga dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi India. Lembaga ini sempat menolak permohonan pemerintah untuk menunda proses hukum dari tuntutan-tuntutan berbagai pihak terkait kebijakan ini.

Hakim Konstitusi India, T.S Shakur, menyinggung fakta bahwa saat ini banyak unsur di masyarakat yang mulai mendaftarkan gugatannya untuk menuntut negara atas kebijakan demonetisasi ini. Hal itu, menurutnya, adalah cerminan bahwa masalah ini sangat serius dan berdampak luas bagi mereka.

“Hal ini adalah isu yang sangat serius dan membutuhkan perhatian khusus. Masyarakat menjadi panik, mereka semua terpengaruh....bahkan mungkin saja akan ada kerusuhan,” papar Dewan Hakim Konstitusi yang diwakili oleh Hakim Anil R. Dave, kepada Times of India.

“Mereka mencari keadilan hingga ke ruang sidang. Kami selaku lembaga hukum tentu saja tidak bisa berpaling begitu saja dari mereka,” imbuh Hakim T.S Shakur.

Gejolak di kalangan rakyat kecil

Perdana Menteri Narendra Modi berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan demonetisasinya ditujukan untuk kemaslahatan kaum miskin di India. Sasaran utama dari kebijakan ini, menurut Modi, adalah para kelas menengah dan golongan kaya di India yang kerap mengemplang pajak.

“Saya turut prihatin atas ketidaknyamanan yang muncul akibat kebijakan ini. Untuk itulah saaat ini saya tengah bekerja keras untuk membantu para warga melaluinya. Saya tidak akan membiarkan siapapun mencuri uang yang seharusnya menjadi hak milik rakyat miskin India!,” tegas Modi seperti dikutip dari The Guardian.

Seruan berbau populisme ala Modi tersebut tentu saja harus diperiksa lagi kebenarannya. Faktanya, masyarakat miskin India adalah pihak yang paling terpukul atas kebijakan ini. Masyarakat India secara umum masih memilih transaksi tunai dengan uang kertas dibandingkan transaksi elektronik dan sejenisnya. Persentase transaksi tunai di negara ini bahkan mencapai 90%.

Kecenderungan ini paling marak terjadi di masyarakat miskin khususnya di pedalaman yang memang tak memiliki akses terhadap sarana-sarana transaksi selain uang tunai. The Guardian mencatat, hampir dua per tiga dari masyarakat miskin India yang hidup di pedalaman tidak memiliki akses terhadap bank apalagi moda transaksi nontunai. Hal inilah yang membuat kebijakan demonetisasi Modi begitu memukul mereka. Mereka tidak memiliki alternatif alat tukar lain selain uang tunai.

Reshma Murty, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di kota, tiba-tiba menemukan bahwa uang yang dikirimnya ke desa menjadi tidak berharga lagi. “Keluarga saya di desa tiba-tiba menelepon dan berkata bahwa mereka tidak punya uang. Padahal saya baru mengirimkan uang 4.000 rupee. Kebijakan ini terlalu cepat bagi kami. Kami tidak sempat melakukan apa-apa,” keluhnya.

NDTV melaporkan, di negara bagian Uttar Pradesh, polisi menemukan berkarung-karung uang pecahan 500 dan 1000 rupee yang dibakar dan dibuang begitu saja di tepi jalan raya. Soutik Biswas, koresponden BBC di Mumbai memberitakan seorang pasien demam berdarah di Kalkutta yang membayar tagihan rumah sakitnya sebesar 40.000 rupee hanya dengan menggunakan uang koin.

“Saya bahkan tidak bisa membeli secangkir teh,” keluh Guru Biradjar, seorang pengacara yang tinggal di Delhi kepada Washington Post. “Hari ini saya tidak pergi kerja karena tidak punya uang. Uang saya semuanya pecahan 500 dan 1000 rupee jadi saya harus ke bank dulu untuk menukarnya,” imbuhnya.

Infograik transaksi pembayaran india

Ramai-ramai mencuci uang tunai

Apabila penduduk kelas menengah bawah India harus bergelut untuk mencairkan uang mereka, maka kecenderungan berbeda terjadi di kalangan menengah ke atas. Mereka justru beramai-ramai “mencuci” uang mereka dengan menukarnya dengan produk-produk bernilai tinggi. Harapannya, setelah situasi keuangan membaik, barang itu bisa mereka jual lagi dengan harga yang tinggi.

Ketika menimbun uang menjadi tidak bernilai, mereka memilih untuk menimbun aset.

BBC melaporkan, seorang pria di Mumbai dilaporkan membawa sekarung uang dan ingin membeli seluruh Iphone yang dipajang di sebuah gerai resmi Apple. Sayangnya, permintaan pria itu ditolak oleh manajer toko bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi di toko arloji setempat. Dalam sehari, tiba-tiba toko tersebut bisa menjual 45 unit arloji eksklusif Rolex.

Masih di kota yang sama, perusahaan penjual emas terkemuka RiddiSiddhi Bullions Ltd tiba-tiba dibanjiri orang-orang yang membawa berkarung-karung uang dan memborong perhiasan di outlet mereka, bahkan membayar hingga 67% di atas harga normal.

“Mereka semua panik. Mereka tak tahu lagi apa yang akan terjadi esok hari,” papar direktur perusahaan tersebut, Prithviraj Kothari, kepada Washington Post.

Namun, fenomena yang paling menarik dipaparkan oleh liputan Sidney Morning Herald. Mereka melaporkan orang-orang kaya di India mulai menyembunyikan uang mereka dengan meminjam rekening pembantu, tukang kebun dan supir mereka, serta kalangan rakyat kecil lainnya. Tentu saja mereka menawarkan komisi yang sangat tinggi bagi orang-orang yang rekeningnya dipinjam.

“Majikan saya tiba-tiba sangat baik kepada saya. Ternyata, begitu kebijakan ini keluar, ia meminta tolong untuk menyimpan 'uang haramnya' sebesar 250.000 di rekening saya. Tentu saja saya tidak mau,” ujar Rahul Sharma, seorang supir yang bekerja di Delhi.

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra