Menuju konten utama

Ketika Perempuan Dinomorduakan di Dunia Kerja

Meski di dunia modern seperti sekarang ini kesempatan kerja bagi perempuan jauh lebih terbuka, berbagai diskriminasi terhadap pekerja perempuan masih jamak ditemui di kantor-kantor.

Ilustrasi. FOTO/Istock

tirto.id - Diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja muncul dalam ragam bentuk. Ada soal struktural yang kentara macam ketimpangan gaji. Namun, itu bukanlah satu-satunya masalah. Pengalaman seorang karyawan perempuan di Amerika Serikat, Nicole Lee Hallberg, membuktikan bahwa perempuan masih mengalami ketidakadilan dan perlakuan berbeda di kantor meski ia yang dikerjakannya tak jauh berbeda dengan kolega laki-lakinya.

Newsweek melaporkan cerita tidak menyenangkan di ranah profesional Hallberg diawali sejak ia melakukan wawancara kerja secara langsung dengan atasan laki-lakinya. “Saya sebenarnya tak begitu mempertimbangkan merekrut perempuan, tapi kerjamu cukup baik,” demikian komentar tak diharapkan Hallberg dari si Pak Bos. Ia akhirnya menjadi karyawan perempuan pertama di perusahaan.

Perlakuan-perlakuan tak adil terus berlanjut saat Hallberg menjalani hari-hari di kantor. Menghadapi klien, Hallberg sering kali dianggap tak punya pengetahuan mumpuni tentang apa yang dikerjakannya hanya karena dia seorang perempuan.

Kendati ia mengemban tanggung jawab yang sama dan mengantongi pengalaman setara dengan Martin R. Schneider, rekan kerja laki-lakinya, Hallberg memperoleh upah yang lebih sedikit dari Schneider. Perempuan ini juga mengaku kenaikan gaji seiring dengan performa kerjanya pun lebih rendah dibanding koleganya. Tak cuma itu, Schneider pun diangkat sebagai supervisor saat Hallberg masuk perusahaan sekalipun pada praktiknya mereka berdua mengerjakan hal serupa.

Interupsi dan pengabaian saat rapat menjadi makanan sehari-hari Hallberg sebagai karyawan perempuan, tak terkecuali dari Schneider. Secara personal, Hallberg sesungguhnya tidak memiliki masalah dengan laki-laki tersebut, bahkan mereka berteman baik. Akan tetapi menurutnya, acapkali tindakan-tindakan yang diambil Schneider di tempat kerja mengisyaratkan diskriminasi gender. Hallberg pun menyuarakan kegelisahaannya kepada Schneider yang kemudian menjadi bahan pertimbangan laki-laki itu untuk berlaku di kantor.

Sebuah eksperimen kecil-kecilan pun dilakukan Schneider untuk menjajal hal-hal tak menyenangkan yang dialami Hallberg. Suatu kali, Schneider mencoba bertukar akun dengan Hallberg untuk membalas email para klien. Hal yang tak pernah diterimanya saat menggunakan akun sendiri pun terjadi: balasan yang kasar, penolakan, dan pengabaian terhadap sejumlah pertanyaannya.

Tak hanya itu, Schneider juga sempat mendapat pertanyaan apakah ia (yang mengaku sebagai Nicole Hallberg) masih lajang. Kontras dengan pengalaman Schneider, Hallberg mengaku mendapat respons yang positif dari para klien. Mereka tak lagi menganggapnya tak tahu apa-apa dan ia tidak perlu repot membuktikan kemampuannya.

Schneider kemudian meluapkan kekecewaannya melalui sejumlah post di Twitter yang lantas mendatangkan ribuan retweet dan memicu salah satu pembaca membuatnya menjadi Twitter moment. Beberapa orang juga tampak berempati dengan Hallberg karena pernah mengalami hal serupa.

Menilai Kemampuan Kerja dari Identitas Gender

Ketimpangan perlakuan seperti yang dialami Hallberg disebut dengan seksisme dan hal ini terjadi di berbagai pelosok dunia dan beragam industri. Akar dari seksisme adalah adanya stereotip gender dalam masyarakat seperti perempuan tidak bisa mengerjakan sejumlah hal yang dilakukan oleh laki-laki.

Dalam studi yang dilakukan oleh Macnell et. al. (2015), ditemukan fakta bahwa pelajar yang mencari pengajar kelas online memberi penilaian lebih tinggi kepada pengajar yang mencantumkan identitas gender laki-laki dibanding perempuan, terlepas dari gender sesungguhnya pengajar tersebut.

Data yang dimuat dalam laporan "Women at Work" yang disusun ILO, di level global pada tahun 2015, rasio perekrutan perempuan sebesar 46 persen, sedangkan laki-laki hampir 72 persen. Sebanyak 1,3 miliar perempuan dipekerjakan, sedangkan laki-laki mencapai 2 miliar orang. Kesenjangan upah perempuan dan laki-laki secara global diperkirakan 23 persen.

ILO mencatat, selain perbedaan level edukasi atau umur, penilaian perempuan di bawah laki-laki di tempat kerja, tanggung jawab perempuan di luar kantor, serta praktik diskriminasi berpartisipasi menciptakan kesenjangan ini. Jika tren ini terus berlangsung, dibutuhkan 70 tahun untuk menutup kesenjangan upah berbasis gender.

Banyak yang beranggapan bahwa seksisme terhadap perempuan bersumber dari laki-laki yang melakukan mansplaining alias penjelasan kepada seseorang (terutama perempuan) yang bersifat bias gender dan tak jarang merendahkan lawan jenisnya. Namun, hasil pengamatan Kay dan Shipman yang dimuat di The Atlantic menunjukkan bahwa perempuan sendiri pun kerap merasa dirinya tak lebih tinggi atau setidaknya setara dengan laki-laki.

Mereka mengambil contoh pengakuan Katty yang telah meraih gelar dari universitas ternama dan menguasai beberapa bahasa, tetapi masih saja mengatakan bahwa ia tidak cukup pandai untuk berkompetisi merebut posisi bergengsi di dunia jurnalisme. Katty masih berpikir bahwa cara pandang orang terhadapnya masih dipengaruhi aksen Inggris yang dimilikinya sehingga dianggap sedikit lebih intelek setiap kali berujar. Katty juga merasa rekan laki-lakinya di ranah jurnalisme mendapat promosi lebih cepat lantaran jauh lebih cerdas dan menonjol darinya.

Kurangnya kepercayaan diri Katty ini juga dialami oleh pebasket putri Monique Currie dan Clara Shih yang menjalankan usaha bidang media sosial di Sillicon Valley yang didominasi laki-laki. Kay dan Shipman menyebutnya sebagai confidence gap. Budaya patriarki yang melihat laki-laki lebih superior dibanding perempuan tampaknya telah meresap dalam benak orang-orang yang termarginalisasi ini hingga penilaian terhadap dirinya sendiri pun menjadi rendah, menambah buruk beban diskriminasi yang datang dari dunia luar.

Dalam buku bertajuk Language and Sexism, Sara Mills (2008) berargumen bahwa penggunaan bahasa pun dapat menunjukkan sikap seksisme. Alih-alih memandang bahasa sebagai alat yang netral, Mills berpendapat bahasa dapat digunakan secara strategis oleh oknum-oknum yang seksis maupun mereka yang peduli terhadap isu perempuan.

Tingkah laku tertentu kerap kali diasosiasikan dengan kepribadian perempuan secara umum dan hal ini diejawantahkan melalui bahasa. Sebagai contoh, “Kamu menangis saat menonton film ini, perempuan memang sangat emosional.” Ucapan seperti ini dapat dianggap tak peka isu gender dan bisa jadi menyinggung perempuan yang sejatinya memiliki personalitas berbeda satu sama lain.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/03/15/TIRTO-seksisme2.JPG" width="860" alt="Infografik Seksisme di Tempat Kerja" /

Menangkal Seksisme dengan Strategi

Bayangan setiap tempat kerja terbebas dari seksisme tampaknya masih akan lama terwujud meski telah ada kemajuan terkait perlakuan terhadap perempuan, sedikit demi sedikit. Jika dibandingkan dengan dekade 1960-an misalnya, nasib perempuan kini lebih baik dalam mengakses kesempatan kerja.

Liriklah film berbasis kisah nyata Hidden Figures sebagai komparasi. Di sana, digambarkan perjuangan tiga perempuan kulit hitam pada tahun 1961 untuk bekerja di NASA. Tak hanya karena mereka berkulit hitam, perlakuan tak adil juga mereka terima karena merupakan penyandang titel "jenis kelamin nomor dua."

Selama penghapusan seksisme belum terwujud, perempuan memerlukan trik-trik tertentu dalam menjalani kehidupan kerja. Penulis dan penggagas komunitas Feminist Fight Club, Jessica Benett, membagikan sejumlah tip kepada publik yang kerap mengalami seksisme di kantor dalam artikel yang dimuat di Huffington Post.

Jika perempuan mendapat pandangan merendahkan dan ucapan seperti, “Apakah kamu sedang menstruasi?” atau “Apakah kamu bersikap begini karena sedang hamil?” ketika sedang berinteraksi dengan kolega lawan jenis, Benett menyarankan untuk menggunakan data dan statistik untuk menyerang balik mereka.

Menanggapi serangan terkait kehamilan, perempuan dapat menjawab, riset menunjukkan bahwa seorang ibu mengerjakan sesuatu lebih cepat dan efisien dibanding orang-orang tanpa anak. “Statistik bisa menjadi karate verbal Anda. Setiap kali seseorang berupaya menyinggung Anda, cobalah menghadapkan mereka dengan data,” usul Benett.

Senada dengan pemikiran Mills, Benett juga menyarankan para pekerja untuk melek bahasa dalam artian, mereka sadar penuh bahwa diksi tertentu bisa menimbulkan efek tidak menyenangkan bagi seseorang. “Saat perempuan membuat permintaan, dia disebut bossy, sedangkan saat laki-laki yang meminta, adakah yang menyebutnya demikian?”

Seksisme juga bisa direduksi dengan menyuguhkan semakin banyak fakta bahwa perempuan sama berdayanya dengan laki-laki. Dan karena itu, isu kepercayaan diri sebagaimana yang ditemukan Kay dan Shipman perlu lebih dulu dientaskan. Benett mendukung para perempuan untuk lebih ‘bersombong’ dan mempromosikan diri sendiri.

Selain itu, melatih cara berpose pada aneka kesempatan di ranah kerja juga berpengaruh terhadap kepercayaan diri seseorang. “Berdirilah dengan pose Wonder Woman selama 90 detik sampai Anda merasa testosteron menanjak, level stres menurun, dan kepercayaan diri Anda meningkat. Mulanya saya merasa seperti orang bodoh melakukan hal ini, tapi saya sendiri sudah mencobanya dan terbukti efektif,” papar Benett.

Banyak cara lainnya yang bisa ditempuh untuk mempertahankan diri di tengah lingkungan yang seksis. Namun dari semua cara itu, langkah pertama yang perlu diingat adalah meyakinkan diri bahwa Anda berharga dan berdaya, berhak mendapat tempat setara apa pun gender Anda.

Tak serta merta seksisme bisa dipatahkan, tetapi dengan mulai membuka mata orang sekitar untuk lebih peka terhadap isu gender dan tidak bergeming saat menghadapi ketidakadilan, Anda telah selangkah lebih maju untuk mewujudkan atmosfer kantor yang kian tak diskriminatif gender.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani